Kamis, 12 Desember 2013

Mas Bro dan SEA Games

Mas Bro dan SEA Games
Hari Prasetyo  ;   Wartawan Tempo
TEMPO.CO,  12 Desember 2013


  
Cukup David Moyes! Saya baca status sahabat saya ini di BlackBerry Messenger miliknya pada Sabtu lalu. Saat itu adalah empat hari sebelum upacara pembukaan SEA Games ke-27 berlangsung di Myanmar.

Sohibku ini-panggil saja dia Mas Bro-adalah pengamat dan penulis olahraga yang bagus. Tapi, dengan menyebut Moyes, ia tidak sedang mengulas salah satu pelatih atau atlet terkemuka yang meramaikan pesta olahraga multicabang Asia Tenggara tersebut.

Pada hari sebelum upacara pembukaan ini, beberapa pertandingan di sejumlah cabang olahraga dalam SEA Games sudah dimulai. Dan, Sabtu lalu, ada atlet putri dari cabang bela diri wushu, yakni Lindswell Kwok, yang mempersembahkan medali emas pertama buat kontingen Indonesia dengan memenangi nomor tajjiquan. 

Tapi, akhir pekan lalu itu, nama dan perjuangan Lindswell dalam kejuaraan internasional ini tidak menjadi buah bibir. Satu hal yang populer atau asyik untuk dibicarakan di berbagai media sosial. 

Hari itu, sosok Lindswell, 22 tahun, yang menyegarkan ini, tertelan di balik kehebohan kekalahan klub sepak bola Manchester United di kandang mereka, Stadion Old Trafford, saat menjamu Newcastle United dalam Liga Primer Inggris. Dan, Moyes, pria 50 tahun, yang belakangan ini tampangnya semakin lusuh, adalah manajer United.     

Tidak cuma Mas Bro yang geram kepada Moyes dan prihatin pada MU, yang setelah ditinggal pensiun oleh manajernya yang legendaris, Alex Ferguson, sering kalah. Sabtu lalu dan keesokan harinya adalah masa pergunjingan mengenai masa depan klub berjulukan The Red Devils itu. 

Di berbagai saluran televisi, pertandingan MU dan klub lain di Liga Primer serta liga lain di Eropa ditayangkan berulang-ulang. Adapun kisah Lindswell cukup sekadar tulisan pendek di bawah gambar alias running text. 

SEA Games yang berlangsung dua tahun sekali sudah memasuki pergelarannya yang ke-27. Digelar pertama kali ketika masih bernama Southeast Asian Peninsular Games (SEAP) pada 1959, pesta olahraga ini kemudian berubah nama menjadi SEA Games pada 1977 dengan bergabungnya Indonesia.

SEA Games sudah semakin tua, 54 tahun. Mestinya semakin matang dan menancap di benak para pencinta olahraga. Apalagi, buat pencinta olahraga di Indonesia. Tapi, kenyataannya? Satu cerita dari seorang kawan lain mungkin bisa menggambarkan bagaimana susah merawat kecintaan pada SEA Games.

Kawan ini nama "sastranya" diambil dari akronim frasa: anak Betawi asli. Ia wartawan olahraga sejati, mengumpulkan dengan ketekunan yang luar biasa segala data tentang SEA Games. Sekitar 15 tahun lalu, ia bahkan dikirim oleh kantornya ke Singapura, khusus untuk melengkapi data tentang pesta olahraga tertinggi di Asia Tenggara ini.

Saya turut mengantarkannya bertemu dengan penerbit di Jakarta sebelah utara untuk membahas pembuatan bukunya tersebut. Dan, memang, berhasil diterbitkan, kalau tak salah sampai dua edisi. Namun, setelah itu, tak ada kabarnya. Kini, ia lebih sibuk menulis cerita pendek.   

Saya setuju dengan pernyataannya baru-baru ini di jejaring sosial bahwa keinginan pemerintah mengajak berbagai stasiun melakukan siaran langsung di SEA Games semakin menurun. Dulu, ketika stasiun televisi masih sedikit, sejak pagi ada siaran SEA Games. Sekarang, stasiun televisi makin banyak, tapi siaran tentang pesta olahraga Asia Tenggara ini kian sedikit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar