Rabu, 25 Desember 2013

Natal dan Kemitraan Agama

Natal dan Kemitraan Agama
Ismatillah A Nu’ad  ;   Peneliti dari Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina Jakarta
SUARA MERDEKA,  24 Desember 2013

  

”Peace among religions is a precondition for world peace.” - Swami Agnivesh, spiritualis dan aktivis sosial India

"Agamawan perlu merangkul semua tokoh lokal, di sisi lain harus kembali menghidupkan kearifan lokal"

PERDAMAIAN antaragama adalah prasyarat perdamaian dunia, sebagaimana pernyataan Swami Agnivesh, kiranya tepat untuk menjadi refleksi perayaan Natal 2013. Perayaan Natal tahun ini seakan-akan kembali mengusik kesadaran akan keberagamaan kita, terutama bagi pemeluk Islam. Kerukunan pemeluk dua agama itu kerap terganggu, semisal berkait tempat ibadah.

Pada tataran kultural, kerukunan umat beragama di Indonesia, khususnya antara Islam dan Nasrani, sebagai agama yang dianut secara mayoritas, memang sangat baik. Agama bukan menjadi ”jualan politik” melainkan benar-benar bersatu, bersama-sama napak tilas kehidupan masyarakat.

Umat kedua agama tersebut, bersama umat agama yang lain, melakukan rutinitas praktik peribadatan masing-masing, dan saling menghargai satu sama lain. Itulah sebabnya selama ini Indonesia selalu menjadi proyek percontohan bagi negara-negara Eropa dan AS untuk meneliti persoalan kerukunan umat beragama (KUB), semisal melalui LSM mereka. Namun dalam praktis politik, KUB agak bermasalah, terutama terjadi dalam kehidupan masyarakat beragama yang urban. Dalam konteks itu, kita bisa mengumpamakan kemunculan ormas keagamaan yang mencoba mempersoalkan pola keberagamaan di Indonesia.

Sebut saja kemunculan kelompok yang berambisi menggantikan peran aparatur keamanan negara sehingga mengacaukan tatanan kebangsaan. Bagi mereka, seakan-akan negara ini adalah negara Islam. Kemunculan gerakan seperti itu sangat dilematis, jika tak mau dikatakan berbahaya, mengingat bisa memicu kemunculan gerakan serupa dari agama lain.

Kemunculan ormas semacam itu bisa dibilang lebih bersifat politis ketimbang persoalan agama murni. Seorang pengamat pernah mengatakan, kemunculan gerakan garis keras keagamaan itu memiliki tujuan supaya aspirasi politik mereka lebih didengar oleh negara. Dalam bahasa lain, mereka mencoba ingin menaruh tempat yang khusus bagi ”Islam” di atas pentas politik.  

Selain itu, tak bisa dimungkiri, masih ada sikap merasa benar sendiri dalam komunitas Islam. Itu sudah terjadi sejak ratusan tahun silam, dan hingga kini belum hilang. Itulah sebabnya diperlukan pemahaman secara komprehensif bahwa kita hidup di tengah beragam perbedaan pemahaman dan agama.

Lewat , The Myth of Religious Superiority (2005), Paul F Knitter memberi gambaran dalam pluralitas kita tak bisa begitu saja mengatakan bahwa kitalah yang paling benar. Layaknya seperti saat kita menilai pasangan, entah kekasih ataukah istri, pastilah kita akan mengatakan dia paling cantik, terpintar dan segalanya.

Tapi pada saat bersamaan, yang lain pasti akan mengatakan serupa. Jadi, belum tentu hal yang menurut kita baik, menurut yang lain juga baik. Karena itulah diperlukan pluralitas supaya kita lebih menghargai yang lain.  Saat terjadi penolakan terhadap pluralitas dalam komunitas Islam, institusi pendidikan Islam sempat disalahkan.

Menjaga Kebersamaan

Sebagian buru-buru menegaskan bahwa tak ada yang salah terhadap pola pengajaran Islam seperti selama ini diberikan, namun sebenarnya tidaklah bijak untuk mengatakan bahwa sistem pengajaran yang ada sudah sempurna. Untuk memediasi dua pandangan itu, semestinya ada penguatan mengenai keterbukaan dan pluralitas. Di pesantren misalnya, para santri sebenarnya sedikit telah diperkenalkan mengenai perbedaan dan arti penting menjaga kebersamaan dalam perbedaan. Contoh para santri sudah diperkenalkan adanya perbedaan empat mazhab fikih dalam Islam, dalam al-Fiqhu ëala madzahibil arbaíah. Hendaknya tak berhenti sampai di titik itu namun juga harus memperkenalkan perbedaan keragaman paham dalam aliran teologi Islam. 
Terpenting, masalah perbedaan agama di Indonesia supaya pendidikan Islam menjadi lebih terbuka.  

Itulah sebenarnya tugas pemerintah untuk menyadarkan warga negara, siapa pun dia, akan kewarganegaraannya (citizenship awareness). Bahwa dia hidup dalam negara hukum, bukan hidup dalam negara agama, pun tidak juga dalam ”negara Tuhan”. Hendaknya segala sesuatu harus dikembalikan pada regulasi. Jika sebagai warga negara menyalahi aturan, sepatutnyalah bagi aparatur negara untuk menindak setegas-tegasnya dan tentu seadil-adilnya.  

Pelebaran isu toleransi dan penguatan kemitraan antariman atau antaragama seperti Indonesian Forum on Interfaith Dialogue sebaiknya tak hanya dilakukan secara formalistik tapi harus lebih bersifat praksis. Selama ini gerakan kaum agamawan belum maksimal, terutama karena cenderung bersifat formalistik, jika tak mau dikatakan cenderung bersifat elitis.

Forum semacam itu harus lebih bersifat bottom up, dalam arti agamawan harus benar-benar berangkat dari bawah untuk menyadarkan kehidupan kerukunan umat beragama. Agamawan harus merangkul semua tokoh masyarakat lokal, di sisi lain juga harus kembali menghidupkan apa yang disebut kearifan lokal. Nilai kearifan apa saja yang dapat menghindarkan masyarakat beragama pada konflik berbau SARA? Seyogianya kita semua perlu menggali kearifan lokal demi kemitraan antaragama. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar