Politikus
Penunggu Pohon
Tulus Wijanarko ;
Wartawan Tempo
|
TEMPO.CO,
06 Desember 2013
Ruas jalan dari gerbang pintu tol Bekasi yang menuju
rumah saya tiba-tiba menjadi rimba poster bergambar politikus dadakan.
Nyaris semua pohon, tiang listrik, tembok pagar, dan segala bidang terbuka,
tak lolos dari "sergapan" baliho calon wakil rakyat itu. Teman
saya menyebut mereka ini "Politikus Penunggu Pohon".
Di panggung jalanan itu, mereka sibuk
memperkenalkan diri sebagai yang terbaik. Namun, alih-alih memamerkan
kelebihan, yang mereka lakukan justru menelanjangi diri mereka sendiri.
Ruang publik adalah milik khalayak ramai,
dan karena itulah mesti bersih dari kepentingan sempit siapa pun. Inilah
ruang yang tak boleh dirasuki oleh kepentingan pasar atau politik. Ruang
publik adalah tempat pertemuan warga (baik wadah atau gagasan) guna
merintis kesetiakawanan sosial.
Serbuan plakat-plakat politik tersebut
sungguh menghambat misi ruang publik. Pertama, pemasangan poster seenaknya
itu hanya menciptakan limbah panorama sekitar. Tata ruang yang sebelumnya
memang tak menarik, kini kian runyam oleh poster dan baliho pating crentel.
Semua ini menunjukkan miskinnya respek
mereka kepada publik. Jika para pemilik poster itu memiliki rasa hormat,
pasti akan berpikir seribu kali untuk memaku dan menempel poster. Khalayak
berhak atas ruang terbuka yang nyaman dan tak meneror!
Atau, mungkinkah sebenarnya mereka
menganggap ruang terbuka sebagai wilayah tak bertuan, hingga bebas
dirudapaksa begitu rupa? Saya yakin mereka paham bahwa ada aturan yang
membatasi, tapi memilih melanggarnya.
Praktek unjuk poster diri itu adalah cara
licin membodohi masyarakat. Mereka tak jelas datang dari mana, lalu
tiba-tiba muncul dengan lembaran-lembaran baliho, kemudian minta dukungan.
Mereka tak menyejarah karena sebelumnya tak pernah hadir dalam persoalan
masyarakat. Tapi kini ramai-ramai berilusi berdiri di baris depan guna
mengatasi masalah.
Jika mau berendah hati belajar pada masa
lalu, akan banyak contoh keteladanan para pendiri bangsa. Kisah dan
perjuangan mereka mengajarkan bahwa ketokohan tidak dibangun dengan ribuan
poster. Kepercayaan tidak bisa dipetik dalam semalam. Keringat
pengabdianlah yang menjadikan seseorang layak menuai amanah.
Misalnya, adakah para politikus-poster itu
tahu sepak terjang Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo? Lebih dari separuh hidup
putra priayi rendahan ini diabdikan kepada rakyat tertindas.
Tjipto blusukan ke berbagai simpul
masyarakat untuk berbicara dan memahami kesedihan kaum kromo alias wong
cilik. Dia menulis artikel yang tajam di koran. Juga berpidato di Dewan
Rakyat untuk memperjuangkan nasib rakyatnya.
Dan gelar dokter di depan namanya tidak
untuk menegaskan kepriayiannya. Ia mempertanggungjawabkannya untuk
berbakti. Tjipto adalah satu-satunya yang bersedia menanggulangi wabah pes
di Malang (1910-1911), ketika tak seorang pun berani melakukannya.
Hampir semua kisah para pendahulu memberikan
ilham bahwa tokoh masyarakat adalah mereka yang terus menyumbangkan jalan
keluar bagi persoalan warga. Ia bukan bagian dari masalah.
Merendengkan poster diri sepanjang jalan,
menabrak aturan, merusak pepohonan, dan mengacaukan panorama sekitar,
adalah cara terbaik menelanjangi diri: bahwa para politikus dadakan itu
hanyalah bagian dari masalah. Bagaimana mungkin orang semacam ini kita
pilih menjadi wakil rakyat? ●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar