Sabtu, 07 Desember 2013

Langkah Bijak Pungutan Pajak UKM

Langkah Bijak Pungutan Pajak UKM
Wirawan B Ilyas  ;   Dosen Universitas Katolik Atmajaya, Jakarta
SINAR HARAPAN,  06 Desember 2013

  

Persoalan keadilan pajak bagi UKM masih belum tuntas. Padahal, PP 46/2013 tentang Pajak UKM sudah memberi pijakan yang sangat jelas. Tiga landasan pikiran yang dijelaskan dalam PP 46/2013 terlihat sangat arif, yaitu kesederhanaan, beban administrasi, serta perkembangan ekonomi.

Jika diamati, PP 46/2013 lebih menekankan persoalan keadilan dalam pungutan pajak, termasuk pungutan pajak UKM. Itu karena keadilan adalah persoalan utama yang kerap muncul setiap pemerintah ingin menerbitkan kebijakan pungutan pajak bagi pelaku bisnis.

Terlebih bagi bisnis yang tergolong kecil dan menengah (UKM), kebijakan pajak akan selalu ditilik dari sisi keadilan dalam pungutannya. Persoalannya sekarang, apakah UKM akan terkena PP 46/2013 yang mulai berlaku sejak 1 Juli 2013 tersebut?

Tulisan ini mencoba mengulas dua hal yang menjadi pemikiran bersama. Pertama, alasan pemerintah baru menerbitkan PP 46/2013, padahal sudah diamanatkan UU sejak 2009. Kedua, cara memandang pungutan pajak dengan konsep keadilan yang dituntut banyak pihak.

Kebijakan Pajak

Ketika pemerintah membuat kebijakan pungutan pajak bagi pelaku bisnis, pastinya banyak pihak kurang setuju. Ini selalu menjadi perdebatan panjang. Inilah yang dialami saat PP 46 diterbitkan. Kebijakan pemerintah ini mengatur pengenaan PPh terhadap wajib pajak yang beredar dengan jumlah bruto tertentu.

Padahal, PP 46 diterbitkan atas amanat Pasal 4 Ayat (2) UU PPh No 36/2008. Dari sisi yuridis formal, ini tidak menjadi persoalan. PP 46 telah menjadi paket pemberian keadilan dalam pungutan pajak bagi semua pihak. Secara sosiologis, tampaknya kebijakan ini belum bisa diterima pelaku bisnis UKM.

Jika kebijakan tersebut dimaknai sebagai cara memberikan dasar hukum memenuhi target penerimaan pajak, tentu tidak salah, alias benar. Harus diakui pungutan pajak dimaksudkan memenuhi target yang telah ditetapkan pemerintah bersama DPR.

Pasal 2 Ayat (2) Huruf B PP 46 menegaskan, wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dan tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam setahun dikenakan tarif pajak satu persen. Ini bersifat final.

Namun, bagi wajib pajak yang memiliki peredaran bruto sebulan melebihi Rp 4,8 miliar, dikenakan pajak sampai akhir tahun pajak yang bersangkutan. Dalam hal peredaran bruto yang melebihi Rp 4,8 miliar dalam setahun, penghasilan tahun berikutnya dikenakan tarif biasa.

Persoalan pajak UKM menjadi ramai ketika jumlah yang ditentukan sebesar Rp 4,8 miliar. Penulis menduga angka tersebut sesuai angka yang tercantum dalam Pasal 31E UU PPh. Artinya, perdebatan besaran angka selalu menjadi persoalan tentang adil atau tidak.

Perlu dipahami, persoalan pajak semestinya menjadi persoalan bersama. Ini guna memenuhi target penerimaan yang ditentukan bersama. Keadilan pungutan pajak sepatutnya menjadi beban semua orang, sesuai kemampuannya.

Tujuan hukum, di antaranya untuk keadilan dan kemanfaatan. Itu yang dikemukakan Radbruch, filsuf Jerman. Kalau begitu, PP 46 yang menekankan keadilan dan kemanfaatan dalam pungutan pajak menjadi cara yang perlu dipahami dengan benar.

Perdebatan keadilan semestinya tidak perlu terjadi. Ini sepanjang didasarkan kepentingan keadilan dan kemanfaatan. Dikotomi berpikir pungutan pajak yang selalu ditujukan pada kaum kaya adalah keliru. Sesuai prinsip daya pikul, semua pihak harus memikul beban pajak. Itu setelah dikurangi kebutuhan primer yang ada.

Kritik Kecil

Pungutan pajak yang bersifat final dalam PP 46 juga menjadi perdebatan. Persoalan final dalam banyak aturan pajak sering dipandang tidak adil. Itu karena pajak tetap dikenakan kepada perusahaan yang mengalami rugi.

Perusahaan berlaba rendah bahkan terkena pajak dengan tarif sama, yaitu sebesar satu persen. Dari sisi administrasi (cost of administration), hal ini dapat dipahami. Ini dalam rangka meringankan beban wajib pajak dan pemerintah.

Sebuah kritik kecil, mengapa PP 46 tidak menyentuh persoalan kewajiban PPN bagi mereka yang terkena PP 46. Padahal, wajib pajak beromzet di atas Rp 4,8 miliar sudah pasti terkena kewajiban pungutan PPN.

Alangkah baiknya PP 46 mengatur juga perlakuan PPN. Mengapa demikian? PPN merupakan pajak konsumsi yang pastinya menjadi beban yang ditanggung konsumen. Ini tanpa memperhatikan keadaan ekonomi konsumen. PPN juga mempunyai dampak terhadap peningkatan inflasi.

Harapan itu terlihat ketika pemerintah berencana menerbitkan aturan batasan omzet pengusaha kecil bebas PPN dari Rp 600 juta menjadi Rp 4,8 miliar. Peraturan yang akan diterbitkan kemungkinan berlaku mulai 1 Januari 2014. Dengan ketentuan itu, pengusaha beromzet di bawah Rp 4,8 miliar tidak lagi dikenakan PPN.

Dengan demikian, bisnis UKM yang saat ini menjadi perhatian besar pemerintah untuk terus dikembangkan, bisa segera melakukan praktik bisnisnya.
UKM menjadi lebih efisien, produktivitasnya meningkat, serta memiliki kepraktisan (kesederhanaan) dalam melaksanakan usahanya. Ini juga dapat membuat tingkat inflasi lebih rendah. Hal ini mengingat jumlah perusahaan dalam cluster ini relatif dominan terhadap perekonomian nasional.

Seandainya UKM tidak dibebani PPN, ini akan lebih baik lagi. Pekerjaan administrasi PPN sangat menyita waktu. Dengan tidak memungut PPN, UKM diharapkan bisa lebih meningkat. Nilai PPh (baik PPh Pasal 21, PPh potong pungut, dan PPh badan usaha) diharapkan meningkat juga.

Terkait persoalan pembukuan yang diatur dalam undang-undang, PP 46 tidak mengaturnya. Menurut penulis, pembukuaan adalah hal lain yang tidak menjadi inti persoalan. PP hanya memfokuskan pada besaran peredaran bruto tertentu untuk dikenakan pajak.

Pertimbangan kesederhanaan dan beban administrasi yang ditegaskan dalam PP 46 diharapkan memberi gairah pada generasi muda untuk berbisnis atau berusaha kecil sesuai omzet yang telah ditentukan. Pungutan pajak dengan batasan omzet jelas memberi kepastian berusaha. Dengan begitu, pajak tidak memberi “ketakutan” atau “ancaman” berusaha.

Perdebatan mengenai soal-soal lain di luar makna kepastian dan kemanfaatan bagi wajib pajak dan pemerintah adalah perdebatan yang kurang bermakna. Tugas pemerintah memberikan pemahaman yang benar bagi masyarakat.

Persoalan keadilan dan kemanfaatan harus tetap menjadi pertimbangan pemerintah menerbitkan kebijakan pajak. Dunia usaha diyakini mendukung dan memenuhi kewajiban pajaknya. Ini sesuai kemampuan daya pikulnya.

Dengan begitu, PP 46 serta akan terbitnya aturan bebas PPN bagi pengusaha beromzet di bawah Rp 4,8 miliar telah memberi harapan kesederhanaan serta tercapainya penerimaan pajak untuk negara. Ini sekaligus menggairahkan ekonomi di saat bisnis dalam negeri tidak terlalu baik. Semoga itu terjadi sebelum tutup tahun 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar