DALAM
riset yang dilakukan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD,
ditunjukkan bagaimana demokrasi dalam sekujur sejarah modern republik ini
mengalami berkali-kali perubahan tafsir, rumusan, hingga implementasinya.
Riset itu pun ”membuktikan” bagaimana perubahan-perubahan itu ternyata
ditentukan atau bergantung pada rezim apa yang berkuasa pada masa itu.
Kita semua tahu, berapa dan apa
saja rezim yang pernah memegang tampuk kekuasaan sejak Soekarno-Hatta di
awal masa proklamasi. Sejumlah itulah demokrasi pun berubah, di wajah rezim
itu pula karakter demokrasi ditentukan.
Apa pun tafsir dan praktik
demokrasi di negeri ini pasti mengundang kritik dan serangan keras dari
berbagai penjuru. Termasuk tafsir dan praktiknya hari ini, yang dalam
pandangan internasional (konon) mengundang rasa hormat, bahkan decak kagum.
Artinya, pertama, mungkin kita tidak akan pernah berhasil menemukan
demokrasi yang seideal harapan seluruh elemen bangsa. Kedua, sesungguhnya
demokrasi macam apa yang dibayangkan/diinginkan atau diidealisir oleh
bangsa ini?
Pernyataan dan pertanyaan di
atas muncul dari saya. Pertanyaan Mahfud sendiri adalah ”apa sebenarnya
yang salah?”, terkait soal kegagalan kita menafsir, merumuskan, dan
mempraktikkan demokrasi ini. Tentu saja saya tak akan berusaha menjawab
pertanyaan itu secara langsung dalam tulisan ini.
Percuma! Saya justru
hendak mempertanyakan mengapa kita, sepanjang usia modern kita, begitu
memercayai—bulat dan penuh yakin, bahkan hingga ke
tingkatan taqlid—pada sebuah term, sebuah konsep dan sebuah praktik
yang bernama ”demokrasi”, untuk cara bagaimana kita mengatur diri kita,
mengatur cara kita bermasyarakat, berbudaya, dan berbangsa? Mengapa seolah
kita berdosa jika tidak mengimplementasi term yang sesungguhnya baru seabad
kita kenal dalam kebudayaan kita itu?
Terus terang, saya menaruh
kesangsian, jika bukan kecurigaan, terhadap fenomena sosial dan kebudayaan
semacam ini. Apa sebenarnya yang terjadi pada bangsa kita sehingga begitu
mudah mengambil atau membangun sebuah keyakinan baru terhadap ide
kebudayaan yang relatif baru ini? Kecuali bahasa, mungkin inilah fenomena
inter-relasi kultural kedua yang begitu masif sehingga ia membentuk semacam
”bahasa persatuan” kedua. Benarkah? Tunggu sebentar, jangan terbuai untuk
menciptakan taqlid baru.
Omong kosong demokrasi
Saya pikir, sesungguhnya
anggapan atau pra-anggapan (asumsi) di atas terlampau hiperbolik,
berlebihan. Kepercayaan kita pada kata dan konsep ”demokrasi” itu tidaklah
semasif atau senasional—apalagi hingga melahirkan ”bahasa persatuan”
baru—seperti konstatasi di atas.
Jujur saja, rakyat umum, publik,
atau apa yang secara sosio-demokratik kita
sebut grassroots tidaklah sefanatik itu terhadap demokrasi itu.
Kenal dengan baik pun tidak. Barangkali ingin kenal pun juga tidak. Bahkan
boleh jadi peduli pun tidak. Rakyat tidak bicara soal konsep tata negara
atau bentuk pemerintahan. Rakyat bicara dan peduli terhadap pemerintahan
(apa pun bentuk dan sistemnya) yang menyediakan dan menyelenggarakan hidup
yang aman dan nyaman, cukup sandang-pangan, sekolah gratis, kesehatan
gratis, jalanan mulus, dan tetumbuhan hijau di mana-mana. Titik!
Artinya rakyat tidak peduli,
barangkali muak dengan proforma atau formalisme dalam bentuk apa pun, yang
sekarang justru menjadi busana, atau semacam seni pengemasan (art of
packaging) atau act of performancedari para pejabat publik kita.
Itulah yang kita sebut prosedural, yang artifisial, bukan yang substansial
atau esensial. Itulah yang pula memenuhi ruang terbuka kita—di sejumlah
kota besar dan kecil—dengan poster, spanduk, atau baliho wajah-wajah yang
tidak punya ”substansi” alias isi atau rekam jejak prestasi publiknya, tapi
menggembar-gembor dirinya sebagai tokoh dalam artifisialisasi retoris yang
sangat menjemukan.
Lalu mengapa demokrasi begitu
hebat bertahan, dibolak-balik seperti martabak sampai agak gosong, tapi
tetap kita merasa sedap melahapnya? Apabila bukan rakyat umum, tentu pihak
lainlah yang melakukan itu. Tidak perlu teori dan analisis tajam, kita
segera tahu, pihak lain itu tidak lain adalah kaum elite; kaum yang selama
ini begitu rajin, getol-bersemangat, dan berkepentingan besar dengan (keberlanjutan)
demokrasi. Artinya, demokrasi sebenarnya telah menjadi semacam apologi atau
argumentasi, lebih tepatnya arsenal, bagi kaum elite untuk
menciptakan status quo demi mempertahankan zona kenyamanan yang
selama ini mereka nikmati.
Penjelasan praktis dan sederhana
itu tidak lagi memerlukan argumentasi ilmiah, bagaimana, misalnya, ide
demokrasi itu sebenarnya dibajak dari negeri maritim Yunani, kemudian
dimanipulir negara-negara kontinental Eropa daratan hanya untuk kebutuhan
serupa dengan alasan di bagian akhir paragraf di atas. Entah itu elite
feodal, kapital, sosial, religius, akademik, kultural dan seterusnya.
Demokrasi sesungguhnya tak lain
adalah boneka atau barang mainan yang selalu seksi dan menyenangkan bagi
kaum elite untuk dilempar ke sana-kemari atau ditepak mondar-mandir oleh
raket-raket kerakusan elite pada kekuasaan dan kejayaan (ekonomi). Rakyat,
yang konon dalam ide dasar di polis-polis Yunani kuno, adalah
pemberi kekuasaan dan pemegang sejati kedaulatan (maaf!) tidak lain adalah
bahan dasar atau bulu-bulu kockdari sepak-tepak olahraga kekuasaan
elite di atas.
Partisipasi publik adalah omong
kosong dan dusta besar dalam sejarah demokrasi. Publik hanya unit atau
konstata yang hanya berguna dalam hitungan statistik dalam sebuah pemilu. Hak
politik mereka, yang katakanlah berkurun lima tahun periode kekuasaan,
hanya dipergunakan 5 menit: ya, 5 menit saja di bilik suara! Sisa waktunya?
Dirampok dan ditunggangi koboi-koboi elite yang memainkan laso diskursus
dan retorika di atas kuda kekuasaan yang diimpornya dari Australia atau
Mongolia.
Partisipasi rakyat—dalam jargon
”pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat”— adalah omong kosong ketika
dalam ”5 menit di bilik suara” rakyat tak bisa menetapkan pilihan sendiri,
tidak diizinkan regulasi untuk menyusun esai jawaban sendiri karena yang
tersedia hanya jawaban ganda (multiple
choices) yang sudah ditentukan politik oligarkis kaum elite dan
dilegitimasi undang-undang yang dibuat oleh kekuatan oligarkis itu sendiri.
Anda butuh pemimpin alternatif dari sistem itu? Jangan mimpi! Frase populer
”wani piro” pun tak cukup sakti
untuk mengatasinya.
Kecerdasan rakyat
Maka, saya pikir, dasar-dasar
kepercayaan bahkan pembenaran ilmiah pun untuk produk-produk demokrasi
sesungguhnya sudah runtuh. Kita memang punya alasan yang hampir nihil untuk
(katakanlah) memercayai keterwakilan kepentingan kita pada majelis-majelis
atau dewan yang dianggap merepresentasi kepentingan rakyat itu. Sudah
menjadi bukti kuat di banyak waktu dan kasus belakangan ini, di mana semua
elemen kenegaraan ”demokratis—dari legislatif, eksekutif, yudikatif, hingga
lembaga-lembaga tetiron di sampingnya—telah mengkhianati kepercayaan dan
kekuasaan yang dititipkan atau ”diwakilkan” rakyat kepadanya.
Rakyat? Sungguh, mereka tidaklah
terlampau bodoh atau naif seperti bayangan para politisi artifisial yang
mondar-mondir antara partai dan lembaga-lembaga sosial dan negara. Rakyat
mengerti jika mereka hanya (diper-)alat bagi kompetisi kekuasaan dari
”golongan” elite yang terdiferensiasi secara artifisial oleh ideologi,
misalnya. Sesungguhnya tidak ada kelompok atau golongan dalam elite. Mereka
adalah sub-sub-spesies modern yang sejatinya sama dalam nafsu, kepentingan,
kecenderungan, juga perilakunya.
Tak mengherankan jika rakyat
melakukan semacam ”perlawanan lunak” atau protes bisu dengan membalikkan
secara pragmatis posisi mereka sebagai ”alat” dengan sebuah spanduk di satu
kampung menjelang pemilihan: ”Kampung
kami menunggu serangan fajar.” Sebuah eufemisme yang cukup sarkastik
untuk menyatakan, ”Kalau Saudara
ingin menggunakan saya sebagai alat untuk mencapai kekuasaan, silakan, tapi
Anda harus menyewanya. Wani piro?” Seperti lelang, siapa berani
bayar tinggi, dia dapat barang (suara)-nya. Cerdik sekali rakyat kita ini.
Mereka tidak peduli apa itu demokrasi,
seluk-liku dan licinnya permainan di dalamnya. Mereka tahu diakali. Kini
mereka berbalik mengakali. Siapa menyangka ini terjadi? Tidak di Amerika,
Inggris, atau India, tapi di Indonesia. Negeri beradab dengan kekuatan
simbolik yang luar biasa, berhadapan dengan realitas simbolik modern yang
bernama demokrasi. Maaf, yang terakhir itu tidak akan mungkin menaklukkan
yang pertama, walau itu menjadi tujuannya, menjadi obsesinya.
Kecerdasan tradisional ini
mungkin tak terlihat atau tertutupi kecerdasan elite yang congkak
dan high profileitu. Namun, lihatlah bagaimana elite-elite itu sungguh
mengalami kerepotan untuk mengakumulasi ”gizi” demi sebuah pemilihan,
sampai pada angka-angka yang begitu menakjubkan, bahkan bagi banyak bangsa
atau negara yang dianggap lebih maju praktik demokrasinya di dunia.
Tak akan terbayangkan, misalnya,
bahkan bagi kandidat presiden di AS atau Eropa bahwa ia harus mengakumulasi
”gizi” hingga Rp 3 triliun, bahkan belasan triliun untuk menyukseskan
ambisi jadi presiden sesungguhnya. Saya kira hanya orang tolol jika ada
yang mau membuang uang sebanyak itu—yang dihasilkan dari keringat dan
darah, kecuali dari ”uang gampang” megakorupsi—untuk sebuah ”perjudian”
bernama pemilihan umum.
Kaum elite, kuketuk hatimu
Hingga kapan negeri yang konon
cerdas, beradab, dan berlimpah sumber dayanya ini harus mengalami situasi
tragik ini? Mengalami kepandiran atas nama demokrasi ini? Sampai mana
demokrasi hanya jadi stempel murah bagi perakus kekuasaan dan kekayaan yang
mengisap tiada henti keringat dan energi bangsa dan alam di sekitarnya?
Saya tidak perlu mengetuk hati
rakyat. Mereka sudah mengetuk hatinya sendiri. Saya juga tidak perlu
menunggu kerja KPK atau lembaga-lembaga lain yang mencoba ”menghukum”
kedegilan elite dalam soal perampokan duit rakyat (lalu perampokan properti
rakyat lainnya seperti modal sosial, kultural, dan alam). Terlalu lama!
KPK, misalnya, dari 16.000 pengaduan, 1.600 yang bisa jadi kasus pidana,
dan sekitar 100 yang disidangkan/diputus tiap tahun. Butuh berapa puluh tahun
untuk semua itu dituntaskan?
Artinya, elite tidak bisa
digempur nafsu atau nuraninya dengan senjata apa pun. Tak juga dengan
kekerasan. Mereka punya segalanya untuk melawan dengan kekerasan yang lebih
mematikan, dengan senjata jenis apa pun. Keras tak perlu dilawan dengan
keras. Cara kontinental seperti itu hanya menciptakan kehancuran,
perpecahan, dan akhirnya kerugian besar bagi bangsa dan sejarahnya yang
mulia.
Saya hanya dengan lunak dan
rendah hati mengetuk saja pintu (hati) nurani saudara-saudara elite kita.
Adakah di dalam hatinya itu masih ada kehendak untuk mewujudkan cita-cita
kemerdekaan kita, merealisasi mimpi-mimpi dan harapan ratusan juta anak
bangsa yang selama ini sudah memberi semua kekayaan dan kepercayaan yang
dinikmati elite beserta keluarga dan koleganya? Adakah ia ingin sampai di
masa depan dengan selamat bersama seluruh awak negeri, yang selama ini
telah memberinya perlindungan, identitas, tanah untuk lahir dan mati?
Wahai saudara-saudara pemegang
kuasa dan kebijakan, jadilah juga penguasa kebajikan, jadi tuntunan dan
acuan, jadi otoritas yang membanggakan, di mana pundak Anda sudah kami
perkuat dengan seluruh sumber daya yang kami miliki, agar kami bisa
bersandar saat kami butuh bimbingan dan semangat. Kamu adalah kami,
selaiknya kami haruslah menjadi kamu.
Tapi jika kamu hanya berpikir
”saya” dan kami adalah kalian, ya silakan juga. Semua pemberian kami,
kepercayaan dan sumber daya yang kami miliki, akan kami minta dan ambil
lagi. Perlindungan alam dan sejarah, identitas kemanusiaan Anda, tanah di
mana nanti Anda pulang, akan kami tutup untuk Anda. Itu jika Anda memang
kukuh dengan egoisme dan keangkuhan semacam itu. Tapi, demi Dia yang Maha
Kuasa, saya tahu Anda, saudaraku kaum elite, tidaklah seangkuh itu,
tidaklah merasa kuasa melebih yang Maha Kuasa. Dan, di situlah saatnya kita
bersama. Bekerja sama, tidak untuk kita saja, tapi juga untuk anak, cucu,
buyut yang lahir dari rahim kebangsaan kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar