Rabu, 18 Desember 2013

Kelindan yang Tak Berujung

Kelindan yang Tak Berujung
Brigitta Isworo Laksmi  ;    Wartawan Kompas
KOMPAS,  18 Desember 2013
  


TAK mudah mencari perumpamaan tepat untuk menggambarkan kiprah negara-negara di dunia dalam mengatasi ancaman perubahan iklim.

Persoalan perubahan iklim amat rumit dari berbagai sisi, berkelindan satu sama lain. Sisi keilmuan, kelembagaan, proses negosiasi internasional, dan seterusnya. Beragam kepentingan melebur di dalamnya: politik, sosial, budaya, dan ekonomi—sejauh ini ekonomi menjadi panglima karena berbagai cara mengatasi perubahan iklim dikuantifikasikan dalam kerangka pikir ekonomi.

Konferensi Para Pihak Ke-19 dalam Kerangka Kerja Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) pada November 2013 membawa negara-negara penanda tangan UNFCCC pada suatu ”perhentian antara”.

Berdasarkan hasil tersebut, negara-negara pihak diminta menyiapkan jalan baru, cara baru, kesepakatan baru, dan (bisa jadi) moral baru—entah lebih tinggi atau lebih rendah—dalam upaya mengatasi laju dan dampak perubahan iklim.

Bergeser makna

Prinsip-prinsip dasar yang dianut pada awal penandatanganan UNFCCC agaknya bakal menjadi sejarah. Prinsip kunci pada artikel 3 UNFCCC, yaitu common but differentiated responsibilities atau CBDR, kemungkinan besar akan bergeser makna.

Selain itu, prinsip polluters pay juga lenyap. Prinsip ini meminta komitmen negara-negara yang telah menikmati hasil pengembangan industri yang menghasilkan emisi karbon dioksida (emisi karbon) secara luar biasa besar sejak awal abad ke-19 pada era industri, untuk mengurangi emisi karbonnya. 
Dalam Protokol Kyoto, komitmen itu mengikat secara hukum.

Emisi karbon dari penggunaan bahan bakar fosil mencapai 57 persen dari jumlah emisi karbon dioksida secara global. Emisi karbon terbesar dari konsumsi energi. Sementara dari deforestasi dan degradasi lahan mencapai 17 persen dari emisi global (IPCC, 2007).

Copenhagen Accord, kesepakatan yang dibuat di Denmark, menyepakati agar kenaikan suhu global ditahan di bawah 2 derajat celsius. Kini tujuan itu kian jauh dari capaian.

Di Warsawa, Polandia, lahir istilah baru, yaitu nationally determined contributions, untuk mengurangi emisi karbon. ”Kartu” dilempar negara maju dengan mengangkat derajat negara berkembang dan kurang berkembang untuk ”turut berkontribusi dengan kemauan kuat” mengurangi emisi karbon! Prinsip dasar Protokol Kyoto telah digeser. Negara-negara berkembang dan kurang berkembang harus berkontribusi mengurangi emisi karbon (dari emisi karbon mereka yang sudah rendah).

Anggapan bahwa Pertemuan Para Pihak Warsawa berhasil menutup keraguan besar di balik kesepakatan itu. Itu karena hingga tahun 2015, semua negara pihak akan mengajukan secara sukarela angka penurunan emisi. Tak ada aturan jelas. Bukan tak mungkin, emisi gas karbon seusai kesepakatan selesai diratifikasi tahun 2020, dan mulai diterapkan, justru emisi gas karbon melewati ambang batas kritis.

Menurut Badan Energi Internasional (IEA) yang memantau kebijakan energi global, untuk menahan agar tak terjadi kenaikan suhu 2 derajat celsius pada 2020, batas emisi gas karbon adalah 32 gigaton. Pada tahun 2010 terjadi emisi gas karbon 30,6 gigaton atau naik 1,6 gigaton dibandingkan dengan tahun 2009.
Sekitar 80 persen pembangkit listrik yang dibangun saat ini berbahan bakar fosil. Pembangkit listrik ini akan melepas 11,2 gigaton dari total emisi 13,7 gigaton dari pembangkit listrik global.

Kiprah Indonesia

Indonesia di tengah negosiasi global perubahan iklim selalu ingin mencapai dua tujuan: nasional dan global. Indonesia berupaya menjadi pelopor di kalangan negara berkembang.

Di dalam negeri, dengan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) sebagai focal point, Indonesia berupaya menghitung penurunan emisinya. Menurut Ketua Harian DNPI Rachmat Witoelar, 87 persen dari emisi datang dari penggunaan energi sehingga titik fokus penurunan emisi ada pada sektor tersebut. Namun, hasil perhitungan belum dipublikasikan rinci.

Di sisi lain, Indonesia yang digolongkan negara dengan pertumbuhan ekonomi pesat sebenarnya rentan dampak perubahan iklim. Namun, di Warsawa, Indonesia justru mendapat pendanaan untuk upaya mitigasi dari Jerman dan Inggris sebesar 17 juta euro (sekitar Rp 280,5 miliar dengan kurs Rp 16.500) untuk sistem transportasi kota berkelanjutan atau Sustainable Urban Transport Initiative-Nationally Appropriate Mitigation Action.

Sementara itu, upaya di sektor adaptasi yang bertujuan mengurangi risiko dari dampak perubahan iklim terkesan tertinggal. Dalam paparan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Direktur Lingkungan Hidup pada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Wahyuningsih Darajati mengatakan, standar pencapaian program adaptasi belum ada.
Adapun Kementerian Lingkungan Hidup berusaha memberikan dorongan kepada masyarakat lokal untuk terus beradaptasi.

Di meja perundingan global, pendanaan adaptasi berjalan amat pelan. Dana 100 juta dollar AS (sekitar Rp 1,2 triliun) akhirnya tercapai di Warsawa. Negara seperti Kuba, Seychelles, Myanmar, Uzbekistan, dan Belize kini bisa menjalankan program adaptasinya.

Kelembagaan

Pada saat Indonesia merasa sukses di tingkat global—antara lain keberhasilan disepakatinya Kerangka Kerja untuk REDD+ dengan Indonesia adalah salah satu pelopornya—di dalam negeri, tantangan begitu besar terutama dari sisi kelembagaan. Saat ini, struktur lembaga pendanaan perubahan iklim masih belum selesai dibangun. Badan Indonesia Climate Change Fund agaknya bukan jalan akhir karena kini sedang disusun mekanisme melalui Kementerian Keuangan.

Belum lagi program Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang bakal mengemisi karbon, yang menurut Rachmat, emisi itu sudah dimasukkan dalam perhitungan pengurangan emisi nasional.

Di sisi lain, Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca juga baru berupa peraturan daerah di 33 provinsi. Implementasinya perlu kerja panjang.

Tantangan terbesar ada pada tahun depan yang merupakan ”tahun politik”. Akankah presiden mendatang paham pentingnya menyikapi perubahan iklim? Sementara itu, komunikasi kepada publik akar rumput tentang perubahan iklim masih amat rendah, seperti hasil survei Climate Asia dari BBC. Nyata sekali bahwa persoalan perubahan iklim bak kelindan tak berujung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar