Menjelang tutup tahun, proyek pemerintah datang seperti hujan pada
bulan Desember. Jalan mulus digali (lagi) untuk jalur kabel. Trotoar yang
kebanyakan tidak lebar dibongkar buat memperdalam gorong-gorong. Pembuatan
jembatan beton pun dikebut. Aneka keriuhan itu terjadi hampir di semua
kota, sama seperti tahun lalu, dan serupa dengan tahun-tahun sebelumnya.
Pada
umumnya, pergerakan pembangunan-yang ditandai dengan angka-angka
"penyerapan anggaran"-berjalan seperti deret hitung pada awal
tahun. Semua birokrat berjalan pelan. Mereka agak bergegas menjelang
Lebaran: jalan-jalan dimuluskan demi kenyamanan para pemudik, terminal
penumpang juga diperbaiki. Lalu semua bergegas pada bulan-bulan akhir.
Tiba-tiba pergerakan berubah menjadi seperti deret ukur.
Pola
itu tergambar dalam laporan pemerintah tahun ini. Pada pertengahan 2013,
"penyerapan anggaran" baru mencapai sekitar 35 persen. Saat itu
angka penyerapan tertinggi ada pada pos pembayaran gaji pegawai, bunga
utang, dan subsidi. Dua bulan kemudian, tingkat penggunaan anggaran
mengancik angka 51 persen. Pada Oktober, alias bulan kesepuluh, angka
merangkak lagi menjadi 67 persen. Lalu semua bergerak agar anggaran habis
pada akhir tahun. Bayangkan, sepertiga anggaran setahun harus dihabiskan
dalam dua bulan.
Maka,
mengebut proyek fisik pada akhir tahun adalah sebaik-baiknya program. Yang
banyak dilakukan adalah menyusun agenda dadakan. Jalan paling gampang:
bikin seminar, simposium, atau konferensi. Temanya, comot saja seadanya,
yang penting terdengar keren. Suatu ketika, satu kementerian menggelar
seminar dengan topik membangun karakter bangsa bla-bla-bla. Acara yang
disiapkan hanya dalam sepekan ini memakan biaya setengah miliar rupiah
lebih. Uniknya, topik yang kurang-lebih sama dipilih pada tahun berikutnya,
yang juga diadakan pada bulan Desember!
Tempat
untuk seminar akhir tahun harus "di luar kota". Kenapa diberi
tanda kutip? Iya, karena daerah seperti Bekasi, Tangerang, atau Bogor sudah
termasuk luar kota dalam terminologi keuangan pemerintah. Definisi ini
penting. Seminar di luar kota berarti semua pesertanya-dan, tentu saja,
panitianya-akan mendapat uang saku, biaya makan, dan ongkos hotel. Semakin
besar biaya seminar, jelas akan sangat membantu kementerian masing-masing
menghabiskan anggarannya.
Buat
birokrat yang lebih kreatif, acara perjalanan dinas alias studi banding
akan dipilih. Mereka akan melancong ke Eropa, menikmati salju pada bulan
Desember. Sebagian memilih yang lebih dekat: Singapura, Kuala Lumpur,
Bangkok, atau Hong Kong. Perjalanan ini umumnya dilakukan dalam sepekan.
Sisipkan sedikit agenda serius, misalnya mengunjungi parlemen negara
tujuan. Ya, bisa saja tidak perlu bertemu dengan politikus di sana, yang
penting datang ke gedung parlemen. Kunjungan dalam arti harfiah.
Tak
mengherankan jika Kedutaan Besar Republik Indonesia di negara Eropa seperti
di Den Haag bisa mengurus 3.500-4.500 rombongan dalam setahun. Jumlah yang
lebih besar harus diurus oleh kantor kedutaan besar di Singapura atau
Bangkok. Sebagian besar rombongan itu, tentu saja, datang pada bulan-bulan
di akhir tahun.
Kurang
enak apalagi? Aneka program hore-hore itu akan diganjar dengan hadiah pada
tahun berikutnya. Satu kementerian atau lembaga pemerintah yang berhasil
menghabiskan anggaran-atau biar lebih mantap disebut "seratus persen
menyerap anggaran"-akan memperoleh peningkatan pagu. Sebaliknya,
mereka yang gagal menghabiskan alokasi anggaran akan dihukum dengan
pengurangan plafon pada tahun berikutnya.
Begitulah,
pada derai hujan bulan Desember, ada kerja (atau pesta?) demi plafon dan
angka-angka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar