SECARA acak Litbang Kompas
menelusuri 100 tempat pemungutan suara. Hasilnya, 68 persen TPS masih
bermasalah karena belum semua pemilih mempunyai nomor induk kependudukan
(Kompas, 4 November 2013). Persoalan daftar pemilih tetap yang masih
karut-marut ini tentu akan memunculkan dua ekses negatif dalam
penyelenggaraan Pemilu 2014.
Pertama, keabsahan atau
legitimasi pemilu semakin dipertanyakan karena suara rakyat yang masuk
tidak sesuai dengan kenyataan Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Kedua, ada sebagian rakyat
dengan hak pilih terpaksa−bahkan bisa diartikan dipaksa− tidak dapat
mempergunakan hak konstitusionalnya memberikan suara dalam pemilu.
Saat pemilu menjadi cermin
prinsip kedaulatan rakyat, saat itulah rakyat memiliki kebebasan memilih
dan menentukan calon-calon wakilnya dari partai politik.
Pasal 21 Ayat (3) Piagam
Pernyataan HAM Sedunia menyatakan, kemauan rakyat harus menjadi dasar
kekuasaan pemerintah.
Kemauan ini harus diwujudkan
melalui pemilihan berkala yang jujur, berlandaskan hak pilih yang bersifat
umum dan berkesamaan, serta melalui pemungutan suara yang rahasia atau
menurut cara-cara lain yang juga menjamin kebebasan bersuara.
Belajar dari pengalaman
Pada Pemilu 2009, persoalan yang
paling menonjol dan terjadi pada saat-saat yang menentukan adalah banyaknya
warga negara yang kehilangan hak pilih karena tidak tercantum dalam DPT
yang disusun oleh Komisi Pemilihan Umum pusat dan daerah.
Sistem administrasi kependudukan
lagi-lagi menjadi biang keladi persoalan ini. Angka golput saat itu
mencapai 40 persen, terdiri dari golput yang memang tidak mempergunakan hak
pilih, dan golput yang dipaksa atau terpaksa karena tidak tercantum dalam
DPT.
Bagi golput, yang karena
kesadaran sendiri tidak mempergunakan hak pilih, tentu tidak menjadi
masalah karena tidak memilih dalam pemilu juga merupakan manifestasi dari
hak. Namun, persoalan menjadi sangat serius manakala golput tersebut
dipaksa atau terpaksa.
Ditinjau dari perspektif HAM,
ini jelas melanggar ketentuan Pasal 21 Ayat (3) Deklarasi HAM Sedunia yang salah
satunya menghendaki adanya asas berkesamaan dalam penyelenggaraan pemilu.
Dengan demikian, pemaksaan
golput karena tidak tercantumnya nama pemilih dalam DPT dapat dikategorikan
sebagai tindakan menghalang-halangi warga negara mempergunakan hak pilihnya.
Hak untuk memilih harus diikuti
dengan kewajiban dari penyelenggara pemilu (KPU) untuk memenuhinya. Tanpa
harus meminta, penyelenggara pemilu wajib memfasilitasi dan mempermudah
pemenuhan hak warga negara untuk memilih.
Terjadinya kekacauan DPT, yang mengakibatkan
sebagian pemilih masuk golongan 40 persen golput, menunjukkan bahwa
penyelenggara pemilu, yakni KPU pusat dan KPU daerah tidak melaksanakan
kewajibannya.
Pemerintah serta KPU (pusat dan
daerah) jelas-jelas telah menghilangkan hak konstitusional sebagian warga
negara.
Di sinilah pelanggaran HAM itu
tidak dapat ditoleransi lagi karena hak pilih dalam pemilu merupakan hak
asasi yang paling mendasar dalam konteks hak politik warga negara.
Apalagi Pasal 28 I Ayat (4) UUD
1945 telah mengamanatkan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab negara.
Namun, ketika terjadi
karut-marut DPT pada Pemilu 2009, pertanggungjawaban yuridis KPU pusat dan
daerah tidak ada kejelasan. Penegakan hukum terhadap ketentuan UU No
10/2008 tentang Pemilu tidak dilaksanakan.
Ketika digugat di MK, keputusan
MK memang menyebutkan terjadi pelanggaran hukum, tetapi tidak dilakukan
secara masif, sistemik, dan terstruktur.
Lagi-lagi pelanggaran hak
konstitusional warga negara dibiarkan.
Sanksi pelanggaran
Terkait dengan pelanggaran hak
konstitusional dalam pemilu, khususnya yang terkait dengan DPT, salah satu
Ketentuan Pidana UU No 8/2012 tentang Pemilu, yakni Pasal 294 menegaskan
setiap anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPS, dan PPLN
yang tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Bawaslu provinsi, Panwaslu
kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, pengawas pemilu lapangan, dan pengawas
pemilu luar negeri dalam menetapkan serta mengumumkan DPT, daftar pemilih
tambahan, daftar pemilih khusus, dan rekapitulasi DPT yang merugikan warga
negara Indonesia yang memiliki hak pilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal
50 Ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda
paling banyak Rp 36 juta.
Dalam sistematika UU Pemilu yang
baru, sanksi diletakkan dalam Bab XXII Ketentuan Pidana Bagian Kedua dan
diberi judul ”Kejahatan”.
Ini berarti ada atau tidaknya
laporan atau pengaduan dalam hal terjadinya penyimpangan dalam penetapan
dan pengumuman DPT, daftar pemilih tambahan, daftar pemilih khusus, dan
rekapitulasi DPT yang merugikan warga negara Indonesia, maka secara yuridis
penyelenggara pemilu (KPU pusat dan daerah) telah melakukan tindak
kejahatan dan oleh karena itu dapat dipidana dengan pidana penjara serta
denda kumulatif, bukan alternatif.
Ketentuan itu sekaligus juga
menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap hak pilih, dalam hal ini persoalan
karut-marut DPT wajib dipertanggungjawabkan secara hukum oleh KPU pusat dan
daerah yang dalam ketentuan Pasal 294 itu ditegaskan subyeknya adalah
setiap anggota KPU pusat dan daerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar