Selasa, 17 Desember 2013

Perdagangan Multilateral Pasca-Bali

Perdagangan Multilateral Pasca-Bali
Agustinus Handoko  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS,  17 Desember 2013
  


KONFERENSI Tingkat Menteri Ke-9 Organisasi Perdagangan Dunia di Bali menyepakati tiga isu runding. Pasca-Bali, perdagangan dunia diyakini akan meningkat hingga 1,2 triliun dollar AS.

Ketiga muatan pokok yang disepakati sebagai Paket Bali itu adalah fasilitas perdagangan, sebagian isu runding pertanian, dan pembangunan di negara kurang berkembang. Ada 10 isu perundingan dalam tiga muatan pokok.

Fasilitas perdagangan menyepakati penyederhanaan prosedur kepabeanan dengan cara mengurangi biaya, meningkatkan kecepatan, dan meningkatkan efisiensi di negara berkembang dan kurang berkembang. Penyederhanaan prosedur kepabeanan dan birokrasi lainnya akan membuat perdagangan lebih mudah, cepat, dan murah.

Dalam muatan ini, terjadi kesepakatan bahwa negara maju akan membantu meningkatkan kapasitas perdagangan negara berkembang dan negara miskin. Ini antara lain dilakukan dengan meningkatkan luas dan layanan infrastruktur pelabuhan.

Hasil riset WTO menunjukkan, setiap pengurangan biaya antara 10 persen dan 15 persen di setiap negara akan mendorong keuntungan perekonomian dunia antara 400 miliar dollar AS dan 1 triliun dollar AS.

Muatan kedua terkait dengan sebagian isu perundingan pertanian yang terdiri dari tiga proposal, yakni dua proposal dari anggota G-20 dan satu proposal dari G-33. Indonesia masuk dalam kedua kelompok itu. Proposal dari G-20 mengatur tariff rate quota (TRQ), yakni pengenaan tarif umum terhadap produk impor yang masih sesuai kuota, dan tarif lebih tinggi terhadap impor yang sudah melebihi kuota. Proposal kedua mengatur kompetisi ekspor, yakni membebaskan produk ekspor dari kandungan subsidi.

Proposal dari G-33 mengatur stok ketahanan pangan. Konferensi Tingkat Menteri Ke-9 WTO di Bali hanya berhasil menyepakati solusi sementara terhadap proposal dari negara berkembang ini hingga tercapainya solusi permanen, paling lambat pada KTM Ke-11 atau empat tahun lagi. Solusi sementara itu menyebutkan, negara berkembang masih bisa memberi subsidi pangan untuk keperluan ketahanan pangan lebih dari 10 persen dari produksi nasional. Setiap negara WTO diminta menahan diri agar tidak membawa pengaduan terkait subsidi ketahanan pangan itu ke sidang panel sengketa WTO.

Dalam KTM di Bali, negosiasi terkait subsidi untuk keperluan ketahanan pangan itu sangat seru. India melalui G-33 yang dipimpin Indonesia mengusulkan pemberian subsidi hingga 15 persen dari produksi nasional dengan waktu tak terbatas dan harga acuan diubah dari tahun 1986-1988 menjadi tiga tahun terakhir. Di kubu seberang, Amerika Serikat menolak usulan itu karena takut subsidi bisa mendistorsi harga pasar. Amerika memberikan alternatif solusi, yakni pembatasan subsidi yang hanya empat tahun.

India tak beranjak dari tempatnya hingga menjelang berakhirnya KTM sehingga Paket Bali terancam gagal. Namun, akhirnya Paket Bali lolos setelah semua anggota WTO yang berjumlah 159 negara sepakat dengan solusi sementara dan berkomitmen menghasilkan solusi permanen dalam jangka waktu empat tahun ke depan.

Muatan ketiga Paket Bali adalah terkait dengan negara kurang berkembang (least developed countries/LDC). Kesepakatan atas LDC antara lain mengenai pembebasan tarif dan kuota (duty free quota free), penyederhanaan prosedur ekspor, fleksibilitas penyediaan jasa (service waiver), dan persoalan produk kapas. Pembebasan tarif dan kuota memberi keleluasaan kepada LDC untuk mendapatkan pembebasan tarif dan kuota. Penyederhanaan prosedur ekspor dilakukan dengan menetapkan surat keterangan asal (SKA) barang secara sederhana. Kedua pokok perundingan untuk LDC itu bertujuan meningkatkan aktivitas dagang dan ekspor dari LDC supaya perekonomian berkembang.

Fleksibilitas penyediaan jasa memberi mandat kepada negara maju dan negara berkembang untuk membuat pasar mereka fleksibel bagi penyedia jasa dari LDC. Kesepakatan mengenai kapas tercapai setelah negara maju bersedia mencabut subsidi bagi petani kapasnya dan bersedia membantu meningkatkan kapasitas LDC penghasil kapas.

Dampak

Kesepakatan terhadap Paket Bali menumbuhkan optimisme di kalangan anggota WTO bahwa mereka akan bisa menyelesaikan seluruh mandat Putaran Doha untuk merundingkan 19 hal. Putaran Doha dihasilkan dalam KTM Ke-4 di Doha, Qatar, tahun 2001.

Selain memberi mandat kepada negara anggota untuk merundingkan 19 hal, Putaran Doha juga menyepakati klausul kesepakatan tunggal (single undertaking), yakni tak ada kesepakatan apa pun sebelum semua disetujui. Selama 12 tahun, negosiasi terhadap 19 pokok perundingan itu selalu gagal hingga akhirnya Paket Bali disepakati.

Dalam jangka pendek, Paket Bali akan meningkatkan volume dan nilai transaksi perdagangan multilateral yang diatur WTO. Sebuah studi menyebutkan, nilai perdagangan dunia akan meningkat hingga 1,2 triliun dollar AS setelah KTM Ke-9. Peningkatan nilai perdagangan dunia terjadi karena akses pasar di banyak negara makin mudah sehingga nilai ekspor juga meningkat. Kondisi itu diperkirakan akan menciptakan sekitar 21 juta lapangan kerja baru, yang paling banyak akan terjadi di negara berkembang dan negara maju.

Paket Bali juga menuai kritik. Sejumlah kalangan menilai, perdagangan dunia akan semakin liberal pasca-Bali. Hanya negara-negara maju dengan daya saing tinggi yang akan mendapatkan porsi lebih banyak dari peningkatan nilai perdagangan dunia itu. Bagi negara-negara dengan penduduk besar seperti India dan China—juga Indonesia yang sudah mencapai sekitar 240 juta jiwa—pembatasan subsidi untuk ketahanan pangan bisa menimbulkan persoalan. 

Selama empat tahun ke depan, negara-negara dengan jumlah penduduk besar memang masih akan leluasa memberi subsidi untuk cadangan pangan.
Namun, jika setelah masa solusi sementara berakhir dan terjadi gagal panen sehingga produksi nasional turun, negara dengan jumlah penduduk besar akan berhadapan dengan klausul soal besaran subsidi. Kewajiban negara untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat miskin vis a vis, berhadapan secara langsung dengan aturan perdagangan multilateral yang membatasi subsidi. 

Indonesia sampai saat ini masih aman dalam soal subsidi itu karena besarannya masih di bawah 10 persen dari produksi nasional. Namun, akan lebih baik kiranya kalau masalah ketahanan pangan tidak didikte kekuatan di luar negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar