Perhelatan besar Organisasi Perdagangan
Dunia (WTO) digelar di Bali pada 3-6 Desember 2013. Sebanyak 159 negara
anggota WTO dan 25 negara pengamat yang mewakili 97 persen perdagangan
dunia, mengirim utusan setingkat menteri untuk mengikuti KTM kesembilan
WTO.
Sehari sebelumnya, 2 Desember, Uni
Antar-Parlemen Dunia (IPU) bersidang menyiapkan masukan untuk dibawa ke
sidang WTO dengan kehadiran lebih dari 130 negara anggotanya. Sehari
sebelumnya, WTO juga mengambil keputusan final dan diakhiri pada 5
Desember.
Para anggota IPU bersidang kembali
mendengar laporan Dirjen WTO mengenai masukan yang telah diserap dan
capaian kemajuan sidang WTO.
Agenda di Bali adalah memperjuangkan
Paket Bali yang mencakup isu pertanian, fasilitas perdagangan, dan masalah
pembangunan yang merupakan kombinasi kepentingan negara berkembang dan
kurang berkembang (LDCs).
Paket Bali sulit dipertahankan setelah gagal
diluncurkan Jenewa minggu lalu.
Hal ini disebabkan kepentingan negara
maju, berkembang, dan LDCs sulit dijembatani karena perbedaan pendapat
tentang penghapusan pembatasan subsidi pertanian. Harus diakui, kepentingan
Indonesia adalah pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja,
mengatasi dan degradasi lingkungan hidup.
Sebagai konsekuensinya, delegasi DPR di
Konferensi Parlemen (PC13) dan Menteri WTO (MC9) di Bali harus memberikan
solusi alternatif tidak hanya untuk mengatasi kemandekan, tetapi juga
berpihak pada kepentingan Indonesia.
Perjuangan Bali
Apa saja masukan untuk solusi alternatif
itu? Pertama, Delegasi DPR
tetap memperjuangkan tuntutan G-33 untuk revisi aturan subsidi pemerintah
dalam menerapkan perencanaan keamanan pangan tanpa melampaui batas subsidi
minimun. Maksimun batas subsidi untuk negara berkembang adalah 10 persen
dari output pertanian keseluruhannya.
Sementara itu, periode solusi interim
belum terpecahkan sehingga delegasi DPR perlu bernegosiasi dengan kemampuan
diplomasi yang tinggi. Hal ini dimaksudkan agar AS menyetujui periode yang
tidak terbatas selama yang diharapkan G33 untuk solusi permanen belum
tercapai.
Kedua terhadap
isu pertanian. Kepentingan RI sebagai negara berkembang adalah mengupayakan
tambahan kelonggaran dalam Perjanjian WTO untuk memperkuat sektor
pertaniannya agar mampu bersaing di pasar domestik maupun pasar global.
Ketiga, mendorong negara maju menurunkan
atau menghapus subsidinya di sektor pertanian. Untuk perjanjian fasilitasi
perdagangan, negara berkembang dan LDCs jangan dituntut komitmen yang
begitu banyak saat komitmen negara maju untuk memberikan bantuan kepada
negara berkembang dan LDCs masih terlalu lemah.
Indonesia harus bisa mengambil manfaat
optimal keanggotaannya dalam WTO dan meraih keuntungan dari penurunan tarif
global, serta dari rules-based
multilateral trading system bagi peningkatan kesejahteraan rakyatnya. WTO
harus membantu upaya negara-negara yang memperjuangkan pengentasan
kemiskinan dan pembangunan wilayah perdesaan dan pembangunan berkelanjutan,
serta usaha-usaha padat karya, dengan penciptaan sistem perdagangan yang
bebas dan fair bagi semua negara.
WTO juga harus menghilangkan kampanye
buruk akibat kompetisi yang tidak fair. Ia perlu mendukung upaya
menghilangkan kampanye negatif atas perkebunan kelapa sawit dan karet asal
Indonesia yang ramah lingkungan, serta penjualan produknya di pasar.
Caranya dengan memberikan akses dan
fasilitasi perdagangan, termasuk berbagai produk turunannya untuk bisa
masuk ke dan dijual di negara maju, yang selama ini produk-produk tersebut
dihasilkan dari perkebunan tradisional yang banyak menyerap tenaga kerja
lokal.
“Fair Trade”
Mekanisme perdagangan bebas yang fair (adil), teknologi transfer,
dan pengembangan kapasitas merupakan satu paket yang tidak terpisahkan
dalam perjuangan kepentingan negara berkembang dan LDCs. Ini menuntut
perhatian negara maju untuk sama-sama diperjuangkan mencapai Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Agenda negosiasi multilateral perdagangan
bebas pasca-Bali perlu mempertanyakan seberapa jauh liberalisasi harus
dilakukan.
Ini disebabkan untuk negara tertentu,
seperti Indonesia, bea masuk sudah rendah, rata-rata tinggal 7 persen atau
yang terendah, sedangkan China masih rata-rata 10 persen, India 13 persen,
Korea Selatan 12 persen, dan Brasil 14 persen. Untuk kasus Indonesia,
delegasi DPR perlu mempertanyakan apakah liberalisasi perdagangan masih harus
terus dilakukan?
Agar multilateralisme dapat bekerja
dengan baik untuk mengatasi kebuntuan, terobosan perlu dilakukan dengan
mengembangkan forum pertemuan dan perundingan dagang dalam bentuk yang
lebih kecil, dengan mengurangi pencapaian target dan ambisi bersama yang
berlebihan.
Beberapa negara telah mengambil jalan
pintas, dengan melaksanakan pendekatan bilateral dengan negara-negara yang
siap secara langsung merealisasikan perdagangan bebas. Jadi, sering kali
pendekatan bilateral merupakan solusi atas kemandekan dalam
perundingan-perundingan dagang multilateral, tetapi pendekatan ini memiliki
keterbatasan dalam capaian hasilnya.
Memang keberhasilan perundingan dagang
bebas secara multilateral manfaatnya jauh lebih luas. Hal ini karena
pemangku kepentingannya lebih beragam. Namun, perundingan-perundingan
multilateral menjadi alot karena lebih kompleks peserta, agenda, serta
tantangan dan permasalahan yang dihadapinya.
Agar kegiatan, manfaat perdagangan, dan
penciptaan lapangan kerja saling terkait, kebutuhan setiap negara perlu
diperhatikan. Apalagi jika ingin menghasilkan kontribusi bagi perkembangan
perdagangan dunia yang dinamis dan menyumbang bagi kemakmuran bersama. Oleh
karena itu, praktik perdagangan dunia tidak hanya perlu bebas.
Namun, juga adil dirasakan setiap negara
dan pemangku kepentingan domestik. Akses ke pasar dan keuntungan harus
tersedia secara relatif sama bagi para pemangku kepentingan di berbagai
belahan dunia.
Jadi, langkah khusus dibutuhkan kelompok
yang lemah dalam masyarakat, terutama di negara terbelakang. Hal ini agar
pendatang baru di pasar selalu dapat hadir dan perbaikan kesejahteraan dan
pengentasan kemiskinan dapat dilakukan, sejalan dengan dinamisnya praktik
perdagangan global yang tercipta.
Upaya menciptakan koneksi perdagangan dan
penciptaan lapangan kerja di tingkat akar rumput juga harus dilakukan
dengan melindungi usaha kecil dari maraknya usaha berskala besar di bidang
eceran. Upaya memperjuangkan kepentingan LDCs untuk membentuk struktur
perdagangan dunia yang tidak hanya bebas, tetapi juga adil, membutuhkan
komitmen negara maju.
Jadi, pemerintah dan pengusaha negara
maju harus menghentikan dan melarang pengusaha asal negaranya yang terus
membuka gerai-gerai bisnis ecerannya di negara berkembang dan LDCs.
Contohnya, 7-Eleven, KFC, McDonald, AW, dan lain-lain yang melanggar aturan
perlindungan bagi pengusaha kecil lokal atau penduduk tradisional.
Hanya dengan cara dan mekanisme ini,
perdagangan bebas yang fair
dapat dipertahankan dan upaya trade work dapat memberikan keuntungan bagi
penciptaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan di banyak negara.
Upaya menciptakan perdagangan bebas yang fair harus dapat dijalankan
konsisten, terutama oleh negara maju. Hal ini agar dapat menyumbang pada
penciptaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan di LDCs.
Kepatuhan prinsip-prinsip perdagangan
bebas yang fair dan telah disepakati bersama harus ditunjukkan. Jangan
seperti larangan yang diterapkan terhadap produk tembakau (rokok) cengkeh
asal Indonesia yang masuk dan dijual di AS, sedangkan produk rokok mentol
lokal dan negara lain diperbolehkan dijual bebas di sana. Hal ini
disebabkan industri tembakau memanfaatkan tenaga kerja yang besar dan
menghidupkan banyak orang sejak lama di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar