Pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim dan peningkatan
permukaan air laut telah mengancam keberlanjutan kota-kota pesisir,
termasuk di Indonesia. Padahal 50 persen atau 47 kota dari jumlah total
kota di Indonesia merupakan kota pesisir, dengan rincian 5 kota
metropolitan, 5 kota besar, 32 kota sedang, dan 5 kota kecil.
Nusantara,
kata yang menggambarkan dengan jelas Indonesia sebagai negeri kepulauan
dengan karakteristik utama kota-kota pesisir di Indonesia. Namun pemahaman
mengenai pembangunan kota pesisir telah lama ditinggalkan seiring dengan
melemahnya wawasan terhadap negeri kepulauan yang beralih ke konsep kota
daratan.
Kota
pesisir tumbuh secara signifikan dalam kurun satu abad terakhir, yang
berakar dari faktor geografis dan sejarah. Perkembangan kota pesisir di
Tanah Air selalu berawal dari pelabuhan dan kawasan pesisir yang menjadi
pusat kegiatan perdagangan dan pemerintahan kota. Kota pesisir telah
menjadi bagian dari rute dan pintu gerbang perdagangan internasional,
pertukaran budaya bangsa, dan lambang kemakmuran bangsa serta kesejahteraan
rakyat, sehingga memainkan peran ekonomi dan sosio-budaya yang penting
dalam perkembangan budaya Nusantara.
Kawasan
pesisir menjadi beranda dari kegiatan masyarakat di Indonesia yang umumnya
menjadi pusat aglomerasi ekonomi kawasan sekitar dalam bentuk pelabuhan
sebagai pasar atau lokasi transaksi ekonomi. Kota pesisir memiliki
aksesibilitas yang baik, sehingga berpotensi menjadi pusat perdagangan,
jasa industri, dan pariwisata. Namun kota pesisir juga memiliki kerentanan
bencana yang paling besar.
Akibat
pembangunan kota yang tak berkelanjutan, kota-kota pesisir mengalami
banjir, abrasi pantai, intrusi air laut, limpasan air laut akibat kenaikan
permukaan air laut, dan penurunan muka tanah. Hal ini diperparah oleh
kerusakan habitat dan ekosistem kawasan pesisir, pencemaran oleh sampah dan
limbah ke tepi pantai, eksploitasi sumber daya laut secara berlebihan,
serta konversi kawasan lindung pantai untuk penggunaan lain.
Ada
10 langkah dalam pengembangan kota hijau pesisir, yakni peningkatan nilai
kota dengan menjaga serta melestarikan ekosistem dan kawasan lindung
pantai, identifikasi bencana alam, penerapan penilaian yang komprehensif
untuk kawasan dan tapak pesisir yang akan dikembangkan, peningkatan standar
kelayakan untuk bangunan dan konstruksi yang akan dibangun di sepanjang
pesisir, serta adopsi contoh terbaik dalam pengembangan kota pesisir.
Selanjutnya,
pemberian insentif berbasis pasar untuk meningkatkan pembangunan kota yang
layak huni, memperhatikan isu sosial dan ekonomi, penyelarasan hak akses
publik dan hak privat, pemeliharaan sumber air baku yang ada, serta
berkomitmen dalam mengembangkan kota hijau pesisir sesuai dengan UU Nomor
26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Berdasarkan
UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, sistem penyelenggaraan
penataan ruang menempatkan penataan ruang sebagai acuan pembangunan
sektoral dan wilayah. Pendekatan sistem dilakukan dalam penataan ruang dan
tidak sekadar perencanaan tata ruang wilayah, melainkan basis untuk
pengembanganprogram kota yang kreatif dan inovatif.
Karena
itu, perlu kesinambungan proses perencanaan, perancangan, pemrograman
hingga implementasi nyata dalam penataan ruang kota pesisir, dari Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Detail Penataan Ruang (RDTR), Rencana
Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL), dan Peraturan Zonasi (PZ) pada kawasan
pesisir (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20 Tahun 2011). Prinsip
penataan kawasan pesisir meliputi pemanfaatan lahan yang memiliki
penghubung antara kawasan daratan dan laut, konservasi kawasan lindung
pantai, dan penataan fungsi publik pada area yang berdampingan dengan
pantai. Sedangkan hunian berada di dataran yang lebih tinggi.
Perlu
pendekatan terpadu dalam penghematan energi fosil dan pengembangan energi
terbarukan, serta penyediaan RTH kawasan pantai yang memadai. RTH yang tersebar
merata di kota berfungsi sebagai daerah resapan air dan paru-paru kota.
Keberadaan hutan bakau yang luas dan memanjang akan meredam abrasi pantai,
mencegah intrusi air laut, dan menghalau limpasan air laut, serta
melestarikan keanekaragaman hayati ekosistem mangrove dan pantai.
Kota
harus mengelola dan mengolah keterbatasan ketersediaan air bersih secara
bijak dengan merehabilitasi saluran air (ekodrainase), merevitalisasi
waduk, setu, dan embung; menormalisasi kali dan merelokasi warga di tepi
bantaran kali dan waduk; serta mengajak warga membuat sumur resapan air di
halaman rumah masing-masing. Kebijakan perencanaan dan desain kota harus
selaras dengan penataan dan pengelolaan bangunan yang terpadu dengan
mobilitas yang ramah lingkungan, pengolahan sampah, kemitraan pemerintahan
kota dan masyarakat, serta dukungan finansial yang kuat.
Menyelamatkan
kota-kota pesisir di Tanah Air yang tengah mengalami defisit ekologis dan
menuju bunuh diri ekologis perkotaan bukanlah pilihan, melainkan sudah
menjadi kewajiban kita bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar