Kebijakan
Pergulaan Nasional
Agus Pakpahan ; Ekonom Kelembagaan
|
TEMPO.CO,
06 Desember 2013
Andaikan Belanda tidak mengembangkan produksi gula di
Jawa sehingga Pulau Jawa dijuluki gabus tempat Holland mengapung,
apakah Pulau Jawa akan menjadi pusatnya gula di Indonesia? Penulis
tidak bermaksud menjawab pertanyaan tersebut, melainkan mengajak pembaca
kembali ke masa keemasan gula pada zaman Belanda untuk mencari inspirasi
saat kita membahas "arah baru kebijakan pergulaan nasional",
seperti yang akan dilakukan Asosiasi Gula Indonesia (AGI), dalam seminar
yang akan diselenggarakan di Yogyakarta pada minggu kedua Desember
ini.
Kano (2008) menyatukan zaman gula dengan
culture banks. Pada 1925, di Jawa terdapat 121 perusahaan gula yang
memiliki 195 pabrik. Keseluruhan industri gula tersebut berafiliasi pada
culture banks, yaitu bank yang membiayai pertanian. Culture banks ini
bersifat unik, yaitu ikut memiliki atau mengelola perusahaan-perusahaan
gula tersebut. Sedangkan bank pertanian lainnya hanya bertugas membiayai
investasi jangka panjang dalam bidang pertanian. Contoh culture banks
pada era tersebut antara lain Nederlandsh-Indische Handelsbank dan
Nederlandsche Indische Landbouw Maatschappij.
Inti dari informasi yang disampaikan Kano
(2008) adalah industri gula memiliki sifat yang khas, sehingga
Belanda harus mengembangkan jenis bank tersendiri dengan peran dan
fungsi di atas. Hasil yang diperoleh Belanda dari inovasi tersebut
adalah nilai ekspor gula dari Jawa mencapai 40,8 persen dari nilai
seluruh ekspor Jawa pada 1871-1873. Nilai ekspor gula ini menempati
proporsi tertinggi dari seluruh ekspor Belanda hingga 1933.
Apa inovasi kita sekarang dalam membangun
arah baru pergulaan nasional? Apakah membangun industri gula berbasis
impor gula mentah merupakan inovasi yang menguntungkan Indonesia?
Apakah kita bangga sebagai bangsa dan negara jika perkebunan tebu dan
industri gula di Jawa berganti dengan industri gula rafinasi yang
berbasis bahan baku gula mentah yang diimpor? Apakah kita sudah tidak
sanggup lagi menginvestasikan hati dan pikiran kita untuk meniru
Belanda dalam berinovasi, termasuk membangun lembaga pembiayaan atau
perbankan yang mendukung bidang pertanian?
Penyelamatan industri gula di Jawa telah
diusahakan ketika nyaris punah pada 1998. Hasil kerja seluruh pihak telah
melahirkan kebijakan awal yang membangun kepastian harga bagi petani
tebu sebagai insentif untuk berproduksi, dengan dibiayai oleh hasil
perdagangan gula itu sendiri. Kebijakan ini sering dinamakan
kebijakan dana talangan. Banyak pro-kontra atas kebijakan ini, tapi
data menunjukkan produksi gula meningkat dari sekitar 1,49 juta ton
pada 1998 menjadi hampir mencapai 2,8 juta ton pada 2008. Sayang,
rencana revitalisasi industri pergulaan BUMN yang telah ditetapkan
pada 2005-2006 tidak dilaksanakan, sehingga momentum lahirnya kinerja
baru industri pergulaan nasional tidak terjadi.
Mengapa rencana revitalisasi industri
pergulaan nasional yang dirancang pada 2005-2006 tidak terwujud? Pertanyaan
ini semestinya menjadi landasan dasar pembahasan "arah baru
kebijakan pergulaan nasional", yang akan diselenggarakan AGI
sebentar lagi. Pertanyaan ini sangat menarik, mengingat ketidakterwujudan
tersebut pasti memberi makna atau sinyal yang harus kita tangkap dan pahami
secara jujur dan berani. Saya masih ingat, Bank Rakyat Indonesia
(BRI) pada saat itu sudah menyiapkan dana untuk membiayai rencana tersebut,
bahkan kantor sekretariat bersama BUMN Gula dan BRI sudah tersedia di
gedung BRI.
Mengapa kasus di atas penting untuk diambil
maknanya? Pertama, pemaknaan ketidakterwujudan suatu rencana-apalagi semua
faktor pendukung sudah siap tersedia-akan memberi pengetahuan untuk
dapat menemukan solusi atas permasalahan yang mendasar. Kedua, tentu
dengan mengetahui jawaban atas hal tersebut, kita tidak akan menjadi
bangsa yang gagal lantaran tidak melaksanakan suatu rencana.
Kita harus mampu menjawab pertanyaan di
atas, mengingat kita mengalami kemunduran dalam industrialisasi ini,
seperti diperlihatkan oleh data Bank Dunia periode 2000-2012, yaitu
pangsa manufaktur, industri, pertanian dan jasa dalam produk domestik
bruto nasional masing-masing turun 4 persen, naik 1 persen, turun 1 persen,
dan tetap. Artinya, kita mengalami deindustrialisasi. Industrialisasi
berbasis tebu memberikan peluang belajar yang sangat lengkap untuk
bergerak ke jenjang industrialisasi yang lebih kompleks bagi
Indonesia di masa mendatang. ●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar