Hingga beberapa dekade terakhir, Indonesia sangat
menggantungkan hasil-hasil alam yang kebanyakan bertumpu pada mineral dan
hutan alam. Kini, apakah bangsa ini mempunyai skenario lain untuk memanen
hasil bila sumber daya tersebut telah habis terkuras? Tidak dapat
dimungkiri bahwa bagi bangsa Indonesia sesungguhnya keanekaragaman hayati
(kehati) bukanlah sesuatu yang asing karena sebagian besar dari kegiatan
pokok dan kebutuhan penduduk semuanya bergantung pada keutuhan dan
pemanfaatan kehati.
Manfaat
kehati biasanya terkemas dalam keanekaragaman kehidupan, baik pada
tingkatan ekosistem yang terdiri atas aktivitas kompleks makhluk hidup yang
berinteraksi, yang menciptakan sistem yang seimbang dan harmonis, maupun
pada keunikan populasi ataupun individu dari berbagai spesies dan genetik
yang memunculkan peran masing-masing. Kawasan pertanian dan perkebunan
sangat bergantung pada apa yang disebut dengan jasa ekosistem (ecosystem
services), yaitu pelayanan yang dilakukan ekosistem untuk menghasilkan jasa
berupa produk yang tidak tergantikan oleh tangan manusia. Misalnya
penyangga abrasi (pantai), mencegah timbulnya erosi, regulasi iklim,
penyerap karbon, pemurnian air supaya menjadi bersih, habitat satwa dan
penyedia biji-bijian, serta produk kayu dan bukan kayu.
Tidak
dapat dibayangkan bila lahan pertanian tanpa dukungan ekosistem alam yang
baik. Selama ini, air bersih yang menjadi produk ekosistem selalu tersedia
secara gratis untuk mengairi sawah dan kebun, sehingga tumbuh subur.
Bandingkan dengan masyarakat di Timur Tengah, misalnya sebuah kota baru,
Sabiya di Kuwait, yang harus mengeluarkan Rp 5 triliun pada 1999 hanya
untuk mendapatkan air bersih setelah dibangun delapan tahun dari proses
desalinasi air laut yang berproduksi 83 juta meter kubik per tahun.
Ekosistem
juga memelihara siklus hara dan lahan, sehingga menjadi tetap produktif dan
subur karena mikroba tanah yang mampu mendorong suplai nitrogen dan
memperkaya nutrisi tumbuhan. Dalam keadaan tertentu, lahan-lahan yang tidak
subur akan terbantu dengan keadaan mikroba yang mampu mengikat nutrisi,
seperti nitrogen yang ada di dalam tanah. Cacing tanah berperan dalam
mencerna serasah, mempercepat pembusukan, dan menciptakan pupuk bagi
tumbuhan.
Indonesia
adalah salah satu negara penanda tangan Konvensi PBB untuk Kehati (UNCBD),
yaitu konvensi dunia yang bertujuan mempertahankan keanekaragaman kehidupan
di planet bumi dan pemanfaatannya secara berkelanjutan. Konvensi
tersebut dibuat berdasarkan kesadaran tentang pentingnya keanekaragaman
kehidupan dalam proses evolusi serta mendukung terpeliharanya sistem
keseimbangan pada biosfer bumi. Ironisnya, di tengah pengakuan PBB tentang
pentingnya kehati ini, apa yang terjadi hari ini, kebijakan pembangunan
tampaknya belum bertumpu pada kesadaran tentang pentingnya kehati di tengah
masyarakat.
Kawasan-kawasan
cadang yang menjadi aset sumber daya manfaat yang langsung dirasakan
seperti kawasan yang mempunyai nilai kehati penting, misalnya hutan lindung
dan hutan konservasi, terus mendapat ancaman pengurangan, bahkan
konversi. Selain itu, beberapa kawasan tersebut tidak terjaga dengan
baik dan bahkan banyak mengalami perambahan. Tampaknya, intergrasi
kebijakan untuk menyelamatkan kehati dalam kebijakan pembangunan
(meanstreaming) belum dapat diimplementasikan karena kerakusan
akan penguasaan lahan dan yang terhubung dengan ekonomi kapitalistik.
Kebijakan
sektoral yang tidak koordinatif menjadi salah satu pemicu penting. Penguasa
lahan di Indonesia didominasi oleh pengguna izin dan kewenangan yang
mengutamakan ekonomi dan mengesampingkan nilai sosial dan ekologis,
termasuk penyelamatan hayati. Tidak jarang kita jumpai konflik
penggunaan lahan yang diakibatkan oleh kebijakan perizinan yang tanpa
memikirkan jangka panjang, padahal upaya penghilangan dan konversi lahan,
terutama untuk keperluan eksploitatif, adalah bertentangan dengan hajat
kehidupan rakyat.
Di
Bolaang Mangondow, Sulawesi Utara, Warga Poigar, warga menolak penambangan
pasir di wilayah pantai dan laut desa mereka lantaran penambangan tersebut
merusak lingkungan dan mengancam kehidupan ribuan nelayan yang mengandalkan
hidup dari menangkap ikan.
Tidak
banyak negara yang sangat kaya dengan kehati seperti dimiliki oleh
Indonesia. Dalam jumlah kekayaan hayati, Indonesia disebutkan oleh Mittermeier
dkk (1997) merupakan negara dengan jumlah kehati terbesar kedua setelah
Brasil. Ekonomi hijau (green
economy) yang menjadi tren ekonomi masa datang akan bertumpu pada
kekayaan hayati.
Nilai
strategis kehati, seperti pilihan atas alternatif pangan, obat-obatan, dan
jasa ekosistem, merupakan sektor yang sangat vital yang akan semakin langka
di masa depan. Maka, sudah saatnya Indonesia memandang potensi strategis
ini sebagai modal penting pembangunan bangsa yang bukan saja harus
dilindungi, tapi juga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar