Natal dan
Kemitraan Agama
Ismatillah A Nu’ad ; Peneliti
dari Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas
Paramadina Jakarta
|
SUARA
MERDEKA, 24 Desember 2013
”Peace
among religions is a precondition for world peace.” -
Swami Agnivesh, spiritualis dan
aktivis sosial India
"Agamawan
perlu merangkul semua tokoh lokal, di sisi lain harus kembali menghidupkan
kearifan lokal"
PERDAMAIAN antaragama
adalah prasyarat perdamaian dunia, sebagaimana pernyataan Swami Agnivesh,
kiranya tepat untuk menjadi refleksi perayaan Natal 2013. Perayaan Natal
tahun ini seakan-akan kembali mengusik kesadaran akan keberagamaan kita,
terutama bagi pemeluk Islam. Kerukunan pemeluk dua agama itu kerap terganggu,
semisal berkait tempat ibadah.
Pada tataran kultural,
kerukunan umat beragama di Indonesia, khususnya antara Islam dan Nasrani,
sebagai agama yang dianut secara mayoritas, memang sangat baik. Agama bukan
menjadi ”jualan politik” melainkan benar-benar bersatu, bersama-sama napak
tilas kehidupan masyarakat.
Umat kedua agama tersebut,
bersama umat agama yang lain, melakukan rutinitas praktik peribadatan
masing-masing, dan saling menghargai satu sama lain. Itulah sebabnya selama
ini Indonesia selalu menjadi proyek percontohan bagi negara-negara Eropa dan
AS untuk meneliti persoalan kerukunan umat beragama (KUB), semisal melalui
LSM mereka. Namun dalam praktis politik, KUB agak bermasalah, terutama
terjadi dalam kehidupan masyarakat beragama yang urban. Dalam konteks itu,
kita bisa mengumpamakan kemunculan ormas keagamaan yang mencoba mempersoalkan
pola keberagamaan di Indonesia.
Sebut saja kemunculan
kelompok yang berambisi menggantikan peran aparatur keamanan negara sehingga
mengacaukan tatanan kebangsaan. Bagi mereka, seakan-akan negara ini adalah
negara Islam. Kemunculan gerakan seperti itu sangat dilematis, jika tak mau
dikatakan berbahaya, mengingat bisa memicu kemunculan gerakan serupa dari
agama lain.
Kemunculan ormas semacam
itu bisa dibilang lebih bersifat politis ketimbang persoalan agama murni.
Seorang pengamat pernah mengatakan, kemunculan gerakan garis keras keagamaan
itu memiliki tujuan supaya aspirasi politik mereka lebih didengar oleh
negara. Dalam bahasa lain, mereka mencoba ingin menaruh tempat yang khusus
bagi ”Islam” di atas pentas politik.
Selain itu, tak bisa
dimungkiri, masih ada sikap merasa benar sendiri dalam komunitas Islam. Itu
sudah terjadi sejak ratusan tahun silam, dan hingga kini belum hilang. Itulah
sebabnya diperlukan pemahaman secara komprehensif bahwa kita hidup di tengah
beragam perbedaan pemahaman dan agama.
Lewat , The Myth of Religious Superiority
(2005), Paul F Knitter memberi gambaran dalam pluralitas kita tak bisa begitu
saja mengatakan bahwa kitalah yang paling benar. Layaknya seperti saat kita
menilai pasangan, entah kekasih ataukah istri, pastilah kita akan mengatakan
dia paling cantik, terpintar dan segalanya.
Tapi pada saat bersamaan,
yang lain pasti akan mengatakan serupa. Jadi, belum tentu hal yang menurut
kita baik, menurut yang lain juga baik. Karena itulah diperlukan pluralitas
supaya kita lebih menghargai yang lain. Saat terjadi penolakan terhadap
pluralitas dalam komunitas Islam, institusi pendidikan Islam sempat
disalahkan.
Menjaga
Kebersamaan
Sebagian buru-buru
menegaskan bahwa tak ada yang salah terhadap pola pengajaran Islam seperti
selama ini diberikan, namun sebenarnya tidaklah bijak untuk mengatakan bahwa
sistem pengajaran yang ada sudah sempurna. Untuk memediasi dua pandangan itu,
semestinya ada penguatan mengenai keterbukaan dan pluralitas. Di pesantren
misalnya, para santri sebenarnya sedikit telah diperkenalkan mengenai
perbedaan dan arti penting menjaga kebersamaan dalam perbedaan. Contoh para
santri sudah diperkenalkan adanya perbedaan empat mazhab fikih dalam Islam,
dalam al-Fiqhu ëala madzahibil arbaíah.
Hendaknya tak berhenti sampai di titik itu namun juga harus memperkenalkan
perbedaan keragaman paham dalam aliran teologi Islam.
Terpenting, masalah
perbedaan agama di Indonesia supaya pendidikan Islam menjadi lebih
terbuka.
Itulah sebenarnya tugas
pemerintah untuk menyadarkan warga negara, siapa pun dia, akan
kewarganegaraannya (citizenship
awareness). Bahwa dia hidup dalam negara hukum, bukan hidup dalam negara
agama, pun tidak juga dalam ”negara
Tuhan”. Hendaknya segala sesuatu harus dikembalikan pada regulasi. Jika
sebagai warga negara menyalahi aturan, sepatutnyalah bagi aparatur negara
untuk menindak setegas-tegasnya dan tentu seadil-adilnya.
Pelebaran isu toleransi
dan penguatan kemitraan antariman atau antaragama seperti Indonesian Forum on Interfaith Dialogue
sebaiknya tak hanya dilakukan secara formalistik tapi harus lebih bersifat
praksis. Selama ini gerakan kaum agamawan belum maksimal, terutama karena
cenderung bersifat formalistik, jika tak mau dikatakan cenderung bersifat
elitis.
Forum semacam itu harus
lebih bersifat bottom up, dalam
arti agamawan harus benar-benar berangkat dari bawah untuk menyadarkan
kehidupan kerukunan umat beragama. Agamawan harus merangkul semua tokoh
masyarakat lokal, di sisi lain juga harus kembali menghidupkan apa yang
disebut kearifan lokal. Nilai kearifan apa saja yang dapat menghindarkan
masyarakat beragama pada konflik berbau SARA? Seyogianya kita semua perlu
menggali kearifan lokal demi kemitraan antaragama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar