SEKALIPUN ”dinasti politik”
telah lama menjadi obyek kajian politik lokal sejak beberapa tahun lalu,
baru setelah publisitas kencang soal Gubernur Banten Ratu Atut muncul
kesadaran publik atas fakta politik lokal yang mungkin tak jauh beda
kompleksitasnya dibandingkan dengan politik nasional.
Para akademisi Barat
(Indonesianis) pun membahas fenomena politik di sejumlah daerah ini karena
politik nasional tidak lagi menunjukkan ”keunikan”.
Justru daerahlah yang banyak
menunjukkan ”anomali” demokrasi. Pertanyaannya di mana parlemen lokal kita?
Lembaga legislatif, yang
bertugas merancang peraturan daerah, menyetujui, dan mengawasi anggaran,
serta pengawasan secara keseluruhan, ternyata sering abai terutama pada
fungsi pengawasan.
Hanya pada kasus mantan Bupati
Garut Aceng Fikri peran DPRD muncul dalam proses panjang pemakzulan.
Konstitusi (Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004) bahkan melembagakan relasi DPRD-kepala daerah ke dalam 12
diktum (Pasal 25, 27, 29, 35, dan 42) dari kebijakan daerah, peraturan
daerah, pengawasan, dinamika jabatan kepala daerah seperti kekosongan dan
pemberhentian hingga hubungan internasional.
Muka
lama
Di sisi lain melihat wajah
parlemen di media massa kita seperti dihadapkan pada adagium baru soal
demokrasi ”perwakilan dan permusyawaratan” Indonesia: mudah berdebat,
tetapi sulit bersepakat.
Hasil Pemilu 2014 pun tampaknya
juga bakal mirip dengan parlemen kita kini khususnya di level nasional.
Hasil kajian Pol-Tracking
Institute menunjukkan bahwa dari 6.607 calon anggota legislatif nasional
(daftar calon tetap) yang ditetapkan KPU untuk berkontestasi menuju Pemilu
2014 hampir semua (91 persen) anggota dewan petahana (2009-2014) yang
kembali mencalonkan diri dan menempati nomor urut puncak.
Potensi keterpilihan para caleg
petahana ini cukup besar karena tiga hal.
Pertama, caleg petahana mendapatkan
”bantuan” negara untuk bertemu pemilih melalui dana aspirasi ketika reses.
Kedua, caleg petahana memperoleh
limpahan suara dari pemilih yang hanya mencoblos nama/lambang partai karena
kebanyakan partai akan melimpahkan ke nomor urut puncak.
Ketiga, publik-pemilih kita
cenderung melihat figur/sosok dalam representasi sosiolo- gis (kekerabatan,
suku, agama, dan lain-lain) atau psikologis (muda, tampan, cantik, menawan,
dan lain-lain) dibandingkan dengan pilihan rasional seperti kinerja dan
produktivitas.
Akhirnya, demokrasi perwakilan
dan permusyawaratan kita adalah sebuah repetisi simbolik, padahal demokrasi
”perwakilan dan permusyawaratan” sudah ada sebelum terlembaganya model
demokrasi ini dalam konstitusi.
Sebagai contoh, lembaga
ninik-mamak di Minangkabau sebagai forum musyawarah-mufakat para tetua, bate-salapanga di
Gowa (kerajaan Makassar) sebagai pemangku perwalian rakyat, adek-pitudiBone
(kerajaan Bugis), atau Puang ri Wajoyang memangku kedaulatan
rakyat Tana Wajo.
Di Bali terdapat paruman yang
menjadi forum musyawarah oleh para ketua adat Bali (kelihan/bendesa) yang
dipilih masyarakat.
Lembaga-lembaga di tingkat lokal
ini justru mampu mengampu asas-asas ”perwakilan dan permusyawaratan”
walaupun dalam beberapa kasus mengalami disfungsi dan politisasi (Siti
Zuhro dkk, 2011).
Di sisi lain, banyak orang
kemudian mempermasalahkan pemilu karena masih belum mampu membersihkan
parlemen sebagai cawan demokrasi ini atau paling tidak mengganti isinya
dengan yang lebih jernih.
Namun, sebenarnya, nalar
demokrasi sosial masyarakat Indonesia sejak awal republik ini telah
menerima pemilu sebagai sebuah konstitusionalisasi aspirasi.
Khalayak umum mungkin mafhum
bahwa Pemilu 1955 adalah pemilu pertama di Indonesia setelah merdeka pada
1945 sebagai pemilu yang paling demokratis.
Klaim paling demokratis ini
merujuk pada jumlah dan karakter peserta pemilu yang bukan hanya diikuti
oleh organisasi partai, tetapi juga paguyuban bahkan perseorangan.
Di sisi lain, klaim pemilu
demokratis juga merujuk pada partisipasi publik yang masif (87,65% dari
total 57.535.752 pemilih) tanpa intervensi negara alias sukarela.
Herbert Feith adalah orang yang
mencatat isu di balik pemilu era Orde Lama itu dengan baik. Pemilu itu
diselenggarakan di bawah Kabinet Sukiman ketika Indonesia menganut sistem
”parlementer setengah hati”.
Kompleksitas
kepentingan
Fakta historis soal demokrasi
elektoral itu mengonfirmasi bahwa masyarakat di daerah dalam beberapa kasus
justru lebih siap menerima pelembagaan demokrasi dengan parlemen
konstitusional.
Problemnya kini politik lokal
mengalami kompleksitas kepentingan. Jika sejauh ini ada tiga
pihak—pemerintah daerah di bawah kepala daerah, DPRD, dan swasta atau
pengusaha—yang mengendalikan dan ”merawat” sumber daya secara kolektif,
pada dasarnya ada empat hal lain yang menjelaskan demokrasi perwakilan dan
permusyawaratan di tingkat lokal menjadi tak lagi bernyawa.
Pertama, adanya politik
identitas yang sangat kuat seperti sentimen suku, agama, atau putra daerah
dan pendatang.
Kedua, kehadiran
kekuatan-kekuatan ekstra-parlementer yang mewujud ke dalam ak- tor kolektif
dengan beberapa bentuk gerakan koersif dan intimidatif, seperti premanisme,
mafia, atau kartel di setiap daerah.
Ketiga, disfungsinya tokoh-tokoh
sosial seperti wali nagari, datuak, kelihan, atau kiai untuk
memperkuat civic virtue atau nilai kewargaan.
Keempat, kesulitan
organisasi-organisasi masyarakat sipil atau kelompok kepentingan seperti
ormas dalam melakukan konsolidasi dan advokasi publik.
Semoga Pemilu 2014 menghasilkan produk yang lebih baik.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar