Rezimentasi
Politik Pemilu 2014
Firman Firdhousi ; Fungsionaris Pengurus Besar
Himpunan Mahasiswa Islam Periode 2013-2015
|
OKEZONENEWS,
03 Desember 2013
Berkepanjangnya kisruh
Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2014 adalah problem utama yang terus
dihadapi bangsa Indonesia. Persoalan di atas penting untuk ditelaah di
tengah situasi bangsa Indonesia yang akan menyelenggarakan Pemilu 2014.
Sebagai agenda konstitusional, perhelatan
akbar lima tahunan yaitu pemilihan umum 2014 sudah di depan mata. Namun,
nuansa konspirasi politik para elit penguasa tercium kuat pasca
ditetapkannya Daftar Pemilih Tetap (DPT) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Hal ini disebabkan masih banyaknya masalah yang membayangi validitas Daftar
Pemilih Tetap (DPT). Dengan total pemilih sebanyak 186.612.255 juta, sekira
10,4 juta data Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang dikeluarkan Komisi Pemilihan
Umum (KPU) terindikasi kuat masih menuai pro dan kontra dari sebagian
peserta pemilu. Belum lagi ditambah persoalan adanya kerjasama antara
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan Lembaga Sandi Negara (LEMSANEG) yang
juga menimbulkan kecurigaan besar dari sebagian peserta Pemilu 2014.
Di tengah masa transisi demokrasi langsung
fase ketiga, terhitung sejak Pemilu 2004 dan Pemilu 2009, seharusnya
persoalan data pemilih tidak terulang kembali dari pemilu ke pemilu karena
selain menunjukkan kegagalan, praktik dengan pola pemalsuan data pemilih
seperti ini adalah sebuah bentuk kejahatan pemilu.
Menjelang momentum pemilu 2014 yang tidak lama
lagi, kredibilitas Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas pemilu
(BAWASLU) dan Kementerian Dalam Negeri (KEMENDAGRI) serta pihak-pihak
terkait sebagai penyelenggara pemilu 2014 dipertaruhkan. Independensi para
penyelenggara pemilu menjadi modal utama dalam mengawal proses agenda
regenerasi kepemimpinan nasional yang diadakan setiap lima tahunan ini.
Buruknya fenomena penyelenggaraan pemilu yang
terjadi pada tahun 2004 dan 2009 soal data pemilih idealnya menjadi bahan
evaluasi sekaligus pembelajaran bagi para penyelenggara pemilu hari ini
sehingga proses penyelenggaraan pemilu dapat berjalan jujur dan adil.
Akar
Masalah
Bila kita mau jujur, harus kita akui bahwa
antusiasme dan ekspektasi masyarakat terhadap Pemilu 2014 sangat minim.
Minimnya antusiasme dan ekspektasi masyarakat terhadap pemilu 2014 lahir
dari buruknya berbagai aspek penyelenggaraan pemilu itu sendiri. Kekecewaan
masyarakat semakin mengkristal karena tanggung jawab yang seharusnya juga
menjadi fokus utama pemerintah untuk membenahi polemik seputar data Daftar
Pemilih Tetap (DPT), yang terjadi adalah sikap Pemerintah sama sekali tidak
memperlihatkan upaya yang baik untuk menyelesaikannya. Sehingga dengan
situasi seperti ini tidak berlebihan bila banyak orang mulai menduga-duga
bahwa kisruh data Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan persoalan-persoalan
lainnya merupakan bagian dari konspirasi elit politik yang berkuasa hari
ini bersama-sama pihak penyelenggara pemilu untuk merezimentasi kekuasaan
menjadi tak terelakkan.
Kemacetan mekanisme demokrasi dan pertentangan
di berbagai jenjang institusi demokrasi serta proses politiknya melalui
konspirasi rezim yang berkuasa hari ini dalam kepengaturan berbagai
undang-undang Pemilu 2014 menjadi pertanda kuat bahwa penyelenggaraan
Pemilu 2014 akan gagal pun semakin santer terdengar, baik akibat kendala
yang bersifat prinsipil maupun teknis. Bilamana pertentangan ini terus
berlanjut, Pemilu 2014 tidak akan memberi peluang sebuah harapan bahwa
kehidupan demokrasi di Indonesia akan membaik.
Semua itu adalah dilema yang akan terus
membayangi proses transisi kepemimpinan nasional menjelang Pemilu 2014.
Dari sini terangkat ke permukaan bahwa pengelolaan negara selama ini pasca
jatuhnya rezim orde baru selama era reformasi bergulir, nilai-nilai
demokrasi belum membudaya dalam tradisi kehidupan politik Indonesia. Justru
yang tampak adalah penyelenggaraan kehidupan bernegara masih mengakar kuat
tradisi kehidupan politik yang bersifat dinastik atau oligarkis. Jika
berbagai kendala teknis penyelenggaraan Pemilu 2014 belum diatasi dengan
baik, maka kita tidak bisa berharap banyak bahwa pemilu 2014 akan mampu
melahirkan new leadership (kepemimpinan baru). Dan, kemungkinan besar
Pemerintahan hasil dari Pemilu 2014 mengalami social distrust karena basis
legitimasinya tidak terkoneksi dengan aspirasi rakyat.
Tawaran
Solusi
Pertanyaannya adalah bagaimana langkah yang
efektif dan efisien dalam mengatasi kemelut ini? Pertama, langkah mendasar
yang harus dilakukan dalam mengatasi berbagai persoalan yang terus
menyelimuti proses penyelenggaraan Pemilu adalah memutus mata rantai
rezimentasi politik dari determinasi tangan-tangan kotor para pemangku
kekuasaan dalam kepengaturan berbagai perundang-undangan pemilu. Dengan
membebaskan proses penyelenggaraan pemilu dari segala macam bentuk
intervensi negara, maka efektifitas dan efisiensi pemilu dapat
mengembalikan social trust masyarakat bahwa suara rakyat yang diaspirasikan
melalui pemilu tergaransi dengan baik karena pemilu berjalan on the track.
Kedua, memperkuat pengorganisiran civil society secara massif guna
dilibatkan secara aktif dalam memberikan kontrol kepada para penyelenggara
pemilu. Melalui cara yang kedua ini, rakyat diharapkan mampu melihat dan
merasakan apakah pelaksanaan pemilu berjalan berdasarkan asaz luber
(langsung, bebas, rahaisa) dan jurdil (jujur dan adil). Hal tersebut untuk
menepis keraguan publik bahwa pelaksanaan pemilu jauh dari bayang-bayang
hegemoni penguasa.
Dengan cara melakukan penyelesaian persoalan
kepemiluan baik di dalam sistem maupun di luar sistem sebagaimana
dikemukakan di atas, diharapkan timbul secercah cahaya bahwa Pemilu 2014
akan melahirkan generasi kepemimpinan baru yang kompatibel dan praktik
demokratisasi di Indonesia semakin membaik sehingga krisis berkepanjangan
yang melanda bangsa ini dapat segera diatasi. Kemungkinan harapan seperti
ini memiliki peluang besar, terutama bila Pemilu 2014 dapat berjalan sesuai
dengan ekspektasi publik. Semoga. ●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar