Sabtu, 07 Desember 2013

Politikus Penunggu Pohon

Politikus Penunggu Pohon
Tulus Wijanarko  ;   Wartawan Tempo
TEMPO.CO,  06 Desember 2013

  

Ruas jalan dari gerbang pintu tol Bekasi yang menuju rumah saya tiba-tiba menjadi rimba poster bergambar politikus dadakan. Nyaris semua pohon, tiang listrik, tembok pagar, dan segala bidang terbuka, tak lolos dari "sergapan" baliho calon wakil rakyat itu. Teman saya menyebut mereka ini "Politikus Penunggu Pohon".

Di panggung jalanan itu, mereka sibuk memperkenalkan diri sebagai yang terbaik. Namun, alih-alih memamerkan kelebihan, yang mereka lakukan justru menelanjangi diri mereka sendiri.

Ruang publik adalah milik khalayak ramai, dan karena itulah mesti bersih dari kepentingan sempit siapa pun. Inilah ruang yang tak boleh dirasuki oleh kepentingan pasar atau politik. Ruang publik adalah tempat pertemuan warga (baik wadah atau gagasan) guna merintis kesetiakawanan sosial.

Serbuan plakat-plakat politik tersebut sungguh menghambat misi ruang publik. Pertama, pemasangan poster seenaknya itu hanya menciptakan limbah panorama sekitar. Tata ruang yang sebelumnya memang tak menarik, kini kian runyam oleh poster dan baliho pating crentel. 

Semua ini menunjukkan miskinnya respek mereka kepada publik. Jika para pemilik poster itu memiliki rasa hormat, pasti akan berpikir seribu kali untuk memaku dan menempel poster. Khalayak berhak atas ruang terbuka yang nyaman dan tak meneror!

Atau, mungkinkah sebenarnya mereka menganggap ruang terbuka sebagai wilayah tak bertuan, hingga bebas dirudapaksa begitu rupa? Saya yakin mereka paham bahwa ada aturan yang membatasi, tapi memilih melanggarnya. 

Praktek unjuk poster diri itu adalah cara licin membodohi masyarakat. Mereka tak jelas datang dari mana, lalu tiba-tiba muncul dengan lembaran-lembaran baliho, kemudian minta dukungan. Mereka tak menyejarah karena sebelumnya tak pernah hadir dalam persoalan masyarakat. Tapi kini ramai-ramai berilusi berdiri di baris depan guna mengatasi masalah. 

Jika mau berendah hati belajar pada masa lalu, akan banyak contoh keteladanan para pendiri bangsa. Kisah dan perjuangan mereka mengajarkan bahwa ketokohan tidak dibangun dengan ribuan poster. Kepercayaan tidak bisa dipetik dalam semalam. Keringat pengabdianlah yang menjadikan seseorang layak menuai amanah. 

Misalnya, adakah para politikus-poster itu tahu sepak terjang Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo? Lebih dari separuh hidup putra priayi rendahan ini diabdikan kepada rakyat tertindas. 

Tjipto blusukan ke berbagai simpul masyarakat untuk berbicara dan memahami kesedihan kaum kromo alias wong cilik. Dia menulis artikel yang tajam di koran. Juga berpidato di Dewan Rakyat untuk memperjuangkan nasib rakyatnya. 

Dan gelar dokter di depan namanya tidak untuk menegaskan kepriayiannya. Ia mempertanggungjawabkannya untuk berbakti. Tjipto adalah satu-satunya yang bersedia menanggulangi wabah pes di Malang (1910-1911), ketika tak seorang pun berani melakukannya.

Hampir semua kisah para pendahulu memberikan ilham bahwa tokoh masyarakat adalah mereka yang terus menyumbangkan jalan keluar bagi persoalan warga. Ia bukan bagian dari masalah. 

Merendengkan poster diri sepanjang jalan, menabrak aturan, merusak pepohonan, dan mengacaukan panorama sekitar, adalah cara terbaik menelanjangi diri: bahwa para politikus dadakan itu hanyalah bagian dari masalah. Bagaimana mungkin orang semacam ini kita pilih menjadi wakil rakyat? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar