Kandungan nilai
penegakan hukum dalam proses penuntasan megaskandal Bank Century amat
strategis bagi masa depan penegakan hukum di Indonesia.
Karena itu, bobot ketegasan dan konsistensi
KPK dalam membidik dan memeriksa semua pihak yang terduga terlibat skandal
ini tidak boleh berkurang sedikit pun. KPK bahkan tidak boleh terkecoh jika
ada pihak yang coba mereduksi atau menyederhanakan indikasi white collar crime dalam kasus ini
menjadi masalah pengambilalihan bank oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Penjelasan mantan gubernur Bank Indonesia usai
menjalani pemeriksaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk kasus
Bank Century, Sabtu (23/11), malah cenderung berupaya mengaburkan
konstruksi kasus dan mekanisme pertanggungjawaban atas proses pencairan dan
gelembung nilai bailout untuk Bank Century sebesar Rp6,7 triliun. Ketika
dia menegaskan bahwa tidak ada kebijakan bailout, namun pengambilalihan
Bank Century, sudah barang tentu semua orang mengernyitkan dahi.
Apakah mantan gubernur Bank Indonesia ini
sedang berusaha mengecoh KPK dan publik? Sebelum semua terkecoh, ruang
publik langsung dijejali dengan dokumen 21 November 2008 yang memuat
pernyataan pemilik sekaligus pengendali manajemen Bank Century, Robert
Tantular. Pada dokumen itu, selaku direktur utama PT Century Mega
Investindo, Robert menegaskan, ”Dengan ini menyatakan saya bersedia untuk
diikutsertakan dalam rangka penanganan PT Bank Century Tbk oleh LPS
sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS.”
Robert bahkan siap menyetor tambahan modal
sekurang-kurangnya 20% dari perkiraan biaya penanganan yang ditetapkan LPS
dalam jangka waktu 35 hari sejak surat pernyataannya ditandatangani. Dengan
pernyataan ini, jelas bahwa Bank Century sejatinya di-bailout karena pemegang saham lama dilibatkan dalam proses itu,
bukan diambil alih. Tentunya, ada motif dari pernyataan mantan gubernur
Bank Indonesia yang mengubah bailout menjadi pengambilalihan itu.
Mantan gubernur Bank Indonesia ini juga
mengklaim bahwa apa yang dilakukannya bersama Komite Stabilitas Sistem
Keuangan (KSSK) dalam mencairkan fasilitas pinjaman jangka pendek (FPJP)
untuk Bank Century sebagai tindakan mulia. Namun, berbagai temuan, termasuk
temuan pada sejumlah dokumen resmi plus hasil pemeriksaan serta audit Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK), kadar kemuliaan dari proses penyelamatan Bank
Century nyaris tidak ada sama sekali.
Bahkan yang terlihat begitu mencolok justru
kecenderungan sekelompok orang menyalahgunakan wewenang mereka untuk
melakukan white collar crime.
Motif white collar crime mulai
terlihat ketika BPK menemukan indikasi kesengajaan BI mengubah aturan
persyaratan CAR pada 14 November 2008 yakni dengan mengganti angka minimal
8% menjadi minimal 0% atau positif. Indikasi niat buruk itu tampak makin
telanjang ketika BI dan KSSK menyetujui FPJP untuk Bank Century. Saat akad
FPJP ditandatangani, CAR Bank Century justru sudah ambruk ke posisi negatif
3,53%.
Artinya, sekali pun PBI tentang CAR sudah
diubah, Bank Century tak layak ditolong. Jelas tak layak ditolong karena
ukuran bank ini kecil. Mengeliminasi bank ini tidak akan berdampak sistemik
karena deposan besar di Bank Century hanya satu-dua orang dan beberapa
badan usaha. Jadi, kalau bank ini dinyatakan bangkrut, tidak akan ada
gelombang rush. Dengan asumsi dan fakta tentang segelintir deposan besar
itu, argumen tentang dampak sistemik dari likuidasi Bank Century
terbantahkan.
Jadi, di mana letak kemuliaan dari kebijakan
penyelamatan bank kecil ini? Motif white collar crime pun terlihat dari
proses pencairan FPJP. BPK menemukan kejanggalan proses pencairan FPJP
senilai Rp689 miliar pada waktu yang tidak lazim. Prosesnya kurang dari
lima jam dengan membuat tanggal dan jam mundur atau tidak dalam waktu yang
sebenarnya sebagaimana tertera pada akta notaris.
Rekayasa CAR
FPJP Rp689 miliar tetap saja tak mampu menjaga
eksistensi Bank Century. Dana itu habis seketika karena manajemen bank
melayani penarikan besar-besaran oleh deposan besar. Ini terjadi karena
gubernur BI tidak memerintahkan divisi pengawasan bank di BI untuk
mengontrol dan mengendalikan manajemen Bank Century. Maka itu, pada 20
November 2008 malam hari, rapat Dewan Gubernur BI lagi-lagi berhasil
merumuskan argumentasi yang masuk akal untuk menyelamatkan bank ini.
Akal-akalan itu tertuang dalam surat bernomor
10/232/GBI/Rahasia tentang Penetapan Status Bank Gagal PT Bank Century Tbk
dan Penanganan Tindak Lanjutnya yang ditandatangani gubernur BI. Surat itu
memuat strategi ”menyehatkan” CAR Bank Century. Cara instannya adalah
menyuntikkan dana segar berstatus penyertaan modal sementara (PMS) sebesar
Rp632 miliar. Dengan jumlah PMS sebesar itu, CAR Bank Century ditargetkan
bisa segera positif menjadi 8% dari posisi negatif 3,53% per 31 Oktober
2008.
Didahului sebuah rapat konsultasi yang
dihadiri para petinggi dan perumus kebijakan sektor fiskal dan jasa keuangan,
pada malam hari itu juga gubernur BI dan Sri Mulyani menggelar rapat KSSK
hingga subuh keesokan harinya, 21 November 2008. Rapat KSSK ini khusus
membahas usul BI agar status Bank Century dinaikkan statusnya menjadi ”Bank
Gagal Berdampak Sistemik”.
Sebagian peserta, utamanya Ketua KSSK Sri
Mulyani, langsung mementahkan usul BI. Dia ingatkan bahwa reputasi Bank
Century tidak bagus. Sri Mulyani kemudian minta peserta rapat lain memberi
pendapat atas saran Gubernur BI. Badan Kebijakan Fiskal (BKF) langsung
menolak penilaian BI atas Bank Century.
Menurut BKF, analisis risiko sistemik versi BI
belum didukung data yang cukup dan terukur untuk menyatakan Bank Century
dapat menimbulkan risiko sistemik. Bagi BKF, BI hanya menyajikan analisis
”dampak psikologis.” Singkat kata, semua pihak pasti masih ingat dengan
penuturan Wakil Presiden Jusuf Kalla tentang curahan hati Sri Mulyani
kepadanya.
Sekali waktu, dalam pertemuan keduanya, Sri
Mulyani mengaku sangat kecewa karena telah dibohongi oleh orang-orang BI.
Kepada Pansus Bank Century di DPR, Sri Mulyani mengaku hanya bersedia
mempertanggungjawabkan Rp632 miliar dana talangan Bank Century. Maka itu,
pertanyaan sekaligus persoalan hukum yang harus diselesaikan adalah siapa
yang harus mempertanggungjawabkan Rp6 triliun lebih sisa dana talangan itu?
Bila dana ini berstatus tidak jelas, di mana nilai kemuliaan dari tindakan
pemberian FPJP itu seperti diutarakan mantan gubernur Bank Indonesia?
Kalau dia kemudian melimpahkan ekses kebijakan
Dewan Gubernur BI atas Bank Century kepada LPS dan Divisi Pengawasan Bank
di BI, selaku gubernur BI tetap saja tidak bisa cuci tangan. Bukankah
orangorang dari divisi pengawasan bank di BI adalah juga anak buah gubernur
BI? Lagi pula, sudah menjadi pemahaman publik bahwa semua kebijakan
strategis BI selalu dirumuskan dan diputuskan dalam kerangka kolektif
kolegial oleh Dewan Gubernur BI.
Dengan begitu, gubernur Bank Indonesia tidak
boleh dibiarkan lari dari tanggung jawabnya atas keputusan Dewan Gubernur
BI menetapkan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Ia pun
harus bertanggung jawab atas ekses penghitungan dan pencairan FPJP. Benar
KPK telah memeriksa mantan gubernur BI, namun langkah KPK tersebut harus
dikritisi agar tidak menjadi preseden. Pertama, karena pemeriksaan
dilaksanakan pada Sabtu dan dirahasiakan.
Kedua, karena pemeriksaan dilaksanakan di
kantor wakil presiden. KPK akan kerepotan jika kemudian hari pihak lain
juga meminta perlakuan khusus karena menolak diperiksa di Gedung KPK. Mari
diingat kembali kesediaan mantan Presiden Soeharto mendatangi Gedung
Kejaksaan Agung untuk diperiksa serta kesediaan Jusuf Kalla mendatangi KPK.
Sekadar menjalani pemeriksaan di KPK tidak akan mengurangi derajat
kehormatan seseorang, termasuk wakil presiden sekali pun.
Jadwal pemeriksaan mantan gubernur Bank
Indonesia itu idealnya diumumkan kepada publik seperti KPK mengumumkan
jadwal pemeriksaan figur terperiksa lain. Pemeriksaan mantan gubernur Bank
Indonesia oleh KPK adalah sesuatu yang sudah diperkirakan oleh masyarakat,
sebuah konsekuensi logis setelah mantan Deputi Gubernur BI Budi Mulya dan
Siti Fadjriah ditetapkan sebagai tersangka kasus Bank Century.
Akhirnya sesungguhnya rakyat Indonesia
menunggu langkah konkret KPK untuk segera menuntaskan kasus Bank Century.
Terlebih kasus Century sudah terang benderang, faktafakta penyimpangan
sudah jelas. KPK juga telah memiliki hasil audit investigatif dari BPK.
Hanya tinggal satu yang dibutuhkan, keberanian KPK! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar