Cukup David Moyes! Saya baca status sahabat saya ini di
BlackBerry Messenger miliknya pada Sabtu lalu. Saat itu adalah empat hari
sebelum upacara pembukaan SEA Games ke-27 berlangsung di Myanmar.
Sohibku
ini-panggil saja dia Mas Bro-adalah pengamat dan penulis olahraga yang
bagus. Tapi, dengan menyebut Moyes, ia tidak sedang mengulas salah satu
pelatih atau atlet terkemuka yang meramaikan pesta olahraga multicabang
Asia Tenggara tersebut.
Pada
hari sebelum upacara pembukaan ini, beberapa pertandingan di sejumlah
cabang olahraga dalam SEA Games sudah dimulai. Dan, Sabtu lalu, ada atlet
putri dari cabang bela diri wushu, yakni Lindswell Kwok, yang
mempersembahkan medali emas pertama buat kontingen Indonesia dengan
memenangi nomor tajjiquan.
Tapi,
akhir pekan lalu itu, nama dan perjuangan Lindswell dalam kejuaraan
internasional ini tidak menjadi buah bibir. Satu hal yang populer atau
asyik untuk dibicarakan di berbagai media sosial.
Hari
itu, sosok Lindswell, 22 tahun, yang menyegarkan ini, tertelan di balik
kehebohan kekalahan klub sepak bola Manchester United di kandang mereka,
Stadion Old Trafford, saat menjamu Newcastle United dalam Liga Primer
Inggris. Dan, Moyes, pria 50 tahun, yang belakangan ini tampangnya semakin
lusuh, adalah manajer United.
Tidak
cuma Mas Bro yang geram kepada Moyes dan prihatin pada MU, yang setelah
ditinggal pensiun oleh manajernya yang legendaris, Alex Ferguson, sering
kalah. Sabtu lalu dan keesokan harinya adalah masa pergunjingan mengenai
masa depan klub berjulukan The Red Devils itu.
Di
berbagai saluran televisi, pertandingan MU dan klub lain di Liga Primer
serta liga lain di Eropa ditayangkan berulang-ulang. Adapun kisah Lindswell
cukup sekadar tulisan pendek di bawah gambar alias running text.
SEA
Games yang berlangsung dua tahun sekali sudah memasuki pergelarannya yang
ke-27. Digelar pertama kali ketika masih bernama Southeast Asian Peninsular
Games (SEAP) pada 1959, pesta olahraga ini kemudian berubah nama menjadi
SEA Games pada 1977 dengan bergabungnya Indonesia.
SEA
Games sudah semakin tua, 54 tahun. Mestinya semakin matang dan menancap di
benak para pencinta olahraga. Apalagi, buat pencinta olahraga di Indonesia.
Tapi, kenyataannya? Satu cerita dari seorang kawan lain mungkin bisa
menggambarkan bagaimana susah merawat kecintaan pada SEA Games.
Kawan
ini nama "sastranya" diambil dari akronim frasa: anak Betawi
asli. Ia wartawan olahraga sejati, mengumpulkan dengan ketekunan yang luar
biasa segala data tentang SEA Games. Sekitar 15 tahun lalu, ia bahkan
dikirim oleh kantornya ke Singapura, khusus untuk melengkapi data tentang
pesta olahraga tertinggi di Asia Tenggara ini.
Saya
turut mengantarkannya bertemu dengan penerbit di Jakarta sebelah utara
untuk membahas pembuatan bukunya tersebut. Dan, memang, berhasil
diterbitkan, kalau tak salah sampai dua edisi. Namun, setelah itu, tak ada
kabarnya. Kini, ia lebih sibuk menulis cerita pendek.
Saya
setuju dengan pernyataannya baru-baru ini di jejaring sosial bahwa
keinginan pemerintah mengajak berbagai stasiun melakukan siaran langsung di
SEA Games semakin menurun. Dulu, ketika stasiun televisi masih sedikit,
sejak pagi ada siaran SEA Games. Sekarang, stasiun televisi makin banyak,
tapi siaran tentang pesta olahraga Asia Tenggara ini kian sedikit. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar