Senin, 16 Desember 2013

Pesta Bulan Desember

Pesta Bulan Desember
Budisetyarso  ;   Wartawan Tempo
TEMPO.CO,  16 Desember 2013

  

Menjelang tutup tahun, proyek pemerintah datang seperti hujan pada bulan Desember. Jalan mulus digali (lagi) untuk jalur kabel. Trotoar yang kebanyakan tidak lebar dibongkar buat memperdalam gorong-gorong. Pembuatan jembatan beton pun dikebut. Aneka keriuhan itu terjadi hampir di semua kota, sama seperti tahun lalu, dan serupa dengan tahun-tahun sebelumnya.

Pada umumnya, pergerakan pembangunan-yang ditandai dengan angka-angka "penyerapan anggaran"-berjalan seperti deret hitung pada awal tahun. Semua birokrat berjalan pelan. Mereka agak bergegas menjelang Lebaran: jalan-jalan dimuluskan demi kenyamanan para pemudik, terminal penumpang juga diperbaiki. Lalu semua bergegas pada bulan-bulan akhir. Tiba-tiba pergerakan berubah menjadi seperti deret ukur.

Pola itu tergambar dalam laporan pemerintah tahun ini. Pada pertengahan 2013, "penyerapan anggaran" baru mencapai sekitar 35 persen. Saat itu angka penyerapan tertinggi ada pada pos pembayaran gaji pegawai, bunga utang, dan subsidi. Dua bulan kemudian, tingkat penggunaan anggaran mengancik angka 51 persen. Pada Oktober, alias bulan kesepuluh, angka merangkak lagi menjadi 67 persen. Lalu semua bergerak agar anggaran habis pada akhir tahun. Bayangkan, sepertiga anggaran setahun harus dihabiskan dalam dua bulan.

Maka, mengebut proyek fisik pada akhir tahun adalah sebaik-baiknya program. Yang banyak dilakukan adalah menyusun agenda dadakan. Jalan paling gampang: bikin seminar, simposium, atau konferensi. Temanya, comot saja seadanya, yang penting terdengar keren. Suatu ketika, satu kementerian menggelar seminar dengan topik membangun karakter bangsa bla-bla-bla. Acara yang disiapkan hanya dalam sepekan ini memakan biaya setengah miliar rupiah lebih. Uniknya, topik yang kurang-lebih sama dipilih pada tahun berikutnya, yang juga diadakan pada bulan Desember!

Tempat untuk seminar akhir tahun harus "di luar kota". Kenapa diberi tanda kutip? Iya, karena daerah seperti Bekasi, Tangerang, atau Bogor sudah termasuk luar kota dalam terminologi keuangan pemerintah. Definisi ini penting. Seminar di luar kota berarti semua pesertanya-dan, tentu saja, panitianya-akan mendapat uang saku, biaya makan, dan ongkos hotel. Semakin besar biaya seminar, jelas akan sangat membantu kementerian masing-masing menghabiskan anggarannya.

Buat birokrat yang lebih kreatif, acara perjalanan dinas alias studi banding akan dipilih. Mereka akan melancong ke Eropa, menikmati salju pada bulan Desember. Sebagian memilih yang lebih dekat: Singapura, Kuala Lumpur, Bangkok, atau Hong Kong. Perjalanan ini umumnya dilakukan dalam sepekan. Sisipkan sedikit agenda serius, misalnya mengunjungi parlemen negara tujuan. Ya, bisa saja tidak perlu bertemu dengan politikus di sana, yang penting datang ke gedung parlemen. Kunjungan dalam arti harfiah.

Tak mengherankan jika Kedutaan Besar Republik Indonesia di negara Eropa seperti di Den Haag bisa mengurus 3.500-4.500 rombongan dalam setahun. Jumlah yang lebih besar harus diurus oleh kantor kedutaan besar di Singapura atau Bangkok. Sebagian besar rombongan itu, tentu saja, datang pada bulan-bulan di akhir tahun.

Kurang enak apalagi? Aneka program hore-hore itu akan diganjar dengan hadiah pada tahun berikutnya. Satu kementerian atau lembaga pemerintah yang berhasil menghabiskan anggaran-atau biar lebih mantap disebut "seratus persen menyerap anggaran"-akan memperoleh peningkatan pagu. Sebaliknya, mereka yang gagal menghabiskan alokasi anggaran akan dihukum dengan pengurangan plafon pada tahun berikutnya.

Begitulah, pada derai hujan bulan Desember, ada kerja (atau pesta?) demi plafon dan angka-angka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar