Konferensi Tingkat Menteri (KTM) Organisasi
Perdagangan Dunia (World Trade
Organization/WTO) ke-9 sudah usai dan menyetujui Paket Bali, yang salah
satu hal penting di dalamnya adalah bahwa 159 negara anggota WTO sepakat
memutuskan solusi permanen mengenai ketahanan pangan dalam empat tahun ke
depan.
Skenario
terburuk adalah, bila proposal negara-negara maju disetujui dalam KTM WTO
ke-11, berarti impian untuk memperkuat petani dan menjaga ketahanan pangan
melalui subsidi akan sirna dengan sendirinya. Produk-produk pertanian akan
diserahkan secara total pada tirani pasar bebas. Jika sudah demikian,
serbuan produk-produk pertanian dari asing adalah sebuah keniscayaan.
Dalam
KTM di Bali, Indonesia tidak berada satu blok dengan India, yang berkeras
mempertahankan ketahanan pangan di negaranya dan negara-negara berkembang
lainnya. Pemerintah Indonesia hanya berposisi sebagai tuan rumah yang
"baik" dengan mengusahakan agar tercipta kesepakatan di KTM WTO
ke-9 ini. Terlepas apakah kesepakatan itu nantinya hanya menguntungkan
negara maju dan mencekik leher petani di negara berkembang, termasuk di
Indonesia sendiri.
Dengan
kesepakatan Paket Bali ini, pekerjaan rumah pemerintah dalam empat tahun ke
depan adalah segera mempersiapkan petani di negeri ini untuk bersaing dalam
sebuah sistem tirani pasar yang dikuasai oleh negara-negara maju.
Pertanyaannya, mungkinkah dalam waktu empat tahun pemerintah bisa
memberdayakan petani di negeri ini sehingga mampu bersaing dengan
petani-petani besar dari negara maju?
Untuk
mengetahui jawabannya, marilah kita lihat realitas kehidupan petani di
negeri ini. Di Bali, jumlah petani gurem-petani yang memiliki tanah
pertanian kurang dari 0,5 hektare-terus meningkat. Data dari BPS Bali
menyebutkan bahwa, pada periode 1999, luas lahan pertanian di Bali mencapai
86.071 hektare. Angka tersebut menyusut hingga 4.140 hektare atau tersisa
81.931 hektare di periode 2009. Seiring dengan menyusutnya lahan pertanian,
meningkatlah jumlah petani gurem di Pulau Bali.
Seperti
diberitakan sebuah media di Bali bahwa pada 1993, dari total 600 ribu rumah
tangga pertanian, 172 ribu adalah petani gurem. Sedangkan pada 2002, jumlah
petani gurem meningkat menjadi 800 ribu rumah tangga pertanian. Hal ini
terjadi karena lahan pertanian yang ada telah banyak menyusut akibat alih
fungsi untuk pembangunan permukiman, perkantoran, dan sarana pariwisata.
Di
Jawa, yang dulu pernah dikenal sebagai tanah yang subur bagi pertanian, pun
jumlah petani guremnya meningkat tajam. Data dari Kementerian Pertanian
menyebutkan, luas lahan pertanian di Pulau Jawa yang telah beralih fungsi
selama kurun 2009-2011 mencapai 600 ribu hektare. Total lahan pertanian
yang tersisa hanya sebesar 3,5 juta hektare. Data terbaru yang dirilis oleh
Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan jumlah rumah tangga petani kian
menyusut. Seperti yang ditulis oleh sebuah media daring, Kepala BPS
Suryamin mengatakan jumlah rumah tangga usaha tani pada 2013 turun 16 persen
dibanding pada 10 tahun yang lalu. Pengurangan ini terjadi karena banyak
petani yang beralih menjadi buruh industri atau profesi lainnya.
Alih
profesi dari petani menjadi buruh industri ini memberikan sinyal bahwa
menjadi petani bukanlah sesuatu yang menguntungkan selama 10 tahun
terakhir. Pilihan petani untuk menjadi buruh industri adalah pilihan
rasional di saat mereka tidak lagi memiliki tanah untuk ditanami dan di
sisi lain harga-harga kebutuhan dasar kian melambung tinggi, karena
diserahkan pada mekanisme pasar bebas.
Buruknya
kehidupan petani di Indonesia menyebabkan meningkatnya impor produk-produk
pertanian. Guru besar IPB, Ahmad Sulaeman, menyebutkan, dari 225 jenis
buah-buahan yang dijual di supermarket, 60-80 persen merupakan produk
impor. Angka impor pangan pada Januari-November 2012 mencapai Rp 92,5
triliun. Makin besar impor produk pertanian akan semakin memperparah
kondisi petani Indonesia. Dan, petani pun masuk jebakan lingkaran setan
kemiskinan yang sulit terurai.
Makin
terpuruknya kehidupan petani di negeri ini dalam 10 tahun terakhir
memberikan sinyal bahwa, jangankan untuk bersaing dengan industri pertanian
raksasa dari negara maju dalam 4 tahun ke depan, untuk sekadar berdaya pun
tampaknya sulit. Jika sudah demikian, kesepakatan Paket Bali dipastikan
hanya akan memperburuk kehidupan petani yang sudah terpuruk karena
kebijakan pemerintah yang sejak awal tidak pro-petani.
Paket
Bali adalah lonceng kematian bagi petani. Untuk itulah, sudah saatnya Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) segera memanggil pemerintah untuk
mempertanggungjawabkan posisi yang diambilnya dalam KTM WTO ke-9 di Bali
itu. Jika publik ragu dengan kredibilitas anggota DPR untuk meminta
pertanggungjawaban pemerintah, publik masih memiliki hak untuk menuntut
secara langsung pertanggungjawaban pemerintah itu melalui saluran-saluran
demokrasi lainnya. Intinya, pemerintah harus bertanggungjawab atas
munculnya Paket Bali yang akan "membunuh" kehidupan petani. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar