Sabtu, 07 Desember 2013

Polarisasi Arah dan Kebijakan TIK

Polarisasi Arah dan Kebijakan TIK
Hemat D Nuryanto  ;   Chairman & Chief Innovation di Zamrud Technology, 
Alumnus UPS Toulouse Prancis
SINAR HARAPAN,  05 Desember 2013

  

Eksistensi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di negeri ini belum menjadi enabler yang dapat membuahkan efisiensi signifikan bagi penyelenggaraan negara. Perkembangan TIK nasional juga masih jauh dari fungsi sebagai transformer bangsa, yakni sebagai penentu arah transformasi dengan prinsip otomatisasi dan rekayasa ulang proses atau re-engineering process di segala bidang.

Perkembangan konvergensi TIK di negeri ini diwarnai polarisasi pemikiran dan arah kebijakan. Perkembangan TIK nasional juga diwarnai sisi gelap dan praktik-praktik yang tidak terpuji, terkait korupsi dan pemborosan keuangan negara.

Semakin banyak kasus hukum yang terkait TIK. Bahkan, kasus tersebut telah menusuk hingga jantung kementerian terkait. Antara lain kasus yang menjerat Kepala Balai Penyedia dan Pengelola Pembiayaan Telekomunikasi dan Informatika (BP3TI), terkait penyimpangan implementasi Program Layanan Internet Kecamatan (PLIK).

Kasus hukum terkait TIK di masa depan akan semakin sering terjadi. Kondisinya semakin fatal karena ada masalah krusial antara pelaku jasa dan industri TIK dengan pihak yang berkompeten dibidang hukum (KPK,Kejaksaaan, dan Kepolisian).

Hingga kini belum ada harmonisasi dan kesamaan sudut pandang terkait definisi penyelewengan/penyimpangan di domain TIK dan aspek bisnisnya secara luas. Hal ini memunculkan polemik seru, semacam kasus mantan Direktur Utama PT Indosat Mega Media (IM2), Indar Atmanto, yang telah divonis pidana penjara empat tahun beserta denda.

Polarisasi kebijakan TIK di negeri ini terlihat dengan adanya dua mahzab terkait domain TIK, yaitu “TIK Kerakyatan” yang berusaha menjadikan TIK untuk kemaslahatan rakyat seluas-luasnya dengan harga semurah-murahnya.

Dengan berbagai terobosan teknologi dan inovasi tepat guna yang mengedepankan open sources dan membongkar regulasi yang selama ini cenderung berpihak kepada vendor asing, mahzab TIK Kerakyatan memandang kesenjangan digital (digital devide) sulit ditanggulangi jika negeri ini tidak melakukan langkah besar menuju swadaya perangkat keras dan lunak seluas-luasnya.

Yang lainnya adalah mahzab ABG (Academic-Bussiness-Goverment), yang selama ini bagaikan segitiga besi yang mempertahankan kebijakan menggelar karpet merah kepada vendor asing. Sayangnya, pemikiran dan langkah mahzab ABG cenderung vendor driven, konformitif bahkan monopolistik. Akibatnya, belanja TIK masyarakat dan lembaga pemerintah tersedot ke luar negeri.

Sepak terjang mahzab ABG dalam menggelar karpet merah terhadap vendor dan produk asing juga menimbulkan dampak sosial, yakni semakin bertambahnya pengguna perangkat TIK yang bersifat boros dan kurang produktif.

Rakyat sedang menunggu pemimpin bangsa yang mampu mewujudkan e-readiness Indonesia, daya yang kait-mengait antara kesiapan infrastruktur TIK, sistem inovasi, intensif aglomerasi ISV, penciptaan lapangan kerja, dan faktor social-engineering untuk mengatasi dampak negatif pesatnya konvergensi TIK.
E-readiness Indonesia bisa dianalogikan sebagai roda gigi yang saling mengait dalam konstruksi permesinan, mendorong lajunya Indonesia Incorporated menuju negeri harapan.

Tak bisa dipungkiri, pada era konvergensi TIK sekarang ini menimbulkan modus pelanggaran hukum yang sangat beragam yang dilakukan praktisi, inovator, dan birokrat terkait perkembangan TIK. Dibutuhkan telaah hukum yang kokoh untuk menjerat para koruptor di sektor TIK. Pentingnya menambah jumlah dan kompetensi bagi penyidik kasus korupsi di bidang TIK.

Ada persoalan serius terkait kewajiban penggunaan komponen lokal dalam menyelenggarakan jaringan bergerak seluler maupun proyek infrastruktur telekomunikasi lainnya.

Ada kewajiban melakukan pembelanjaan dan pembiayaan dengan tingkat komponen dalam negeri, minimal 30 persen dari pembelanjaan modal (capital expenditure) per tahun, dan minimal 50 persen dari pembiayaan operasional (operating expenses) per tahun.

Pembelanjaan dan pembiayaan tidak termasuk pembelanjaan dan pembiayaan untuk pengadaan tanah, pembangunan gedung, penyewaan gedung, pemeliharaan gedung/bangunan, dan gaji pegawai. Ironisnya, kewajiban di atas banyak dilanggar karena lemahnya pengawasan, bahkan kementerian terkait terkesan menutup mata.

Jika dicermati, akan terlihat dalam proyek infrastruktur telekomunikasi sangat sedikit kandungan lokalnya. Sungguh ironis, dalam lima tahun terakhir ini 99 persen belanja operator telekomunikasi dalam negeri mengalir ke luar negeri. Hanya 1 persen yang masuk ke industri nasional.

Masalah krusial lainnya terkait polarisasi kebijakan TIK, adalah menyangkut eksistensi sekitar 300 perguruan tinggi di negeri ini yang memiliki program studi terkait TIK untuk berbagai jenjang pendidikan, secara keseluruhan menghasilkan sekitar 25.000 lulusan setiap tahun. Di lain pihak jumlah tersebut masih belum mencukupi kebutuhan, dengan asumsi industri dalam pertumbuhan yang normal.

Berdasarkan estimasi oleh UNDP, keberadaan itu baru akan dicapai pada 2020, saat jumlah lulusan perguruan tinggi di Indonesia sekitar 6 juta orang per tahun dengan asumsi sekitar 7 persen mahasiswa itu mengambil disiplin ilmu TIK.

Masalah konektivitas menjadi agenda penting nasional, regional, hingga telah menjadi agenda prioritas negara anggota Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC). Namun, konektivitas bisa dianalogikan seperti pisau bermata dua, di satu sisi sangat penting sebagai wahana meningkatkan daya saing bangsa, di sisi lain bisa dianalogikan menggelar karpet merah liberalisasi jasa dan produk asing di negeri ini.

Ketidaksiapan dan kesalahan strategi konektivitas nasional justru akan memberikan jalan mulus bagi raksasa korporasi asing, untuk merambah hingga ceruk pasar hiperlokal atau ceruk di perdesaan. Tak bisa dipungkiri, Indonesia belum siap mengantisipasi dominasi asing karena masih rendahnya indeks konektivitas dan belum terwujudnya e-readiness nasional. Pemerintah juga belum memberikan perhatian serius terkait inisiatif dan inovasi TIK yang bersinggungan langsung dengan aspek lokalitas.

Mestinya sistem konektivitas nasional bisa menumbuhkan entitas media lokal secara signifikan yang hingga saat ini jumlahnya cukup banyak, seperti media iklan lokal, radio, seni, dan kebudayaan.

Ada baiknya kita belajar dari agresifitas Facebook Inc untuk menangkap potensi dan mengambil langsung ceruk hiperlokal periklanan, khususnya bagi pelaku UMKM. Hingga kini Facebook mampu menggaet satu juta pengiklan aktif secara global, sebagian besar dari kalangan UMKM yang sangat antusias menjalankan bisnis dengan bantuan media online.

Sangat penting merumuskan strategi baru dan menata lagi sistem konektivitas nasional, supaya bisa menjadi solusi konkrit terkait masalah keragaman dan daya kreativitas media lokal. Konektivitas juga harus bisa mengatasi ketidakberdayaan mayoritas media lokal, serta dapat berperan sebagai fasilitator dan promotor kebinekaan di persada Nusantara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar