Sabtu, 14 Desember 2013

Paket Bali dan Nasib Petani

Paket Bali dan Nasib Petani
Firdaus Cahyadi  ;   Manajer LSM
TEMPO.CO,  13 Desember 2013
  


Konferensi Tingkat Menteri (KTM) Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) ke-9 sudah usai dan menyetujui Paket Bali, yang salah satu hal penting di dalamnya adalah bahwa 159 negara anggota WTO sepakat memutuskan solusi permanen mengenai ketahanan pangan dalam empat tahun ke depan.

Skenario terburuk adalah, bila proposal negara-negara maju disetujui dalam KTM WTO ke-11, berarti impian untuk memperkuat petani dan menjaga ketahanan pangan melalui subsidi akan sirna dengan sendirinya. Produk-produk pertanian akan diserahkan secara total pada tirani pasar bebas. Jika sudah demikian, serbuan produk-produk pertanian dari asing adalah sebuah keniscayaan.

Dalam KTM di Bali, Indonesia tidak berada satu blok dengan India, yang berkeras mempertahankan ketahanan pangan di negaranya dan negara-negara berkembang lainnya. Pemerintah Indonesia hanya berposisi sebagai tuan rumah yang "baik" dengan mengusahakan agar tercipta kesepakatan di KTM WTO ke-9 ini. Terlepas apakah kesepakatan itu nantinya hanya menguntungkan negara maju dan mencekik leher petani di negara berkembang, termasuk di Indonesia sendiri.

Dengan kesepakatan Paket Bali ini, pekerjaan rumah pemerintah dalam empat tahun ke depan adalah segera mempersiapkan petani di negeri ini untuk bersaing dalam sebuah sistem tirani pasar yang dikuasai oleh negara-negara maju. Pertanyaannya, mungkinkah dalam waktu empat tahun pemerintah bisa memberdayakan petani di negeri ini sehingga mampu bersaing dengan petani-petani besar dari negara maju?

Untuk mengetahui jawabannya, marilah kita lihat realitas kehidupan petani di negeri ini. Di Bali, jumlah petani gurem-petani yang memiliki tanah pertanian kurang dari 0,5 hektare-terus meningkat. Data dari BPS Bali menyebutkan bahwa, pada periode 1999, luas lahan pertanian di Bali mencapai 86.071 hektare. Angka tersebut menyusut hingga 4.140 hektare atau tersisa 81.931 hektare di periode 2009. Seiring dengan menyusutnya lahan pertanian, meningkatlah jumlah petani gurem di Pulau Bali. 

Seperti diberitakan sebuah media di Bali bahwa pada 1993, dari total 600 ribu rumah tangga pertanian, 172 ribu adalah petani gurem. Sedangkan pada 2002, jumlah petani gurem meningkat menjadi 800 ribu rumah tangga pertanian. Hal ini terjadi karena lahan pertanian yang ada telah banyak menyusut akibat alih fungsi untuk pembangunan permukiman, perkantoran, dan sarana pariwisata.

Di Jawa, yang dulu pernah dikenal sebagai tanah yang subur bagi pertanian, pun jumlah petani guremnya meningkat tajam. Data dari Kementerian Pertanian menyebutkan, luas lahan pertanian di Pulau Jawa yang telah beralih fungsi selama kurun 2009-2011 mencapai 600 ribu hektare. Total lahan pertanian yang tersisa hanya sebesar 3,5 juta hektare. Data terbaru yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan jumlah rumah tangga petani kian menyusut. Seperti yang ditulis oleh sebuah media daring, Kepala BPS Suryamin mengatakan jumlah rumah tangga usaha tani pada 2013 turun 16 persen dibanding pada 10 tahun yang lalu. Pengurangan ini terjadi karena banyak petani yang beralih menjadi buruh industri atau profesi lainnya.

Alih profesi dari petani menjadi buruh industri ini memberikan sinyal bahwa menjadi petani bukanlah sesuatu yang menguntungkan selama 10 tahun terakhir. Pilihan petani untuk menjadi buruh industri adalah pilihan rasional di saat mereka tidak lagi memiliki tanah untuk ditanami dan di sisi lain harga-harga kebutuhan dasar kian melambung tinggi, karena diserahkan pada mekanisme pasar bebas.

Buruknya kehidupan petani di Indonesia menyebabkan meningkatnya impor produk-produk pertanian. Guru besar IPB, Ahmad Sulaeman, menyebutkan, dari 225 jenis buah-buahan yang dijual di supermarket, 60-80 persen merupakan produk impor. Angka impor pangan pada Januari-November 2012 mencapai Rp 92,5 triliun. Makin besar impor produk pertanian akan semakin memperparah kondisi petani Indonesia. Dan, petani pun masuk jebakan lingkaran setan kemiskinan yang sulit terurai.

Makin terpuruknya kehidupan petani di negeri ini dalam 10 tahun terakhir memberikan sinyal bahwa, jangankan untuk bersaing dengan industri pertanian raksasa dari negara maju dalam 4 tahun ke depan, untuk sekadar berdaya pun tampaknya sulit. Jika sudah demikian, kesepakatan Paket Bali dipastikan hanya akan memperburuk kehidupan petani yang sudah terpuruk karena kebijakan pemerintah yang sejak awal tidak pro-petani.

Paket Bali adalah lonceng kematian bagi petani. Untuk itulah, sudah saatnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera memanggil pemerintah untuk mempertanggungjawabkan posisi yang diambilnya dalam KTM WTO ke-9 di Bali itu. Jika publik ragu dengan kredibilitas anggota DPR untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah, publik masih memiliki hak untuk menuntut secara langsung pertanggungjawaban pemerintah itu melalui saluran-saluran demokrasi lainnya. Intinya, pemerintah harus bertanggungjawab atas munculnya Paket Bali yang akan "membunuh" kehidupan petani. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar