Rabu, 11 Desember 2013

Karut-marut Daftar Pemilih

Karut-marut Daftar Pemilih
Be Hestu CH  ;   Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Mahasiswa Program Doktor Universitas Parahyangan Bandung
KOMPAS,  09 Desember 2013

  

SECARA acak Litbang Kompas menelusuri 100 tempat pemungutan suara. Hasilnya, 68 persen TPS masih bermasalah karena belum semua pemilih mempunyai nomor induk kependudukan (Kompas, 4 November 2013). Persoalan daftar pemilih tetap yang masih karut-marut ini tentu akan memunculkan dua ekses negatif dalam penyelenggaraan Pemilu 2014.

Pertama, keabsahan atau legitimasi pemilu semakin dipertanyakan karena suara rakyat yang masuk tidak sesuai dengan kenyataan Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Kedua, ada sebagian rakyat dengan hak pilih terpaksa−bahkan bisa diartikan dipaksa− tidak dapat mempergunakan hak konstitusionalnya memberikan suara dalam pemilu.

Saat pemilu menjadi cermin prinsip kedaulatan rakyat, saat itulah rakyat memiliki kebebasan memilih dan menentukan calon-calon wakilnya dari partai politik.
Pasal 21 Ayat (3) Piagam Pernyataan HAM Sedunia menyatakan, kemauan rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah.

Kemauan ini harus diwujudkan melalui pemilihan berkala yang jujur, berlandaskan hak pilih yang bersifat umum dan berkesamaan, serta melalui pemungutan suara yang rahasia atau menurut cara-cara lain yang juga menjamin kebebasan bersuara.

Belajar dari pengalaman

Pada Pemilu 2009, persoalan yang paling menonjol dan terjadi pada saat-saat yang menentukan adalah banyaknya warga negara yang kehilangan hak pilih karena tidak tercantum dalam DPT yang disusun oleh Komisi Pemilihan Umum pusat dan daerah.

Sistem administrasi kependudukan lagi-lagi menjadi biang keladi persoalan ini. Angka golput saat itu mencapai 40 persen, terdiri dari golput yang memang tidak mempergunakan hak pilih, dan golput yang dipaksa atau terpaksa karena tidak tercantum dalam DPT.

Bagi golput, yang karena kesadaran sendiri tidak mempergunakan hak pilih, tentu tidak menjadi masalah karena tidak memilih dalam pemilu juga merupakan manifestasi dari hak. Namun, persoalan menjadi sangat serius manakala golput tersebut dipaksa atau terpaksa.

Ditinjau dari perspektif HAM, ini jelas melanggar ketentuan Pasal 21 Ayat (3) Deklarasi HAM Sedunia yang salah satunya menghendaki adanya asas berkesamaan dalam penyelenggaraan pemilu.

Dengan demikian, pemaksaan golput karena tidak tercantumnya nama pemilih dalam DPT dapat dikategorikan sebagai tindakan menghalang-halangi warga negara mempergunakan hak pilihnya.

Hak untuk memilih harus diikuti dengan kewajiban dari penyelenggara pemilu (KPU) untuk memenuhinya. Tanpa harus meminta, penyelenggara pemilu wajib memfasilitasi dan mempermudah pemenuhan hak warga negara untuk memilih.
Terjadinya kekacauan DPT, yang mengakibatkan sebagian pemilih masuk golongan 40 persen golput, menunjukkan bahwa penyelenggara pemilu, yakni KPU pusat dan KPU daerah tidak melaksanakan kewajibannya.

Pemerintah serta KPU (pusat dan daerah) jelas-jelas telah menghilangkan hak konstitusional sebagian warga negara.

Di sinilah pelanggaran HAM itu tidak dapat ditoleransi lagi karena hak pilih dalam pemilu merupakan hak asasi yang paling mendasar dalam konteks hak politik warga negara.

Apalagi Pasal 28 I Ayat (4) UUD 1945 telah mengamanatkan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab negara.

Namun, ketika terjadi karut-marut DPT pada Pemilu 2009, pertanggungjawaban yuridis KPU pusat dan daerah tidak ada kejelasan. Penegakan hukum terhadap ketentuan UU No 10/2008 tentang Pemilu tidak dilaksanakan.

Ketika digugat di MK, keputusan MK memang menyebutkan terjadi pelanggaran hukum, tetapi tidak dilakukan secara masif, sistemik, dan terstruktur.
Lagi-lagi pelanggaran hak konstitusional warga negara dibiarkan.

Sanksi pelanggaran

Terkait dengan pelanggaran hak konstitusional dalam pemilu, khususnya yang terkait dengan DPT, salah satu Ketentuan Pidana UU No 8/2012 tentang Pemilu, yakni Pasal 294 menegaskan setiap anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPS, dan PPLN yang tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Bawaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, pengawas pemilu lapangan, dan pengawas pemilu luar negeri dalam menetapkan serta mengumumkan DPT, daftar pemilih tambahan, daftar pemilih khusus, dan rekapitulasi DPT yang merugikan warga negara Indonesia yang memiliki hak pilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 Ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 36 juta.

Dalam sistematika UU Pemilu yang baru, sanksi diletakkan dalam Bab XXII Ketentuan Pidana Bagian Kedua dan diberi judul ”Kejahatan”.
Ini berarti ada atau tidaknya laporan atau pengaduan dalam hal terjadinya penyimpangan dalam penetapan dan pengumuman DPT, daftar pemilih tambahan, daftar pemilih khusus, dan rekapitulasi DPT yang merugikan warga negara Indonesia, maka secara yuridis penyelenggara pemilu (KPU pusat dan daerah) telah melakukan tindak kejahatan dan oleh karena itu dapat dipidana dengan pidana penjara serta denda kumulatif, bukan alternatif.

Ketentuan itu sekaligus juga menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap hak pilih, dalam hal ini persoalan karut-marut DPT wajib dipertanggungjawabkan secara hukum oleh KPU pusat dan daerah yang dalam ketentuan Pasal 294 itu ditegaskan subyeknya adalah setiap anggota KPU pusat dan daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar