SEORANG anak muda berteriak,
protes, dalam acara diskusi tentang Pancasila. ”Ceramah Bapak-bapak soal
Pancasila hanya bikin kami ngantuk. Kita seperti membicarakan keris sakti,
tapi tidak tahu apa manfaat dan cara menggunakannya,” ujar anak muda itu
dengan wajah tegang.
Tentu, para bapak yang
menganggap Pancasila sebagai ”obat manjur” untuk mengatasi penyakit kronis
bangsa ini terperangah. Bahkan mungkin marah. Anak muda itu dianggap tidak
sopan, bahkan kurang ajar.
Namun, diam-diam mereka pun
sadar, selama ini Pancasila hanya jadi ”jimat” yang disimpan dalam almari
keramat bernama memori kolektif bangsa. Sejatinya bangsa ini,
terutama para penyelenggara pemerintahan dan negara, lebih menyukai
ideologi ”kudu sugih” (harus kaya) daripada Pancasila.
Ideologi kudu sugih tumbuh
dan menguat sejak Orde Baru berkuasa. Di bawah kekuasaan Soeharto, Orde
Baru telah sukses meringkus dan membekukan nilai-nilai Pancasila.
Fungsi Pancasila pun berubah dari ideologi yang inspiratif jadi sekadar
peranti untuk melegitimasi kekuasaan. Atas nama Pancasila, Orde Baru merasa
sah melakukan apa saja, termasuk memberangus pikiran-pikiran kritis.
Sangat besar ongkos kebudayaan
yang harus dibayar bagi suksesnya proyek penaklukan kolektif itu. Bangsa
kehilangan orientasi nilai dan horizon harapan atas perubahan menuju
peradaban yang lebih tinggi. Etika dan etos bangsa dipasung dalam
mesin bernama pembangunan serta isme-isme yang menyertainya: kapitalisme
dan industrialisme. Bangsa ini akhirnya bergerak menjadi ”mesin” yang knop on dan off-nya
digerakkan oleh kuasa kapital.
Rezim-rezim kekuasaan yang
”menggantikan” Orde Baru kian tak peduli dengan Pancasila. Mereka menaruh
Pancasila di area ritus sosial dan budaya. Di lapangan ekonomi, sosial, dan
politik mereka mengganas dan menggaruk apa saja. Korupsi dirayakan di
berbagai level kekuasaan, eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Parpol dan
kalangan pengusaha hitam turut bermain dalam ”teater pencolongan berjemaah”
itu.
APBN demi APBN jebol. Aset
bangsa pun didol (dijual). Mereka menjelma jadi rezim yang
berfungsi secara ironik: ”memiskinkan negara-bangsa sendiri”. Kekuatan
asing pun berkibar-kibar di negeri yang kekayaannya terus dikuras habis.
Penyelenggara pemerintahan dan negara tanpa sadar telah mendorong bangsa
ini jadi bangsa ”kuli” dan ”makelar” yang menyembah kepada
kekuatan kapital. Dari sinilah tumbuh dan menguat ideologi kudu
sugih. Dalam sehari-hari artikulasi ideologi ini berbunyi wani piro (berani
bayar berapa)?
Rezim uang
Penguatan ideologi kudu
sugih menghasilkan rezim kekuasaan yang buruk: rezim uang.
Pemerintahan dan praktik-praktik bernegara tak lagi digerakkan nilai-nilai
ideal berbasis pada spiritualitas, humanitas, solidaritas, demokrasi
berkesejahteraan dan keadilan, tetapi oleh uang. Popularitas idiom wani
piro secara sinikal menandai tradisi transaksional yang berlaku di
berbagai lini kehidupan. Uang jadi satu-satunya kanta kunci untuk
memasuki kekuasaan dan menggaruk harta negara.
Di dalam rezim uang, nilai dan
ukuran hanya ditentukan secara material. Jika Anda presiden, menteri,
gubernur, wali kota/bupati, camat, atau lurah, Anda tidak ditanya apa
yang telah dilakukan dan hasil apa yang telah diberikan kepada publik, tapi
”Berapa kekayaan kamu?”. Anda dianggap aneh jika menjawab, ”Belum kaya atau
masih miskin”. Orang pun akan mengejar Anda dengan ucapan: ”Mosok,
sih? Bukankah bagi kamu uang tinggal nggaruk, semau kamu?”.
Jika kebetulan jadi
penyelenggara pemerintahan dan negara, Anda mestinya tersinggung
karena dianggap hanya punya cita-cita jadi orang kaya.
Anggapan itu
pelecehan harkat dan martabat Anda. Namun, kini sensitivitas atas harga
diri dan martabat semakin menipis. Bisa jadi, Anda malah kecewa ketika
orang tak memuji perolehan kekayaan Anda yang melimpah. Maka, Anda pun
perlu pamer melalui rumah Anda yangmagrong-magrong (mewah), deretan
mobil mahal, pemilikan tanah yang maha- luas, dan deposito yang deretan
angkanya tak bisa lagi diingat.
Dengan
semua kesuksesan material itu, Anda pun merasa sah berorasi tentang
pentingnya dedikasi terhadap negara, komitmen sosial, keadilan, dan
hidup sederhana. Anda pun merasa wajib untuk selalu mengutuk
korupsi meskipun dengan kekuasaan di tangan, Anda tidak melakukan apa-apa.
Rezim uang akhirnya hanya jadi
rezim omong kosong bagi rakyat yang merindukan kesejahteraan.
Kesejahteraan, bahkan kemewahan, sudah diborong orang-orang macam Anda.
Anda adalah ”makhluk unggul” yang telah dilahirkan rezim uang, yang
ideologinya bukan lagi Pancasila, melainkan kudu sugih. Anda pun bisa
menganggap semua kritik tak lebih daripada orang iri. Hati Anda pun jadi
tenang. Tenang? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar