Bangsa yang melupakan
kebudayaannya adalah
bangsa yang bersiap menggali kuburannya sendiri. — Buya Syafii Maarif
Begitulah keadaan kita hari-hari
ini. Perilaku politisi kita sekarang sudah kering kerontang nilai-nilai
kebudayaan. Karena itu, sungguh penting membangun tonggak kebudayaan dalam
kehidupan politik di Tanah Air dan mengintegrasikannya ke dalam politik.
Basis-basis kultural dalam ruang politik patut diisi agar memiliki jiwa dan
hati. Politik tanpa inti kebudayaan akan gagal membentuk masyarakat yang
beradab dan berkeadilan.
Semakin dekat Pemilu 2014,
kehidupan politik di negeri ini semakin bertambah sengkarut. Apa
masalahnya? Sudah sedemikian parahkah kultur politik kita?
Menurut Wiratmo Soekito
(1982:36), politik mengandung pengertian yang ambivalensi.
Di satu pihak politik itu
dihayati oleh semua manusia, di lain pihak selain dihayati oleh manusia
politik juga kerap membinasakan nilai-nilai.
Jadi, tinggal kita memilih,
apakah kita menerima politik dalam arti yang sehat ataukah kita akan
menerima politik dalam arti yang ”kontradiktoar”?
Politik yang sehat berarti
politik yang menjadi jembatan untuk menciptakan peradaban mulia, bukan
malah membinasakan norma dan nilai-nilai kebudayaan sehingga kuman
ketakberadaban masuk ke dalam semua institusi politik dan publik.
Memang, politik dan budaya
adalah istilah yang berbeda. Namun, pelaku politik dan pelaku budaya adalah
sama, manusia. Artinya, keduanya merupakan kekuatan yang bisa disatukan
agar bekerja untuk kemanusiaan. Meninggikan harkat dan martabat bangsa
Indonesia di mata dunia.
Politik tanpa nilai kebudayaan
sama halnya keberpihakan tanpa perjuangan untuk kepentingan rakyat
(kemanusiaan). Politik bukan semata sekadar meraih kekuasaan,
mengekspresikan kegagahan, kelincahan, kecerdasan, kegenitan, kecurangan,
dan kemewahan, seperti tampak sekarang.
Karakter politik
Karakter politik kita cenderung
terlihat sibuk berburu rente dan dagang kekuasaan. Perdebatannya melulu
soal besaran atau persentase.
Ekspresi politik pun justru
terjebak oleh struktur primordial dan feodal. Contoh paling nyata adalah
masih mendebatkan soal asal kepulauan mana pasangan presiden berasal.
Inilah ekspresi politik yang kuno dan minim karakter persatuan dan
kemanusiaan.
Contoh lain adalah afiliasi dan
loyalitas politik yang sengaja memupuk ketegangan antargolongan adalah
praktik-praktik politik yang picik.
Di samping itu, politik yang
membangun karakter tak lepas dari pendidikan politik. Kita merindukan
partai politik yang memiliki semangat untuk mencerdaskan pemilih.
Partai politik dan aktor politik
seharusnya memberikan pendidikan politik yang masif kepada masyarakat.
Bukan sekadar pasang dan tempel
iklan serta sekadar sosialisasi program di mana-mana. Itulah yang dinanti
para pemilih sehingga mereka tak lari dan ogah memilih.
Politik berkarakter yang di
dalamnya terdapat nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab mestilah
menjadi pedoman serta kaidah dalam perilaku kehidupan politik.
Jadi, kebudayaan mestinya
menjadi ”ibu” dalam politik (culture is mother politic) yang mempunyai
kemampuan untuk memajukan masyarakat dan menciptakan peradaban tinggi di
negeri ini.
Ruang didik
Apa yang dikatakan Buya Syafii
Maarif di atas memang benarlah demikian, kehidupan politik kita sekarang
tuna-kebudayaan. Tak pernah terdengar atau sangat jarang wacana dan
kegiatan kultural yang dilakukan partai politik dan para politisi.
Politik tanpa akar kebudayaan
dikhawatirkan akan memusnahkan nilai-nilai kebajikan, minus kemanusiaan,
menunggu waktunya kepunahan.
Tatkala kehidupan politik
mengalami sengkarut, kekuatan apa yang akan menopangnya sehingga geliat
politik Tanah Air punya harapan sebagai kehendak bersama untuk perubahan?
Tentu, kita tak mesti menunggu azab Tuhan untuk bisa berubah.
Oleh karena itu, di kalangan
pendidik dan anak didik perlu diciptakan ruang didik politik yang bajik.
Sebab, di kalangan terdidik, politik pun tak lepas dari perasaan syak
wasangka, curiga, serta ketakutan irasional dalam tindakan-tindakan politis
dan nonpolitis.
Soedjatmoko (2010:21) pernah
mengatakan, selama ini perasaan syak wasangka, curiga, dan ketakutan
irasional itu selalu mendasari perpecahan politik yang tengah berlangsung
lama di Indonesia.
Jadi, apabila sebagai kaum
terdidik yang mempunyai keyakinan politik masih diseli- muti
perasaan-perasaan ketakutan irasional, betapapun sempurna pengetahuan dan
hebat keahlian, kuranglah berguna semua itu.
Kalangan terdidik tak boleh
takut berpolitik. Begitu pula para pendidik, jangan
melulu mengajarkan rasa
”jijik” terhadap politik kepada anak didik.
Mengajarkan dan melaksanakan
kebajikan politik adalah kekuatan kita untuk menciptakan negara ini menjadi
lebih baik sehingga keberadaban masuk ke dalam semua institusi politik dan
institusi publik.
Walhasil, kultur politik akan
menciptakan kebaikan publik dan institusi politik menjadi rumah kebaikan
publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar