Persoalan keadilan pajak bagi
UKM masih belum tuntas. Padahal, PP 46/2013 tentang Pajak UKM sudah memberi
pijakan yang sangat jelas. Tiga landasan pikiran yang dijelaskan dalam PP
46/2013 terlihat sangat arif, yaitu kesederhanaan, beban administrasi,
serta perkembangan ekonomi.
Jika diamati, PP 46/2013 lebih
menekankan persoalan keadilan dalam pungutan pajak, termasuk pungutan pajak
UKM. Itu karena keadilan adalah persoalan utama yang kerap muncul setiap
pemerintah ingin menerbitkan kebijakan pungutan pajak bagi pelaku bisnis.
Terlebih bagi bisnis yang tergolong
kecil dan menengah (UKM), kebijakan pajak akan selalu ditilik dari sisi
keadilan dalam pungutannya. Persoalannya sekarang, apakah UKM akan terkena
PP 46/2013 yang mulai berlaku sejak 1 Juli 2013 tersebut?
Tulisan ini mencoba mengulas dua
hal yang menjadi pemikiran bersama. Pertama, alasan pemerintah baru
menerbitkan PP 46/2013, padahal sudah diamanatkan UU sejak 2009. Kedua,
cara memandang pungutan pajak dengan konsep keadilan yang dituntut banyak
pihak.
Kebijakan Pajak
Ketika pemerintah membuat
kebijakan pungutan pajak bagi pelaku bisnis, pastinya banyak pihak kurang
setuju. Ini selalu menjadi perdebatan panjang. Inilah yang dialami saat PP
46 diterbitkan. Kebijakan pemerintah ini mengatur pengenaan PPh terhadap
wajib pajak yang beredar dengan jumlah bruto tertentu.
Padahal, PP 46 diterbitkan atas
amanat Pasal 4 Ayat (2) UU PPh No 36/2008. Dari sisi yuridis formal, ini
tidak menjadi persoalan. PP 46 telah menjadi paket pemberian keadilan dalam
pungutan pajak bagi semua pihak. Secara sosiologis, tampaknya kebijakan ini
belum bisa diterima pelaku bisnis UKM.
Jika kebijakan tersebut dimaknai
sebagai cara memberikan dasar hukum memenuhi target penerimaan pajak, tentu
tidak salah, alias benar. Harus diakui pungutan pajak dimaksudkan memenuhi
target yang telah ditetapkan pemerintah bersama DPR.
Pasal 2 Ayat (2) Huruf B PP 46
menegaskan, wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dan tidak
melebihi Rp 4,8 miliar dalam setahun dikenakan tarif pajak satu persen. Ini
bersifat final.
Namun, bagi wajib pajak yang
memiliki peredaran bruto sebulan melebihi Rp 4,8 miliar, dikenakan pajak
sampai akhir tahun pajak yang bersangkutan. Dalam hal peredaran bruto yang
melebihi Rp 4,8 miliar dalam setahun, penghasilan tahun berikutnya dikenakan
tarif biasa.
Persoalan pajak UKM menjadi
ramai ketika jumlah yang ditentukan sebesar Rp 4,8 miliar. Penulis menduga
angka tersebut sesuai angka yang tercantum dalam Pasal 31E UU PPh. Artinya,
perdebatan besaran angka selalu menjadi persoalan tentang adil atau tidak.
Perlu dipahami, persoalan pajak
semestinya menjadi persoalan bersama. Ini guna memenuhi target penerimaan
yang ditentukan bersama. Keadilan pungutan pajak sepatutnya menjadi beban
semua orang, sesuai kemampuannya.
Tujuan hukum, di antaranya untuk
keadilan dan kemanfaatan. Itu yang dikemukakan Radbruch, filsuf Jerman.
Kalau begitu, PP 46 yang menekankan keadilan dan kemanfaatan dalam pungutan
pajak menjadi cara yang perlu dipahami dengan benar.
Perdebatan keadilan semestinya
tidak perlu terjadi. Ini sepanjang didasarkan kepentingan keadilan dan
kemanfaatan. Dikotomi berpikir pungutan pajak yang selalu ditujukan pada
kaum kaya adalah keliru. Sesuai prinsip daya pikul, semua pihak harus
memikul beban pajak. Itu setelah dikurangi kebutuhan primer yang ada.
Kritik Kecil
Pungutan pajak yang bersifat
final dalam PP 46 juga menjadi perdebatan. Persoalan final dalam banyak
aturan pajak sering dipandang tidak adil. Itu karena pajak tetap dikenakan
kepada perusahaan yang mengalami rugi.
Perusahaan berlaba rendah bahkan
terkena pajak dengan tarif sama, yaitu sebesar satu persen. Dari sisi
administrasi (cost of administration), hal ini dapat dipahami. Ini dalam
rangka meringankan beban wajib pajak dan pemerintah.
Sebuah kritik kecil, mengapa PP
46 tidak menyentuh persoalan kewajiban PPN bagi mereka yang terkena PP 46.
Padahal, wajib pajak beromzet di atas Rp 4,8 miliar sudah pasti terkena
kewajiban pungutan PPN.
Alangkah baiknya PP 46 mengatur
juga perlakuan PPN. Mengapa demikian? PPN merupakan pajak konsumsi yang
pastinya menjadi beban yang ditanggung konsumen. Ini tanpa memperhatikan
keadaan ekonomi konsumen. PPN juga mempunyai dampak terhadap peningkatan
inflasi.
Harapan itu terlihat ketika
pemerintah berencana menerbitkan aturan batasan omzet pengusaha kecil bebas
PPN dari Rp 600 juta menjadi Rp 4,8 miliar. Peraturan yang akan diterbitkan
kemungkinan berlaku mulai 1 Januari 2014. Dengan ketentuan itu, pengusaha
beromzet di bawah Rp 4,8 miliar tidak lagi dikenakan PPN.
Dengan demikian, bisnis UKM yang
saat ini menjadi perhatian besar pemerintah untuk terus dikembangkan, bisa
segera melakukan praktik bisnisnya.
UKM menjadi lebih efisien,
produktivitasnya meningkat, serta memiliki kepraktisan (kesederhanaan)
dalam melaksanakan usahanya. Ini juga dapat membuat tingkat inflasi lebih
rendah. Hal ini mengingat jumlah perusahaan dalam cluster ini relatif
dominan terhadap perekonomian nasional.
Seandainya UKM tidak dibebani
PPN, ini akan lebih baik lagi. Pekerjaan administrasi PPN sangat menyita
waktu. Dengan tidak memungut PPN, UKM diharapkan bisa lebih meningkat.
Nilai PPh (baik PPh Pasal 21, PPh potong pungut, dan PPh badan usaha)
diharapkan meningkat juga.
Terkait persoalan pembukuan yang
diatur dalam undang-undang, PP 46 tidak mengaturnya. Menurut penulis, pembukuaan
adalah hal lain yang tidak menjadi inti persoalan. PP hanya memfokuskan
pada besaran peredaran bruto tertentu untuk dikenakan pajak.
Pertimbangan kesederhanaan dan
beban administrasi yang ditegaskan dalam PP 46 diharapkan memberi gairah
pada generasi muda untuk berbisnis atau berusaha kecil sesuai omzet yang
telah ditentukan. Pungutan pajak dengan batasan omzet jelas memberi
kepastian berusaha. Dengan begitu, pajak tidak memberi “ketakutan” atau
“ancaman” berusaha.
Perdebatan mengenai soal-soal
lain di luar makna kepastian dan kemanfaatan bagi wajib pajak dan
pemerintah adalah perdebatan yang kurang bermakna. Tugas pemerintah
memberikan pemahaman yang benar bagi masyarakat.
Persoalan keadilan dan
kemanfaatan harus tetap menjadi pertimbangan pemerintah menerbitkan
kebijakan pajak. Dunia usaha diyakini mendukung dan memenuhi kewajiban
pajaknya. Ini sesuai kemampuan daya pikulnya.
Dengan begitu, PP 46 serta akan
terbitnya aturan bebas PPN bagi pengusaha beromzet di bawah Rp 4,8 miliar
telah memberi harapan kesederhanaan serta tercapainya penerimaan pajak
untuk negara. Ini sekaligus menggairahkan ekonomi di saat bisnis dalam
negeri tidak terlalu baik. Semoga itu terjadi sebelum tutup tahun 2013. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar