Sabtu, 07 Desember 2013

Isu Strategis di WTO Bali

Isu Strategis di WTO Bali
Poltak P Nainggolan  ;   Guru Besar dan Penasihat Delegasi DPR
untuk PC13 dan MC9 WTO Bali 3-6 Desember 2013
SINAR HARAPAN,  06 Desember 2013

  

Perhelatan besar Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) digelar di Bali pada 3-6 Desember 2013. Sebanyak 159 negara anggota WTO dan 25 negara pengamat yang mewakili 97 persen perdagangan dunia, mengirim utusan setingkat menteri untuk mengikuti KTM kesembilan WTO.

Sehari sebelumnya, 2 Desember, Uni Antar-Parlemen Dunia (IPU) bersidang menyiapkan masukan untuk dibawa ke sidang WTO dengan kehadiran lebih dari 130 negara anggotanya. Sehari sebelumnya, WTO juga mengambil keputusan final dan diakhiri pada 5 Desember.

Para anggota IPU bersidang kembali mendengar laporan Dirjen WTO mengenai masukan yang telah diserap dan capaian kemajuan sidang WTO.

Agenda di Bali adalah memperjuangkan Paket Bali yang mencakup isu pertanian, fasilitas perdagangan, dan masalah pembangunan yang merupakan kombinasi kepentingan negara berkembang dan kurang berkembang (LDCs). 

Paket Bali sulit dipertahankan setelah gagal diluncurkan Jenewa minggu lalu.
Hal ini disebabkan kepentingan negara maju, berkembang, dan LDCs sulit dijembatani karena perbedaan pendapat tentang penghapusan pembatasan subsidi pertanian. Harus diakui, kepentingan Indonesia adalah pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, mengatasi dan degradasi lingkungan hidup.

Sebagai konsekuensinya, delegasi DPR di Konferensi Parlemen (PC13) dan Menteri WTO (MC9) di Bali harus memberikan solusi alternatif tidak hanya untuk mengatasi kemandekan, tetapi juga berpihak pada kepentingan Indonesia.

Perjuangan Bali

Apa saja masukan untuk solusi alternatif itu? Pertama, Delegasi DPR tetap memperjuangkan tuntutan G-33 untuk revisi aturan subsidi pemerintah dalam menerapkan perencanaan keamanan pangan tanpa melampaui batas subsidi minimun. Maksimun batas subsidi untuk negara berkembang adalah 10 persen dari output pertanian keseluruhannya.

Sementara itu, periode solusi interim belum terpecahkan sehingga delegasi DPR perlu bernegosiasi dengan kemampuan diplomasi yang tinggi. Hal ini dimaksudkan agar AS menyetujui periode yang tidak terbatas selama yang diharapkan G33 untuk solusi permanen belum tercapai.

Kedua terhadap isu pertanian. Kepentingan RI sebagai negara berkembang adalah mengupayakan tambahan kelonggaran dalam Perjanjian WTO untuk memperkuat sektor pertaniannya agar mampu bersaing di pasar domestik maupun pasar global.

Ketiga, mendorong negara maju menurunkan atau menghapus subsidinya di sektor pertanian. Untuk perjanjian fasilitasi perdagangan, negara berkembang dan LDCs jangan dituntut komitmen yang begitu banyak saat komitmen negara maju untuk memberikan bantuan kepada negara berkembang dan LDCs masih terlalu lemah.

Indonesia harus bisa mengambil manfaat optimal keanggotaannya dalam WTO dan meraih keuntungan dari penurunan tarif global, serta dari rules-based multilateral trading system bagi peningkatan kesejahteraan rakyatnya. WTO harus membantu upaya negara-negara yang memperjuangkan pengentasan kemiskinan dan pembangunan wilayah perdesaan dan pembangunan berkelanjutan, serta usaha-usaha padat karya, dengan penciptaan sistem perdagangan yang bebas dan fair bagi semua negara.

WTO juga harus menghilangkan kampanye buruk akibat kompetisi yang tidak fair. Ia perlu mendukung upaya menghilangkan kampanye negatif atas perkebunan kelapa sawit dan karet asal Indonesia yang ramah lingkungan, serta penjualan produknya di pasar.

Caranya dengan memberikan akses dan fasilitasi perdagangan, termasuk berbagai produk turunannya untuk bisa masuk ke dan dijual di negara maju, yang selama ini produk-produk tersebut dihasilkan dari perkebunan tradisional yang banyak menyerap tenaga kerja lokal.

“Fair Trade”

Mekanisme perdagangan bebas yang fair (adil), teknologi transfer, dan pengembangan kapasitas merupakan satu paket yang tidak terpisahkan dalam perjuangan kepentingan negara berkembang dan LDCs. Ini menuntut perhatian negara maju untuk sama-sama diperjuangkan mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Agenda negosiasi multilateral perdagangan bebas pasca-Bali perlu mempertanyakan seberapa jauh liberalisasi harus dilakukan.
Ini disebabkan untuk negara tertentu, seperti Indonesia, bea masuk sudah rendah, rata-rata tinggal 7 persen atau yang terendah, sedangkan China masih rata-rata 10 persen, India 13 persen, Korea Selatan 12 persen, dan Brasil 14 persen. Untuk kasus Indonesia, delegasi DPR perlu mempertanyakan apakah liberalisasi perdagangan masih harus terus dilakukan?

Agar multilateralisme dapat bekerja dengan baik untuk mengatasi kebuntuan, terobosan perlu dilakukan dengan mengembangkan forum pertemuan dan perundingan dagang dalam bentuk yang lebih kecil, dengan mengurangi pencapaian target dan ambisi bersama yang berlebihan.

Beberapa negara telah mengambil jalan pintas, dengan melaksanakan pendekatan bilateral dengan negara-negara yang siap secara langsung merealisasikan perdagangan bebas. Jadi, sering kali pendekatan bilateral merupakan solusi atas kemandekan dalam perundingan-perundingan dagang multilateral, tetapi pendekatan ini memiliki keterbatasan dalam capaian hasilnya.

Memang keberhasilan perundingan dagang bebas secara multilateral manfaatnya jauh lebih luas. Hal ini karena pemangku kepentingannya lebih beragam. Namun, perundingan-perundingan multilateral menjadi alot karena lebih kompleks peserta, agenda, serta tantangan dan permasalahan yang dihadapinya.

Agar kegiatan, manfaat perdagangan, dan penciptaan lapangan kerja saling terkait, kebutuhan setiap negara perlu diperhatikan. Apalagi jika ingin menghasilkan kontribusi bagi perkembangan perdagangan dunia yang dinamis dan menyumbang bagi kemakmuran bersama. Oleh karena itu, praktik perdagangan dunia tidak hanya perlu bebas.

Namun, juga adil dirasakan setiap negara dan pemangku kepentingan domestik. Akses ke pasar dan keuntungan harus tersedia secara relatif sama bagi para pemangku kepentingan di berbagai belahan dunia.

Jadi, langkah khusus dibutuhkan kelompok yang lemah dalam masyarakat, terutama di negara terbelakang. Hal ini agar pendatang baru di pasar selalu dapat hadir dan perbaikan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan dapat dilakukan, sejalan dengan dinamisnya praktik perdagangan global yang tercipta.

Upaya menciptakan koneksi perdagangan dan penciptaan lapangan kerja di tingkat akar rumput juga harus dilakukan dengan melindungi usaha kecil dari maraknya usaha berskala besar di bidang eceran. Upaya memperjuangkan kepentingan LDCs untuk membentuk struktur perdagangan dunia yang tidak hanya bebas, tetapi juga adil, membutuhkan komitmen negara maju.

Jadi, pemerintah dan pengusaha negara maju harus menghentikan dan melarang pengusaha asal negaranya yang terus membuka gerai-gerai bisnis ecerannya di negara berkembang dan LDCs. Contohnya, 7-Eleven, KFC, McDonald, AW, dan lain-lain yang melanggar aturan perlindungan bagi pengusaha kecil lokal atau penduduk tradisional.

Hanya dengan cara dan mekanisme ini, perdagangan bebas yang fair dapat dipertahankan dan upaya trade work dapat memberikan keuntungan bagi penciptaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan di banyak negara.
Upaya menciptakan perdagangan bebas yang fair harus dapat dijalankan konsisten, terutama oleh negara maju. Hal ini agar dapat menyumbang pada penciptaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan di LDCs.

Kepatuhan prinsip-prinsip perdagangan bebas yang fair dan telah disepakati bersama harus ditunjukkan. Jangan seperti larangan yang diterapkan terhadap produk tembakau (rokok) cengkeh asal Indonesia yang masuk dan dijual di AS, sedangkan produk rokok mentol lokal dan negara lain diperbolehkan dijual bebas di sana. Hal ini disebabkan industri tembakau memanfaatkan tenaga kerja yang besar dan menghidupkan banyak orang sejak lama di Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar