Kamis, 12 Desember 2013

Rakyat dan Tragedi Demokrasi

Rakyat dan Tragedi Demokrasi
Radhar Panca Dahana  ;   Budayawan
KOMPAS,  12 Desember 2013

  

DALAM  riset yang dilakukan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, ditunjukkan bagaimana demokrasi dalam sekujur sejarah modern republik ini mengalami berkali-kali perubahan tafsir, rumusan, hingga implementasinya. Riset itu pun ”membuktikan” bagaimana perubahan-perubahan itu ternyata ditentukan atau bergantung pada rezim apa yang berkuasa pada masa itu.

Kita semua tahu, berapa dan apa saja rezim yang pernah memegang tampuk kekuasaan sejak Soekarno-Hatta di awal masa proklamasi. Sejumlah itulah demokrasi pun berubah, di wajah rezim itu pula karakter demokrasi ditentukan.

Apa pun tafsir dan praktik demokrasi di negeri ini pasti mengundang kritik dan serangan keras dari berbagai penjuru. Termasuk tafsir dan praktiknya hari ini, yang dalam pandangan internasional (konon) mengundang rasa hormat, bahkan decak kagum. Artinya, pertama, mungkin kita tidak akan pernah berhasil menemukan demokrasi yang seideal harapan seluruh elemen bangsa. Kedua, sesungguhnya demokrasi macam apa yang dibayangkan/diinginkan atau diidealisir oleh bangsa ini?

Pernyataan dan pertanyaan di atas muncul dari saya. Pertanyaan Mahfud sendiri adalah ”apa sebenarnya yang salah?”, terkait soal kegagalan kita menafsir, merumuskan, dan mempraktikkan demokrasi ini. Tentu saja saya tak akan berusaha menjawab pertanyaan itu secara langsung dalam tulisan ini. 

Percuma! Saya justru hendak mempertanyakan mengapa kita, sepanjang usia modern kita, begitu memercayai—bulat dan penuh yakin, bahkan hingga ke tingkatan taqlid—pada sebuah term, sebuah konsep dan sebuah praktik yang bernama ”demokrasi”, untuk cara bagaimana kita mengatur diri kita, mengatur cara kita bermasyarakat, berbudaya, dan berbangsa? Mengapa seolah kita berdosa jika tidak mengimplementasi term yang sesungguhnya baru seabad kita kenal dalam kebudayaan kita itu?

Terus terang, saya menaruh kesangsian, jika bukan kecurigaan, terhadap fenomena sosial dan kebudayaan semacam ini. Apa sebenarnya yang terjadi pada bangsa kita sehingga begitu mudah mengambil atau membangun sebuah keyakinan baru terhadap ide kebudayaan yang relatif baru ini? Kecuali bahasa, mungkin inilah fenomena inter-relasi kultural kedua yang begitu masif sehingga ia membentuk semacam ”bahasa persatuan” kedua. Benarkah? Tunggu sebentar, jangan terbuai untuk menciptakan taqlid baru.

Omong kosong demokrasi

Saya pikir, sesungguhnya anggapan atau pra-anggapan (asumsi) di atas terlampau hiperbolik, berlebihan. Kepercayaan kita pada kata dan konsep ”demokrasi” itu tidaklah semasif atau senasional—apalagi hingga melahirkan ”bahasa persatuan” baru—seperti konstatasi di atas.

Jujur saja, rakyat umum, publik, atau apa yang secara sosio-demokratik kita sebut grassroots tidaklah sefanatik itu terhadap demokrasi itu. Kenal dengan baik pun tidak. Barangkali ingin kenal pun juga tidak. Bahkan boleh jadi peduli pun tidak. Rakyat tidak bicara soal konsep tata negara atau bentuk pemerintahan. Rakyat bicara dan peduli terhadap pemerintahan (apa pun bentuk dan sistemnya) yang menyediakan dan menyelenggarakan hidup yang aman dan nyaman, cukup sandang-pangan, sekolah gratis, kesehatan gratis, jalanan mulus, dan tetumbuhan hijau di mana-mana. Titik!

Artinya rakyat tidak peduli, barangkali muak dengan proforma atau formalisme dalam bentuk apa pun, yang sekarang justru menjadi busana, atau semacam seni pengemasan (art of packaging) atau act of performancedari para pejabat publik kita. Itulah yang kita sebut prosedural, yang artifisial, bukan yang substansial atau esensial. Itulah yang pula memenuhi ruang terbuka kita—di sejumlah kota besar dan kecil—dengan poster, spanduk, atau baliho wajah-wajah yang tidak punya ”substansi” alias isi atau rekam jejak prestasi publiknya, tapi menggembar-gembor dirinya sebagai tokoh dalam artifisialisasi retoris yang sangat menjemukan.

Lalu mengapa demokrasi begitu hebat bertahan, dibolak-balik seperti martabak sampai agak gosong, tapi tetap kita merasa sedap melahapnya? Apabila bukan rakyat umum, tentu pihak lainlah yang melakukan itu. Tidak perlu teori dan analisis tajam, kita segera tahu, pihak lain itu tidak lain adalah kaum elite; kaum yang selama ini begitu rajin, getol-bersemangat, dan berkepentingan besar dengan (keberlanjutan) demokrasi. Artinya, demokrasi sebenarnya telah menjadi semacam apologi atau argumentasi, lebih tepatnya arsenal, bagi kaum elite untuk menciptakan status quo demi mempertahankan zona kenyamanan yang selama ini mereka nikmati.

Penjelasan praktis dan sederhana itu tidak lagi memerlukan argumentasi ilmiah, bagaimana, misalnya, ide demokrasi itu sebenarnya dibajak dari negeri maritim Yunani, kemudian dimanipulir negara-negara kontinental Eropa daratan hanya untuk kebutuhan serupa dengan alasan di bagian akhir paragraf di atas. Entah itu elite feodal, kapital, sosial, religius, akademik, kultural dan seterusnya.

Demokrasi sesungguhnya tak lain adalah boneka atau barang mainan yang selalu seksi dan menyenangkan bagi kaum elite untuk dilempar ke sana-kemari atau ditepak mondar-mandir oleh raket-raket kerakusan elite pada kekuasaan dan kejayaan (ekonomi). Rakyat, yang konon dalam ide dasar di polis-polis Yunani kuno, adalah pemberi kekuasaan dan pemegang sejati kedaulatan (maaf!) tidak lain adalah bahan dasar atau bulu-bulu kockdari sepak-tepak olahraga kekuasaan elite di atas.

Partisipasi publik adalah omong kosong dan dusta besar dalam sejarah demokrasi. Publik hanya unit atau konstata yang hanya berguna dalam hitungan statistik dalam sebuah pemilu. Hak politik mereka, yang katakanlah berkurun lima tahun periode kekuasaan, hanya dipergunakan 5 menit: ya, 5 menit saja di bilik suara! Sisa waktunya? Dirampok dan ditunggangi koboi-koboi elite yang memainkan laso diskursus dan retorika di atas kuda kekuasaan yang diimpornya dari Australia atau Mongolia.

Partisipasi rakyat—dalam jargon ”pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat”— adalah omong kosong ketika dalam ”5 menit di bilik suara” rakyat tak bisa menetapkan pilihan sendiri, tidak diizinkan regulasi untuk menyusun esai jawaban sendiri karena yang tersedia hanya jawaban ganda (multiple choices) yang sudah ditentukan politik oligarkis kaum elite dan dilegitimasi undang-undang yang dibuat oleh kekuatan oligarkis itu sendiri. Anda butuh pemimpin alternatif dari sistem itu? Jangan mimpi! Frase populer ”wani piro” pun tak cukup sakti untuk mengatasinya.

Kecerdasan rakyat

Maka, saya pikir, dasar-dasar kepercayaan bahkan pembenaran ilmiah pun untuk produk-produk demokrasi sesungguhnya sudah runtuh. Kita memang punya alasan yang hampir nihil untuk (katakanlah) memercayai keterwakilan kepentingan kita pada majelis-majelis atau dewan yang dianggap merepresentasi kepentingan rakyat itu. Sudah menjadi bukti kuat di banyak waktu dan kasus belakangan ini, di mana semua elemen kenegaraan ”demokratis—dari legislatif, eksekutif, yudikatif, hingga lembaga-lembaga tetiron di sampingnya—telah mengkhianati kepercayaan dan kekuasaan yang dititipkan atau ”diwakilkan” rakyat kepadanya.

Rakyat? Sungguh, mereka tidaklah terlampau bodoh atau naif seperti bayangan para politisi artifisial yang mondar-mondir antara partai dan lembaga-lembaga sosial dan negara. Rakyat mengerti jika mereka hanya (diper-)alat bagi kompetisi kekuasaan dari ”golongan” elite yang terdiferensiasi secara artifisial oleh ideologi, misalnya. Sesungguhnya tidak ada kelompok atau golongan dalam elite. Mereka adalah sub-sub-spesies modern yang sejatinya sama dalam nafsu, kepentingan, kecenderungan, juga perilakunya.

Tak mengherankan jika rakyat melakukan semacam ”perlawanan lunak” atau protes bisu dengan membalikkan secara pragmatis posisi mereka sebagai ”alat” dengan sebuah spanduk di satu kampung menjelang pemilihan: ”Kampung kami menunggu serangan fajar.” Sebuah eufemisme yang cukup sarkastik untuk menyatakan, ”Kalau Saudara ingin menggunakan saya sebagai alat untuk mencapai kekuasaan, silakan, tapi Anda harus menyewanya. Wani piro?” Seperti lelang, siapa berani bayar tinggi, dia dapat barang (suara)-nya. Cerdik sekali rakyat kita ini.

Mereka tidak peduli apa itu demokrasi, seluk-liku dan licinnya permainan di dalamnya. Mereka tahu diakali. Kini mereka berbalik mengakali. Siapa menyangka ini terjadi? Tidak di Amerika, Inggris, atau India, tapi di Indonesia. Negeri beradab dengan kekuatan simbolik yang luar biasa, berhadapan dengan realitas simbolik modern yang bernama demokrasi. Maaf, yang terakhir itu tidak akan mungkin menaklukkan yang pertama, walau itu menjadi tujuannya, menjadi obsesinya.

Kecerdasan tradisional ini mungkin tak terlihat atau tertutupi kecerdasan elite yang congkak dan high profileitu. Namun, lihatlah bagaimana elite-elite itu sungguh mengalami kerepotan untuk mengakumulasi ”gizi” demi sebuah pemilihan, sampai pada angka-angka yang begitu menakjubkan, bahkan bagi banyak bangsa atau negara yang dianggap lebih maju praktik demokrasinya di dunia.

Tak akan terbayangkan, misalnya, bahkan bagi kandidat presiden di AS atau Eropa bahwa ia harus mengakumulasi ”gizi” hingga Rp 3 triliun, bahkan belasan triliun untuk menyukseskan ambisi jadi presiden sesungguhnya. Saya kira hanya orang tolol jika ada yang mau membuang uang sebanyak itu—yang dihasilkan dari keringat dan darah, kecuali dari ”uang gampang” megakorupsi—untuk sebuah ”perjudian” bernama pemilihan umum.

Kaum elite, kuketuk hatimu

Hingga kapan negeri yang konon cerdas, beradab, dan berlimpah sumber dayanya ini harus mengalami situasi tragik ini? Mengalami kepandiran atas nama demokrasi ini? Sampai mana demokrasi hanya jadi stempel murah bagi perakus kekuasaan dan kekayaan yang mengisap tiada henti keringat dan energi bangsa dan alam di sekitarnya?

Saya tidak perlu mengetuk hati rakyat. Mereka sudah mengetuk hatinya sendiri. Saya juga tidak perlu menunggu kerja KPK atau lembaga-lembaga lain yang mencoba ”menghukum” kedegilan elite dalam soal perampokan duit rakyat (lalu perampokan properti rakyat lainnya seperti modal sosial, kultural, dan alam). Terlalu lama! KPK, misalnya, dari 16.000 pengaduan, 1.600 yang bisa jadi kasus pidana, dan sekitar 100 yang disidangkan/diputus tiap tahun. Butuh berapa puluh tahun untuk semua itu dituntaskan?

Artinya, elite tidak bisa digempur nafsu atau nuraninya dengan senjata apa pun. Tak juga dengan kekerasan. Mereka punya segalanya untuk melawan dengan kekerasan yang lebih mematikan, dengan senjata jenis apa pun. Keras tak perlu dilawan dengan keras. Cara kontinental seperti itu hanya menciptakan kehancuran, perpecahan, dan akhirnya kerugian besar bagi bangsa dan sejarahnya yang mulia.

Saya hanya dengan lunak dan rendah hati mengetuk saja pintu (hati) nurani saudara-saudara elite kita. Adakah di dalam hatinya itu masih ada kehendak untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan kita, merealisasi mimpi-mimpi dan harapan ratusan juta anak bangsa yang selama ini sudah memberi semua kekayaan dan kepercayaan yang dinikmati elite beserta keluarga dan koleganya? Adakah ia ingin sampai di masa depan dengan selamat bersama seluruh awak negeri, yang selama ini telah memberinya perlindungan, identitas, tanah untuk lahir dan mati?

Wahai saudara-saudara pemegang kuasa dan kebijakan, jadilah juga penguasa kebajikan, jadi tuntunan dan acuan, jadi otoritas yang membanggakan, di mana pundak Anda sudah kami perkuat dengan seluruh sumber daya yang kami miliki, agar kami bisa bersandar saat kami butuh bimbingan dan semangat. Kamu adalah kami, selaiknya kami haruslah menjadi kamu.

Tapi jika kamu hanya berpikir ”saya” dan kami adalah kalian, ya silakan juga. Semua pemberian kami, kepercayaan dan sumber daya yang kami miliki, akan kami minta dan ambil lagi. Perlindungan alam dan sejarah, identitas kemanusiaan Anda, tanah di mana nanti Anda pulang, akan kami tutup untuk Anda. Itu jika Anda memang kukuh dengan egoisme dan keangkuhan semacam itu. Tapi, demi Dia yang Maha Kuasa, saya tahu Anda, saudaraku kaum elite, tidaklah seangkuh itu, tidaklah merasa kuasa melebih yang Maha Kuasa. Dan, di situlah saatnya kita bersama. Bekerja sama, tidak untuk kita saja, tapi juga untuk anak, cucu, buyut yang lahir dari rahim kebangsaan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar