Kamis, 05 Desember 2013

Bailout Bank Century Tidak Mulia

Bailout Bank Century Tidak Mulia
Ahmad Yani ;   Wakil Ketua Fraksi PPP DPR RI
KORAN SINDO,  03 Desember 2013
  


Kandungan nilai penegakan hukum dalam proses penuntasan megaskandal Bank Century amat strategis bagi masa depan penegakan hukum di Indonesia. 

Karena itu, bobot ketegasan dan konsistensi KPK dalam membidik dan memeriksa semua pihak yang terduga terlibat skandal ini tidak boleh berkurang sedikit pun. KPK bahkan tidak boleh terkecoh jika ada pihak yang coba mereduksi atau menyederhanakan indikasi white collar crime dalam kasus ini menjadi masalah pengambilalihan bank oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). 

Penjelasan mantan gubernur Bank Indonesia usai menjalani pemeriksaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk kasus Bank Century, Sabtu (23/11), malah cenderung berupaya mengaburkan konstruksi kasus dan mekanisme pertanggungjawaban atas proses pencairan dan gelembung nilai bailout untuk Bank Century sebesar Rp6,7 triliun. Ketika dia menegaskan bahwa tidak ada kebijakan bailout, namun pengambilalihan Bank Century, sudah barang tentu semua orang mengernyitkan dahi. 

Apakah mantan gubernur Bank Indonesia ini sedang berusaha mengecoh KPK dan publik? Sebelum semua terkecoh, ruang publik langsung dijejali dengan dokumen 21 November 2008 yang memuat pernyataan pemilik sekaligus pengendali manajemen Bank Century, Robert Tantular. Pada dokumen itu, selaku direktur utama PT Century Mega Investindo, Robert menegaskan, ”Dengan ini menyatakan saya bersedia untuk diikutsertakan dalam rangka penanganan PT Bank Century Tbk oleh LPS sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS.” 

Robert bahkan siap menyetor tambahan modal sekurang-kurangnya 20% dari perkiraan biaya penanganan yang ditetapkan LPS dalam jangka waktu 35 hari sejak surat pernyataannya ditandatangani. Dengan pernyataan ini, jelas bahwa Bank Century sejatinya di-bailout karena pemegang saham lama dilibatkan dalam proses itu, bukan diambil alih. Tentunya, ada motif dari pernyataan mantan gubernur Bank Indonesia yang mengubah bailout menjadi pengambilalihan itu. 

Mantan gubernur Bank Indonesia ini juga mengklaim bahwa apa yang dilakukannya bersama Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam mencairkan fasilitas pinjaman jangka pendek (FPJP) untuk Bank Century sebagai tindakan mulia. Namun, berbagai temuan, termasuk temuan pada sejumlah dokumen resmi plus hasil pemeriksaan serta audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kadar kemuliaan dari proses penyelamatan Bank Century nyaris tidak ada sama sekali. 

Bahkan yang terlihat begitu mencolok justru kecenderungan sekelompok orang menyalahgunakan wewenang mereka untuk melakukan white collar crime. Motif white collar crime mulai terlihat ketika BPK menemukan indikasi kesengajaan BI mengubah aturan persyaratan CAR pada 14 November 2008 yakni dengan mengganti angka minimal 8% menjadi minimal 0% atau positif. Indikasi niat buruk itu tampak makin telanjang ketika BI dan KSSK menyetujui FPJP untuk Bank Century. Saat akad FPJP ditandatangani, CAR Bank Century justru sudah ambruk ke posisi negatif 3,53%. 

Artinya, sekali pun PBI tentang CAR sudah diubah, Bank Century tak layak ditolong. Jelas tak layak ditolong karena ukuran bank ini kecil. Mengeliminasi bank ini tidak akan berdampak sistemik karena deposan besar di Bank Century hanya satu-dua orang dan beberapa badan usaha. Jadi, kalau bank ini dinyatakan bangkrut, tidak akan ada gelombang rush. Dengan asumsi dan fakta tentang segelintir deposan besar itu, argumen tentang dampak sistemik dari likuidasi Bank Century terbantahkan. 

Jadi, di mana letak kemuliaan dari kebijakan penyelamatan bank kecil ini? Motif white collar crime pun terlihat dari proses pencairan FPJP. BPK menemukan kejanggalan proses pencairan FPJP senilai Rp689 miliar pada waktu yang tidak lazim. Prosesnya kurang dari lima jam dengan membuat tanggal dan jam mundur atau tidak dalam waktu yang sebenarnya sebagaimana tertera pada akta notaris. 

Rekayasa CAR 

FPJP Rp689 miliar tetap saja tak mampu menjaga eksistensi Bank Century. Dana itu habis seketika karena manajemen bank melayani penarikan besar-besaran oleh deposan besar. Ini terjadi karena gubernur BI tidak memerintahkan divisi pengawasan bank di BI untuk mengontrol dan mengendalikan manajemen Bank Century. Maka itu, pada 20 November 2008 malam hari, rapat Dewan Gubernur BI lagi-lagi berhasil merumuskan argumentasi yang masuk akal untuk menyelamatkan bank ini. 

Akal-akalan itu tertuang dalam surat bernomor 10/232/GBI/Rahasia tentang Penetapan Status Bank Gagal PT Bank Century Tbk dan Penanganan Tindak Lanjutnya yang ditandatangani gubernur BI. Surat itu memuat strategi ”menyehatkan” CAR Bank Century. Cara instannya adalah menyuntikkan dana segar berstatus penyertaan modal sementara (PMS) sebesar Rp632 miliar. Dengan jumlah PMS sebesar itu, CAR Bank Century ditargetkan bisa segera positif menjadi 8% dari posisi negatif 3,53% per 31 Oktober 2008. 

Didahului sebuah rapat konsultasi yang dihadiri para petinggi dan perumus kebijakan sektor fiskal dan jasa keuangan, pada malam hari itu juga gubernur BI dan Sri Mulyani menggelar rapat KSSK hingga subuh keesokan harinya, 21 November 2008. Rapat KSSK ini khusus membahas usul BI agar status Bank Century dinaikkan statusnya menjadi ”Bank Gagal Berdampak Sistemik”. 

Sebagian peserta, utamanya Ketua KSSK Sri Mulyani, langsung mementahkan usul BI. Dia ingatkan bahwa reputasi Bank Century tidak bagus. Sri Mulyani kemudian minta peserta rapat lain memberi pendapat atas saran Gubernur BI. Badan Kebijakan Fiskal (BKF) langsung menolak penilaian BI atas Bank Century. 

Menurut BKF, analisis risiko sistemik versi BI belum didukung data yang cukup dan terukur untuk menyatakan Bank Century dapat menimbulkan risiko sistemik. Bagi BKF, BI hanya menyajikan analisis ”dampak psikologis.” Singkat kata, semua pihak pasti masih ingat dengan penuturan Wakil Presiden Jusuf Kalla tentang curahan hati Sri Mulyani kepadanya. 

Sekali waktu, dalam pertemuan keduanya, Sri Mulyani mengaku sangat kecewa karena telah dibohongi oleh orang-orang BI. Kepada Pansus Bank Century di DPR, Sri Mulyani mengaku hanya bersedia mempertanggungjawabkan Rp632 miliar dana talangan Bank Century. Maka itu, pertanyaan sekaligus persoalan hukum yang harus diselesaikan adalah siapa yang harus mempertanggungjawabkan Rp6 triliun lebih sisa dana talangan itu? Bila dana ini berstatus tidak jelas, di mana nilai kemuliaan dari tindakan pemberian FPJP itu seperti diutarakan mantan gubernur Bank Indonesia? 

Kalau dia kemudian melimpahkan ekses kebijakan Dewan Gubernur BI atas Bank Century kepada LPS dan Divisi Pengawasan Bank di BI, selaku gubernur BI tetap saja tidak bisa cuci tangan. Bukankah orangorang dari divisi pengawasan bank di BI adalah juga anak buah gubernur BI? Lagi pula, sudah menjadi pemahaman publik bahwa semua kebijakan strategis BI selalu dirumuskan dan diputuskan dalam kerangka kolektif kolegial oleh Dewan Gubernur BI. 

Dengan begitu, gubernur Bank Indonesia tidak boleh dibiarkan lari dari tanggung jawabnya atas keputusan Dewan Gubernur BI menetapkan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Ia pun harus bertanggung jawab atas ekses penghitungan dan pencairan FPJP. Benar KPK telah memeriksa mantan gubernur BI, namun langkah KPK tersebut harus dikritisi agar tidak menjadi preseden. Pertama, karena pemeriksaan dilaksanakan pada Sabtu dan dirahasiakan. 

Kedua, karena pemeriksaan dilaksanakan di kantor wakil presiden. KPK akan kerepotan jika kemudian hari pihak lain juga meminta perlakuan khusus karena menolak diperiksa di Gedung KPK. Mari diingat kembali kesediaan mantan Presiden Soeharto mendatangi Gedung Kejaksaan Agung untuk diperiksa serta kesediaan Jusuf Kalla mendatangi KPK. Sekadar menjalani pemeriksaan di KPK tidak akan mengurangi derajat kehormatan seseorang, termasuk wakil presiden sekali pun. 

Jadwal pemeriksaan mantan gubernur Bank Indonesia itu idealnya diumumkan kepada publik seperti KPK mengumumkan jadwal pemeriksaan figur terperiksa lain. Pemeriksaan mantan gubernur Bank Indonesia oleh KPK adalah sesuatu yang sudah diperkirakan oleh masyarakat, sebuah konsekuensi logis setelah mantan Deputi Gubernur BI Budi Mulya dan Siti Fadjriah ditetapkan sebagai tersangka kasus Bank Century. 

Akhirnya sesungguhnya rakyat Indonesia menunggu langkah konkret KPK untuk segera menuntaskan kasus Bank Century. Terlebih kasus Century sudah terang benderang, faktafakta penyimpangan sudah jelas. KPK juga telah memiliki hasil audit investigatif dari BPK. Hanya tinggal satu yang dibutuhkan, keberanian KPK!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar