POLITIK bisa punya banyak
makna dan kebanyakan dari pemaknaan itu bertalian dengan kekuasaan. Tidak
salah, tetapi saya ingin membahas politik dari sudut pandang yang berbeda.
Saya ingin memahami politik sebagai ”industri” pemikiran.
Sebagai bursa pemikiran, politik
bertugas memberi arah bagi kehidupan masyarakat. Politik terancam gagal
jika masyarakatnya mengalami rasa kehilangan arah yang dituju (sense of
direction). Hilangnya sense of direction tersebut tampak dari
suasana hati publik (public mood) yang diwarnai kemarahan dan kecemasan
kolektif, menggantikan kepercayaan dan harapan kolektif mereka.
Agar dapat menjalankan tugas
memberi arah itu, politik—dalam arti kehidupan politik secara
keseluruhan—harus mampu memahami, merekam, dan menangkap perubahan
fundamental yang terjadi di tengah masyarakat serta memberi arah yang benar
bagi perubahan itu.
Jika kita melihat rentang
sejarah, dinamika perubahan sosial merupakan interaksi empat elemen:
manusia, ide, ruang, dan waktu. Manusia adalah pusat perubahan karena
merupakan pelaku atau aktor di mana ruang dan waktu merupakan panggung
pertunjukannya. Ide jadi penggerak manusia dalam seluruh ruang dan
waktunya. Setiap kali ada perubahan yang penting dalam ide-ide
manusia, kita akan menyaksikan perubahan besar dalam masyarakat
mengikutinya.
Manusia bergerak dalam ruang dan
waktu secara dialektis, antara tantangan dan respons terhadap tantangan
tersebut. Ide atau gagasan yang memenuhi benak manusia merupakan
manifestasi dari dinamika dialektis itu. Hidup manusia bergerak dan terus
bertumbuh karena merespons tantangan di sekelilingnya. Hasil dari respons
baru tersebut selanjutnya melahirkan tantangan-tantangan baru yang menuntut
respons-respons baru. Begitu seterusnya.
Dalam perspektif itulah, politik
bertemu dengan sejarah. Sejarah adalah cerita tentang manusia di tengah
seluruh ruangnya dalam rentang waktu yang panjang. Sejarah adalah cerita
tentang tiga orang: orang yang sudah meninggal, orang yang masih hidup, dan
orang yang akan lahir. Jika politik ingin memahami drama perubahan sosial
secara komprehensif, politik harus memahami cerita tentang tiga orang itu.
Politik menjadi dangkal jika ia hanya memahami cerita tentang satu orang,
yaitu orang yang masih hidup. Itu adalah jebakan kekinian, di mana kita
tampak seperti telah menyelesaikan masalah hari ini ketika sebenarnya yang
kita lakukan justru memindahkan beban masalah itu kepada generasi yang akan
lahir esok hari.
Berpijak pada sejarah
Jika sejarah adalah cerita
tentang hari kemarin, hari ini, dan hari esok, sejarah bukan saja metode
untuk memahami masa lalu dan masa kini, melainkan juga menjadi jalan paling
efektif menemukan alasan untuk tetap berharap bahwa esok hari cerita hidup
kita akan lebih baik.
Membaca sejarah adalah cara
menemukan harapan. Harapanlah yang membuat kita rela dan berani melakukan
kebajikan-kebajikan hari ini walaupun buah kebajikan itu akan dipetik
mereka yang baru akan lahir esok hari. Tugas politik adalah memberi arah
bagi kehidupan masyarakat agar mereka merasa memiliki satu arah yang
dituju, memiliki orientasi. Rasa memiliki arah ini merupakan sumber
kepercayaan diri dan harapan yang kuat bagi masa depan.
Sebaliknya, chaos dan
anomi membuat orang merasa tersesat dan limbung. Untuk dapat menemukan arah
itulah, kehidupan politik harus berpijak pada sejarah. Berpijak pada
sejarah tidak berarti melulu melihat ke belakang atau memuja kejayaan masa
lalu; berpijak pada sejarah harus dimaknai sebagai keyakinan merancang masa
depan.
Muatan sejarah menghindarkan
politik dari kedangkalan dan membawanya pada kedalaman kesadaran. Dengan
memahami sejarah, politik akan bergeser dari pandangan sempit sekadar
berebut kekuasaan menuju keluasan cakrawala pemikiran, dari sekadar
perdebatan mengurusi kenegaraan menjadi perbincangan arsitektur peradaban.
Pertanyaan yang segera
menghadang kita adalah apa yang akan terjadi pada Pemilu 2014? Apakah pesta
demokrasi tahun depan itu sekadar menjadi ajang peralihan kekuasaan secara
damai, sesuatu yang business as usual di dalam demokrasi?
Pemilu 2014 adalah momentum
peralihan sejarah yang didorong oleh perubahan struktur demografis
Indonesia. Penduduk berusia 45 tahun ke bawah mencapai sekitar 60 persen
dari populasi. Bukan sekadar mendominasi dari segi jumlah, kelompok ini
bercirikan pendidikan yang tinggi, kesejahteraan yang membaik, dan
terkoneksi dengan dunia luar melalui internet. Kita juga menyaksikan
lahirnya native democracy, yaitu mereka yang sejak lahir hanya
mengenal demokrasi. Pemilih pemula yang berusia 17 tahun pada 2014 adalah
mereka yang lahir pada 1997. Mereka tidak merasakan perbedaan suasana
otoriter pada masa Orde Baru dengan kebebasan pada masa kini. Bagi mereka,
demokrasi dan kebebasan adalah sesuatu yang terberi (given) dan bukan hasil
perjuangan berdarah-darah.
Mayoritas baru ini memerlukan
jawaban baru dari partai politik. Ada hal-hal yang akan dianggap usang.
Mereka ingin melihat visi dan agenda baru. Untuk menjawab tantangan itu,
politik harus bisa mendefinisikan di mana kita berada sebagai sebuah bangsa
dan sebuah entitas peradaban sekarang ini. Sejumlah gelombang sejarah telah
kita lalui sebagai negara-bangsa dan banyak pelajaran penting yang dapat
kita sarikan. Pertanyaan mendasar ini menghindarkan kita dari jebakan
kedangkalan politik. Sejarah adalah kompas bagi politik dalam
mengarungi masa yang akan datang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar