Eksistensi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di
negeri ini belum menjadi enabler yang dapat membuahkan efisiensi signifikan
bagi penyelenggaraan negara. Perkembangan TIK nasional juga masih jauh dari
fungsi sebagai transformer bangsa, yakni sebagai penentu arah transformasi
dengan prinsip otomatisasi dan rekayasa ulang proses atau re-engineering process di segala
bidang.
Perkembangan konvergensi TIK di negeri ini diwarnai
polarisasi pemikiran dan arah kebijakan. Perkembangan TIK nasional juga
diwarnai sisi gelap dan praktik-praktik yang tidak terpuji, terkait korupsi
dan pemborosan keuangan negara.
Semakin banyak kasus hukum yang terkait TIK. Bahkan,
kasus tersebut telah menusuk hingga jantung kementerian
terkait. Antara lain kasus yang menjerat Kepala Balai Penyedia dan
Pengelola Pembiayaan Telekomunikasi dan Informatika (BP3TI), terkait
penyimpangan implementasi Program Layanan Internet Kecamatan (PLIK).
Kasus hukum terkait TIK di masa depan akan semakin
sering terjadi. Kondisinya semakin fatal karena ada masalah krusial antara
pelaku jasa dan industri TIK dengan pihak yang berkompeten dibidang hukum
(KPK,Kejaksaaan, dan Kepolisian).
Hingga kini belum ada harmonisasi dan kesamaan sudut
pandang terkait definisi penyelewengan/penyimpangan di domain TIK dan aspek
bisnisnya secara luas. Hal ini memunculkan polemik seru, semacam kasus
mantan Direktur Utama PT Indosat Mega Media (IM2), Indar Atmanto, yang
telah divonis pidana penjara empat tahun beserta denda.
Polarisasi kebijakan TIK di negeri ini terlihat dengan
adanya dua mahzab terkait domain TIK, yaitu “TIK Kerakyatan” yang berusaha
menjadikan TIK untuk kemaslahatan rakyat seluas-luasnya dengan harga
semurah-murahnya.
Dengan berbagai terobosan teknologi dan inovasi tepat
guna yang mengedepankan open sources dan membongkar regulasi yang
selama ini cenderung berpihak kepada vendor asing, mahzab TIK Kerakyatan
memandang kesenjangan digital (digital
devide) sulit ditanggulangi jika negeri ini tidak melakukan langkah
besar menuju swadaya perangkat keras dan lunak seluas-luasnya.
Yang lainnya adalah mahzab ABG (Academic-Bussiness-Goverment), yang selama ini bagaikan
segitiga besi yang mempertahankan kebijakan menggelar karpet merah kepada
vendor asing. Sayangnya, pemikiran dan langkah mahzab ABG cenderung vendor
driven, konformitif bahkan monopolistik. Akibatnya, belanja TIK masyarakat
dan lembaga pemerintah tersedot ke luar negeri.
Sepak terjang mahzab ABG dalam menggelar karpet merah
terhadap vendor dan produk asing juga menimbulkan dampak sosial, yakni semakin
bertambahnya pengguna perangkat TIK yang bersifat boros dan kurang
produktif.
Rakyat sedang menunggu pemimpin bangsa yang
mampu mewujudkan e-readiness
Indonesia, daya yang kait-mengait antara kesiapan infrastruktur TIK,
sistem inovasi, intensif aglomerasi ISV, penciptaan lapangan kerja, dan
faktor social-engineering untuk mengatasi dampak negatif pesatnya
konvergensi TIK.
E-readiness Indonesia bisa dianalogikan
sebagai roda gigi yang saling mengait dalam konstruksi permesinan,
mendorong lajunya Indonesia
Incorporated menuju negeri harapan.
Tak bisa dipungkiri, pada era konvergensi TIK sekarang
ini menimbulkan modus pelanggaran hukum yang sangat beragam yang dilakukan
praktisi, inovator, dan birokrat terkait perkembangan TIK. Dibutuhkan
telaah hukum yang kokoh untuk menjerat para koruptor di sektor TIK.
Pentingnya menambah jumlah dan kompetensi bagi penyidik kasus korupsi di
bidang TIK.
Ada persoalan serius terkait kewajiban penggunaan
komponen lokal dalam menyelenggarakan jaringan bergerak seluler maupun
proyek infrastruktur telekomunikasi lainnya.
Ada kewajiban melakukan pembelanjaan dan pembiayaan
dengan tingkat komponen dalam negeri, minimal 30 persen dari pembelanjaan
modal (capital expenditure) per
tahun, dan minimal 50 persen dari pembiayaan operasional (operating expenses) per tahun.
Pembelanjaan dan pembiayaan tidak termasuk pembelanjaan
dan pembiayaan untuk pengadaan tanah, pembangunan gedung, penyewaan gedung,
pemeliharaan gedung/bangunan, dan gaji pegawai. Ironisnya, kewajiban di
atas banyak dilanggar karena lemahnya pengawasan, bahkan kementerian
terkait terkesan menutup mata.
Jika dicermati, akan terlihat dalam proyek infrastruktur
telekomunikasi sangat sedikit kandungan lokalnya. Sungguh ironis, dalam
lima tahun terakhir ini 99 persen belanja operator telekomunikasi dalam
negeri mengalir ke luar negeri. Hanya 1 persen yang masuk ke industri
nasional.
Masalah krusial lainnya terkait polarisasi kebijakan
TIK, adalah menyangkut eksistensi sekitar 300 perguruan tinggi di negeri
ini yang memiliki program studi terkait TIK untuk berbagai jenjang
pendidikan, secara keseluruhan menghasilkan sekitar 25.000 lulusan setiap
tahun. Di lain pihak jumlah tersebut masih belum mencukupi kebutuhan,
dengan asumsi industri dalam pertumbuhan yang normal.
Berdasarkan estimasi oleh UNDP, keberadaan itu baru akan
dicapai pada 2020, saat jumlah lulusan perguruan tinggi di Indonesia
sekitar 6 juta orang per tahun dengan asumsi sekitar 7 persen mahasiswa itu
mengambil disiplin ilmu TIK.
Masalah konektivitas menjadi agenda penting nasional,
regional, hingga telah menjadi agenda prioritas negara anggota Asia-Pacific
Economic Cooperation (APEC). Namun, konektivitas bisa dianalogikan seperti
pisau bermata dua, di satu sisi sangat penting sebagai wahana meningkatkan
daya saing bangsa, di sisi lain bisa dianalogikan menggelar karpet merah
liberalisasi jasa dan produk asing di negeri ini.
Ketidaksiapan dan kesalahan strategi konektivitas
nasional justru akan memberikan jalan mulus bagi raksasa korporasi asing,
untuk merambah hingga ceruk pasar hiperlokal atau ceruk di perdesaan. Tak
bisa dipungkiri, Indonesia belum siap mengantisipasi dominasi asing karena
masih rendahnya indeks konektivitas dan belum terwujudnya e-readiness
nasional. Pemerintah juga belum memberikan perhatian serius terkait
inisiatif dan inovasi TIK yang bersinggungan langsung dengan aspek
lokalitas.
Mestinya sistem konektivitas nasional bisa menumbuhkan
entitas media lokal secara signifikan yang hingga saat ini jumlahnya
cukup banyak, seperti media iklan lokal, radio, seni, dan kebudayaan.
Ada baiknya kita belajar dari agresifitas Facebook Inc
untuk menangkap potensi dan mengambil langsung ceruk hiperlokal periklanan,
khususnya bagi pelaku UMKM. Hingga kini Facebook mampu menggaet satu juta
pengiklan aktif secara global, sebagian besar dari kalangan UMKM yang
sangat antusias menjalankan bisnis dengan bantuan media online.
Sangat penting merumuskan strategi baru dan menata lagi
sistem konektivitas nasional, supaya bisa menjadi solusi konkrit terkait
masalah keragaman dan daya kreativitas media lokal. Konektivitas juga harus
bisa mengatasi ketidakberdayaan mayoritas media lokal, serta dapat berperan
sebagai fasilitator dan promotor kebinekaan di persada Nusantara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar