Senin, 16 Desember 2013

Parlemen Lokal atau Konstitusional

Parlemen Lokal atau Konstitusional
Arya Budi  ;   Peneliti Pol-Tracking Institute
KOMPAS,  16 Desember 2013

  

SEKALIPUN ”dinasti politik” telah lama menjadi obyek kajian politik lokal sejak beberapa tahun lalu, baru setelah publisitas kencang soal Gubernur Banten Ratu Atut muncul kesadaran publik atas fakta politik lokal yang mungkin tak jauh beda kompleksitasnya dibandingkan dengan politik nasional.
Para akademisi Barat (Indonesianis) pun membahas fenomena politik di sejumlah daerah ini karena politik nasional tidak lagi menunjukkan ”keunikan”.
Justru daerahlah yang banyak menunjukkan ”anomali” demokrasi. Pertanyaannya di mana parlemen lokal kita?
Lembaga legislatif, yang bertugas merancang peraturan daerah, menyetujui, dan mengawasi anggaran, serta pengawasan secara keseluruhan, ternyata sering abai terutama pada fungsi pengawasan.
Hanya pada kasus mantan Bupati Garut Aceng Fikri peran DPRD muncul dalam proses panjang pemakzulan.
Konstitusi (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004) bahkan melembagakan relasi DPRD-kepala daerah ke dalam 12 diktum (Pasal 25, 27, 29, 35, dan 42) dari kebijakan daerah, peraturan daerah, pengawasan, dinamika jabatan kepala daerah seperti kekosongan dan pemberhentian hingga hubungan internasional.
Muka lama
Di sisi lain melihat wajah parlemen di media massa kita seperti dihadapkan pada adagium baru soal demokrasi ”perwakilan dan permusyawaratan” Indonesia: mudah berdebat, tetapi sulit bersepakat.
Hasil Pemilu 2014 pun tampaknya juga bakal mirip dengan parlemen kita kini khususnya di level nasional.
Hasil kajian Pol-Tracking Institute menunjukkan bahwa dari 6.607 calon anggota legislatif nasional (daftar calon tetap) yang ditetapkan KPU untuk berkontestasi menuju Pemilu 2014 hampir semua (91 persen) anggota dewan petahana (2009-2014) yang kembali mencalonkan diri dan menempati nomor urut puncak.
Potensi keterpilihan para caleg petahana ini cukup besar karena tiga hal.
Pertama, caleg petahana mendapatkan ”bantuan” negara untuk bertemu pemilih melalui dana aspirasi ketika reses.
Kedua, caleg petahana memperoleh limpahan suara dari pemilih yang hanya mencoblos nama/lambang partai karena kebanyakan partai akan melimpahkan ke nomor urut puncak.
Ketiga, publik-pemilih kita cenderung melihat figur/sosok dalam representasi sosiolo- gis (kekerabatan, suku, agama, dan lain-lain) atau psikologis (muda, tampan, cantik, menawan, dan lain-lain) dibandingkan dengan pilihan rasional seperti kinerja dan produktivitas.
Akhirnya, demokrasi perwakilan dan permusyawaratan kita adalah sebuah repetisi simbolik, padahal demokrasi ”perwakilan dan permusyawaratan” sudah ada sebelum terlembaganya model demokrasi ini dalam konstitusi.
Sebagai contoh, lembaga ninik-mamak di Minangkabau sebagai forum musyawarah-mufakat para tetua, bate-salapanga di Gowa (kerajaan Makassar) sebagai pemangku perwalian rakyat, adek-pitudiBone (kerajaan Bugis), atau Puang ri Wajoyang memangku kedaulatan rakyat Tana Wajo.
Di Bali terdapat paruman yang menjadi forum musyawarah oleh para ketua adat Bali (kelihan/bendesa) yang dipilih masyarakat.
Lembaga-lembaga di tingkat lokal ini justru mampu mengampu asas-asas ”perwakilan dan permusyawaratan” walaupun dalam beberapa kasus mengalami disfungsi dan politisasi (Siti Zuhro dkk, 2011).
Di sisi lain, banyak orang kemudian mempermasalahkan pemilu karena masih belum mampu membersihkan parlemen sebagai cawan demokrasi ini atau paling tidak mengganti isinya dengan yang lebih jernih.
Namun, sebenarnya, nalar demokrasi sosial masyarakat Indonesia sejak awal republik ini telah menerima pemilu sebagai sebuah konstitusionalisasi aspirasi.
Khalayak umum mungkin mafhum bahwa Pemilu 1955 adalah pemilu pertama di Indonesia setelah merdeka pada 1945 sebagai pemilu yang paling demokratis.
Klaim paling demokratis ini merujuk pada jumlah dan karakter peserta pemilu yang bukan hanya diikuti oleh organisasi partai, tetapi juga paguyuban bahkan perseorangan.
Di sisi lain, klaim pemilu demokratis juga merujuk pada partisipasi publik yang masif (87,65% dari total 57.535.752 pemilih) tanpa intervensi negara alias sukarela.
Herbert Feith adalah orang yang mencatat isu di balik pemilu era Orde Lama itu dengan baik. Pemilu itu diselenggarakan di bawah Kabinet Sukiman ketika Indonesia menganut sistem ”parlementer setengah hati”.
Kompleksitas kepentingan
Fakta historis soal demokrasi elektoral itu mengonfirmasi bahwa masyarakat di daerah dalam beberapa kasus justru lebih siap menerima pelembagaan demokrasi dengan parlemen konstitusional.
Problemnya kini politik lokal mengalami kompleksitas kepentingan. Jika sejauh ini ada tiga pihak—pemerintah daerah di bawah kepala daerah, DPRD, dan swasta atau pengusaha—yang mengendalikan dan ”merawat” sumber daya secara kolektif, pada dasarnya ada empat hal lain yang menjelaskan demokrasi perwakilan dan permusyawaratan di tingkat lokal menjadi tak lagi bernyawa.
Pertama, adanya politik identitas yang sangat kuat seperti sentimen suku, agama, atau putra daerah dan pendatang.
Kedua, kehadiran kekuatan-kekuatan ekstra-parlementer yang mewujud ke dalam ak- tor kolektif dengan beberapa bentuk gerakan koersif dan intimidatif, seperti premanisme, mafia, atau kartel di setiap daerah.
Ketiga, disfungsinya tokoh-tokoh sosial seperti wali nagari, datuak, kelihan, atau kiai untuk memperkuat civic virtue atau nilai kewargaan.
Keempat, kesulitan organisasi-organisasi masyarakat sipil atau kelompok kepentingan seperti ormas dalam melakukan konsolidasi dan advokasi publik.
Semoga Pemilu 2014 menghasilkan produk yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar