AMBISI pemerintah sangat
bagus. Indonesia harus hebat dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain saat
merayakan 100 Tahun Proklamasi Kemerdekaan RI pada 2045 atau 32 tahun
mendatang. Untuk itulah, anak-anak SD, SMP,
dan SMA saat ini—yang akan menjadi pemimpin bangsa di masa depan—harus
disiapkan sedini mungkin dengan beragam cara, termasuk sistem pendidikan
yang hebat.
Untuk menciptakan sistem
pendidikan yang hebat, pemerintah tidak menciptakan pola pendidikan guru
yang berkualitas seperti lazimnya dilakukan negara-negara maju, tetapi
memilih mengubah kurikulum pendidikan. Kurikulum 2006 yang diterapkan
sekolah saat ini dianggap sudah tak memadai, tidak sesuai zaman, dan tak
mempertimbangkan tantangan masa depan bangsa. Karena itu, disusunlah
kurikulum baru, Kurikulum 2013, yang dianggap bisa memenuhi kebutuhan
zaman.
Namun, di sinilah pangkal
masalahnya. Penyusunan Kurikulum 2013 dianggap sangat terburu-buru. Meski
pemerintah mengklaim penyusunan Kurikulum 2013 dimulai sejak tahun 2010,
kenyataannya rencana itu baru terungkap akhir 2012 dan harus diterapkan
secara bertahap selama tiga tahun, mulai 2013.
Padahal, banyak perubahan
substansi jika dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya. Jika pada
Kurikulum 2006 murid mendapat banyak mata pelajaran, pada kurikulum baru
jumlah mata pelajaran lebih sedikit karena menekankan pada aspek tematik
integratif. Pada aspek ini, pola pengajaran tidak lagi berdasarkan mata
pelajaran secara spesifik, tapi berdasarkan tema.
Pola ini membawa konsekuensi,
beberapa mata pelajaran dihapus atau digabung menjadi satu tema. Pelajaran
IPA di SD, misalnya, digabung dengan pelajaran Bahasa Indonesia. Pelajaran
Teknologi, Informasi, dan Komunikasi (TIK) di sekolah menengah digabung
menjadi pelajaran Prakarya.
Perubahan ini memang
menguntungkan siswa karena jumlah mata pelajaran lebih sederhana. Namun,
tidak demikian bagi guru. Secara administratif, penggabungan mata pelajaran
”menghilangkan” pengakuan terhadap kompetensi guru pada mata pelajaran
tertentu. Ini membawa konsekuensi terhadap hak tunjangan profesi guru.
Perbedaan lainnya, jika pada
kurikulum sebelumnya guru menjadi sumber utama pembelajaran, sedangkan
murid pasif mencatat atau mendengarkan, pada Kurikulum 2013 murid justru
menjadi fokus utama pembelajaran. Murid didorong untuk melakukan
pengamatan, aktif bertanya, mencoba serta melakukan eksplorasi.
Cara berpikir guru
Perubahan pola pengajaran ini
menuntut perubahan cara berpikir dan perilaku guru. Perubahan pola pikir
guru ini membutuhkan waktu lama. Namun, pemerintah begitu yakin pelatihan
guru yang berlangsung 52 jam atau hanya lima hari ini bisa mengubah cara
berpikir guru.
Padahal, selain waktu pelatihan
yang sangat singkat dan mepet menjelang tahun ajaran baru 2013, jumlah guru
yang dilatih pun masih sedikit. Dari sekitar 2,9 juta guru di semua jenjang
pendidikan, pelatihan terhadap guru baru dilakukan terhadap 61.074 guru
yang terdiri atas 572 instruktur nasional, 4.740 guru inti, dan 55.762 guru
sasaran.
Tidak heran karena banyak
perubahan yang harus dilakukan, sedangkan persiapan guru sangat minim,
ditambah lagi persiapan buku pelajaran yang berantakan, sedikit sekolah
yang menerapkan kurikulum baru pada tahun ajaran 2013.
Kementerian Agama bahkan menunda
penerapan Kurikulum 2013 di semua sekolah karena tidak siap. Kemenag
memilih melakukan sosialisasi Kurikulum 2013 terlebih dahulu, membuat
pedoman, menyiapkan buku, dan melatih guru.
Kemenag akan mengimplementasikan
Kurikulum 2013 secara bertahap mulai 2014. Tiga tahun ke depan, diharapkan
kurikulum baru bisa diterapkan di seluruh sekolah, yakni 22.468 madrasah
ibtidaiyah (MI), 14.757 madrasah tsanawiyah (MTs), dan 6.415 madrasah
aliyah (MA).
Sekolah-sekolah di bawah
Kemdikbud yang menerapkan Kurikulum 2013 juga masih terbatas, hanya di
6.325 sekolah di 295 kabupaten/kota di 33 provinsi. Sekolah-sekolah itu
adalah di 2.598 SD, 1.436 SMP, 1.270 SMA, dan 1.021 SMK.
Sekolah yang menerapkan
Kurikulum 2013 semula direncanakan di sekolah berakreditasi A, B, dan C
sehingga kelemahan Kurikulum 2013 bisa diketahui. Namun, pada akhirnya
kurikulum baru ini hanya diterapkan di sekolah berakreditasi A dengan
pertimbangan sarana dan prasarananya sudah siap.
Jika begini pertimbangannya,
terkesan sekali Kurikulum 2013 sangat dipaksakan penerapannya.
Sekolah-sekolah berakreditasi A, tanpa Kurikulum 2013 pun kualitasnya sudah
baik. Bahkan mereka berhasil menerapkan kurikulum yang lebih berat, yaitu
kurikulum internasional.
Jadi, setelah enam bulan
Kurikulum 2013 dilaksanakan di sejumlah sekolah, sudah saatnya Kemdikbud
melakukan evaluasi di semua sisi. Evaluasi ini penting dilakukan agar berbagai
kelemahan bisa diperbaiki pada tahun ajaran mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar