TAK mudah mencari perumpamaan
tepat untuk menggambarkan kiprah negara-negara di dunia dalam mengatasi
ancaman perubahan iklim.
Persoalan perubahan iklim amat
rumit dari berbagai sisi, berkelindan satu sama lain. Sisi keilmuan,
kelembagaan, proses negosiasi internasional, dan seterusnya. Beragam
kepentingan melebur di dalamnya: politik, sosial, budaya, dan
ekonomi—sejauh ini ekonomi menjadi panglima karena berbagai cara mengatasi
perubahan iklim dikuantifikasikan dalam kerangka pikir ekonomi.
Konferensi Para Pihak Ke-19
dalam Kerangka Kerja Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) pada
November 2013 membawa negara-negara penanda tangan UNFCCC pada suatu
”perhentian antara”.
Berdasarkan hasil tersebut,
negara-negara pihak diminta menyiapkan jalan baru, cara baru, kesepakatan
baru, dan (bisa jadi) moral baru—entah lebih tinggi atau lebih rendah—dalam
upaya mengatasi laju dan dampak perubahan iklim.
Bergeser makna
Prinsip-prinsip dasar yang
dianut pada awal penandatanganan UNFCCC agaknya bakal menjadi sejarah.
Prinsip kunci pada artikel 3 UNFCCC, yaitu common but differentiated
responsibilities atau CBDR, kemungkinan besar akan bergeser makna.
Selain itu, prinsip polluters
pay juga lenyap. Prinsip ini meminta komitmen negara-negara yang telah
menikmati hasil pengembangan industri yang menghasilkan emisi karbon
dioksida (emisi karbon) secara luar biasa besar sejak awal abad ke-19 pada
era industri, untuk mengurangi emisi karbonnya.
Dalam Protokol Kyoto,
komitmen itu mengikat secara hukum.
Emisi karbon dari penggunaan
bahan bakar fosil mencapai 57 persen dari jumlah emisi karbon dioksida
secara global. Emisi karbon terbesar dari konsumsi energi. Sementara dari
deforestasi dan degradasi lahan mencapai 17 persen dari emisi global (IPCC,
2007).
Copenhagen Accord, kesepakatan
yang dibuat di Denmark, menyepakati agar kenaikan suhu global ditahan di
bawah 2 derajat celsius. Kini tujuan itu kian jauh dari capaian.
Di Warsawa, Polandia, lahir
istilah baru, yaitu nationally determined contributions, untuk
mengurangi emisi karbon. ”Kartu” dilempar negara maju dengan mengangkat
derajat negara berkembang dan kurang berkembang untuk ”turut berkontribusi
dengan kemauan kuat” mengurangi emisi karbon! Prinsip dasar Protokol Kyoto
telah digeser. Negara-negara berkembang dan kurang berkembang harus
berkontribusi mengurangi emisi karbon (dari emisi karbon mereka yang sudah
rendah).
Anggapan bahwa Pertemuan Para
Pihak Warsawa berhasil menutup keraguan besar di balik kesepakatan itu. Itu
karena hingga tahun 2015, semua negara pihak akan mengajukan secara
sukarela angka penurunan emisi. Tak ada aturan jelas. Bukan tak mungkin,
emisi gas karbon seusai kesepakatan selesai diratifikasi tahun 2020, dan mulai
diterapkan, justru emisi gas karbon melewati ambang batas kritis.
Menurut Badan Energi
Internasional (IEA) yang memantau kebijakan energi global, untuk menahan
agar tak terjadi kenaikan suhu 2 derajat celsius pada 2020, batas emisi gas
karbon adalah 32 gigaton. Pada tahun 2010 terjadi emisi gas karbon 30,6
gigaton atau naik 1,6 gigaton dibandingkan dengan tahun 2009.
Sekitar 80 persen pembangkit
listrik yang dibangun saat ini berbahan bakar fosil. Pembangkit listrik ini
akan melepas 11,2 gigaton dari total emisi 13,7 gigaton dari pembangkit
listrik global.
Kiprah Indonesia
Indonesia di tengah negosiasi
global perubahan iklim selalu ingin mencapai dua tujuan: nasional dan
global. Indonesia berupaya menjadi pelopor di kalangan negara berkembang.
Di dalam negeri, dengan Dewan
Nasional Perubahan Iklim (DNPI) sebagai focal point, Indonesia
berupaya menghitung penurunan emisinya. Menurut Ketua Harian DNPI Rachmat
Witoelar, 87 persen dari emisi datang dari penggunaan energi sehingga titik
fokus penurunan emisi ada pada sektor tersebut. Namun, hasil perhitungan
belum dipublikasikan rinci.
Di sisi lain, Indonesia yang
digolongkan negara dengan pertumbuhan ekonomi pesat sebenarnya rentan
dampak perubahan iklim. Namun, di Warsawa, Indonesia justru mendapat
pendanaan untuk upaya mitigasi dari Jerman dan Inggris sebesar 17 juta euro
(sekitar Rp 280,5 miliar dengan kurs Rp 16.500) untuk sistem transportasi
kota berkelanjutan atau Sustainable Urban Transport Initiative-Nationally
Appropriate Mitigation Action.
Sementara itu, upaya di sektor
adaptasi yang bertujuan mengurangi risiko dari dampak perubahan iklim
terkesan tertinggal. Dalam paparan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI), Direktur Lingkungan Hidup pada Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas) Wahyuningsih Darajati mengatakan, standar pencapaian
program adaptasi belum ada.
Adapun Kementerian Lingkungan
Hidup berusaha memberikan dorongan kepada masyarakat lokal untuk terus
beradaptasi.
Di meja perundingan global,
pendanaan adaptasi berjalan amat pelan. Dana 100 juta dollar AS (sekitar Rp
1,2 triliun) akhirnya tercapai di Warsawa. Negara seperti Kuba, Seychelles,
Myanmar, Uzbekistan, dan Belize kini bisa menjalankan program adaptasinya.
Kelembagaan
Pada saat Indonesia merasa
sukses di tingkat global—antara lain keberhasilan disepakatinya Kerangka
Kerja untuk REDD+ dengan Indonesia adalah salah satu pelopornya—di dalam
negeri, tantangan begitu besar terutama dari sisi kelembagaan. Saat ini,
struktur lembaga pendanaan perubahan iklim masih belum selesai dibangun.
Badan Indonesia Climate Change Fund agaknya bukan jalan akhir karena kini
sedang disusun mekanisme melalui Kementerian Keuangan.
Belum lagi program Rencana Induk
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang bakal
mengemisi karbon, yang menurut Rachmat, emisi itu sudah dimasukkan dalam
perhitungan pengurangan emisi nasional.
Di sisi lain, Rencana Aksi
Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca juga baru berupa peraturan daerah
di 33 provinsi. Implementasinya perlu kerja panjang.
Tantangan terbesar ada pada
tahun depan yang merupakan ”tahun politik”. Akankah presiden mendatang
paham pentingnya menyikapi perubahan iklim? Sementara itu, komunikasi
kepada publik akar rumput tentang perubahan iklim masih amat rendah,
seperti hasil survei Climate Asia
dari BBC. Nyata sekali bahwa persoalan perubahan iklim bak kelindan tak
berujung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar