KONFERENSI Tingkat Menteri
Ke-9 Organisasi Perdagangan Dunia di Bali menyepakati tiga isu runding.
Pasca-Bali, perdagangan dunia diyakini akan meningkat hingga 1,2 triliun
dollar AS.
Ketiga muatan pokok yang
disepakati sebagai Paket Bali itu adalah fasilitas perdagangan, sebagian
isu runding pertanian, dan pembangunan di negara kurang berkembang. Ada 10
isu perundingan dalam tiga muatan pokok.
Fasilitas perdagangan
menyepakati penyederhanaan prosedur kepabeanan dengan cara mengurangi
biaya, meningkatkan kecepatan, dan meningkatkan efisiensi di negara
berkembang dan kurang berkembang. Penyederhanaan prosedur kepabeanan dan
birokrasi lainnya akan membuat perdagangan lebih mudah, cepat, dan murah.
Dalam muatan ini, terjadi
kesepakatan bahwa negara maju akan membantu meningkatkan kapasitas
perdagangan negara berkembang dan negara miskin. Ini antara lain dilakukan
dengan meningkatkan luas dan layanan infrastruktur pelabuhan.
Hasil riset WTO menunjukkan,
setiap pengurangan biaya antara 10 persen dan 15 persen di setiap negara
akan mendorong keuntungan perekonomian dunia antara 400 miliar dollar AS
dan 1 triliun dollar AS.
Muatan kedua terkait dengan
sebagian isu perundingan pertanian yang terdiri dari tiga proposal, yakni
dua proposal dari anggota G-20 dan satu proposal dari G-33. Indonesia masuk
dalam kedua kelompok itu. Proposal dari G-20 mengatur tariff rate
quota (TRQ), yakni pengenaan tarif umum terhadap produk impor yang
masih sesuai kuota, dan tarif lebih tinggi terhadap impor yang sudah
melebihi kuota. Proposal kedua mengatur kompetisi ekspor, yakni membebaskan
produk ekspor dari kandungan subsidi.
Proposal dari G-33 mengatur stok
ketahanan pangan. Konferensi Tingkat Menteri Ke-9 WTO di Bali hanya
berhasil menyepakati solusi sementara terhadap proposal dari negara
berkembang ini hingga tercapainya solusi permanen, paling lambat pada KTM
Ke-11 atau empat tahun lagi. Solusi sementara itu menyebutkan, negara
berkembang masih bisa memberi subsidi pangan untuk keperluan ketahanan
pangan lebih dari 10 persen dari produksi nasional. Setiap negara WTO
diminta menahan diri agar tidak membawa pengaduan terkait subsidi ketahanan
pangan itu ke sidang panel sengketa WTO.
Dalam KTM di Bali, negosiasi terkait
subsidi untuk keperluan ketahanan pangan itu sangat seru. India melalui
G-33 yang dipimpin Indonesia mengusulkan pemberian subsidi hingga 15 persen
dari produksi nasional dengan waktu tak terbatas dan harga acuan diubah
dari tahun 1986-1988 menjadi tiga tahun terakhir. Di kubu seberang, Amerika
Serikat menolak usulan itu karena takut subsidi bisa mendistorsi harga
pasar. Amerika memberikan alternatif solusi, yakni pembatasan subsidi yang
hanya empat tahun.
India tak beranjak dari
tempatnya hingga menjelang berakhirnya KTM sehingga Paket Bali terancam
gagal. Namun, akhirnya Paket Bali lolos setelah semua anggota WTO yang
berjumlah 159 negara sepakat dengan solusi sementara dan berkomitmen
menghasilkan solusi permanen dalam jangka waktu empat tahun ke depan.
Muatan ketiga Paket Bali adalah
terkait dengan negara kurang berkembang (least developed countries/LDC).
Kesepakatan atas LDC antara lain mengenai pembebasan tarif dan kuota (duty
free quota free), penyederhanaan prosedur ekspor, fleksibilitas penyediaan
jasa (service waiver), dan persoalan produk kapas. Pembebasan tarif dan
kuota memberi keleluasaan kepada LDC untuk mendapatkan pembebasan tarif dan
kuota. Penyederhanaan prosedur ekspor dilakukan dengan menetapkan surat
keterangan asal (SKA) barang secara sederhana. Kedua pokok perundingan
untuk LDC itu bertujuan meningkatkan aktivitas dagang dan ekspor dari LDC
supaya perekonomian berkembang.
Fleksibilitas penyediaan jasa
memberi mandat kepada negara maju dan negara berkembang untuk membuat pasar
mereka fleksibel bagi penyedia jasa dari LDC. Kesepakatan mengenai kapas
tercapai setelah negara maju bersedia mencabut subsidi bagi petani kapasnya
dan bersedia membantu meningkatkan kapasitas LDC penghasil kapas.
Dampak
Kesepakatan terhadap Paket Bali
menumbuhkan optimisme di kalangan anggota WTO bahwa mereka akan bisa
menyelesaikan seluruh mandat Putaran Doha untuk merundingkan 19 hal.
Putaran Doha dihasilkan dalam KTM Ke-4 di Doha, Qatar, tahun 2001.
Selain memberi mandat kepada
negara anggota untuk merundingkan 19 hal, Putaran Doha juga menyepakati
klausul kesepakatan tunggal (single undertaking), yakni tak ada kesepakatan
apa pun sebelum semua disetujui. Selama 12 tahun, negosiasi terhadap 19
pokok perundingan itu selalu gagal hingga akhirnya Paket Bali disepakati.
Dalam jangka pendek, Paket Bali
akan meningkatkan volume dan nilai transaksi perdagangan multilateral yang
diatur WTO. Sebuah studi menyebutkan, nilai perdagangan dunia akan
meningkat hingga 1,2 triliun dollar AS setelah KTM Ke-9. Peningkatan nilai
perdagangan dunia terjadi karena akses pasar di banyak negara makin mudah
sehingga nilai ekspor juga meningkat. Kondisi itu diperkirakan akan
menciptakan sekitar 21 juta lapangan kerja baru, yang paling banyak akan
terjadi di negara berkembang dan negara maju.
Paket Bali juga menuai kritik.
Sejumlah kalangan menilai, perdagangan dunia akan semakin liberal
pasca-Bali. Hanya negara-negara maju dengan daya saing tinggi yang akan
mendapatkan porsi lebih banyak dari peningkatan nilai perdagangan dunia
itu. Bagi negara-negara dengan penduduk besar seperti India dan China—juga
Indonesia yang sudah mencapai sekitar 240 juta jiwa—pembatasan subsidi
untuk ketahanan pangan bisa menimbulkan persoalan.
Selama empat tahun ke
depan, negara-negara dengan jumlah penduduk besar memang masih akan leluasa
memberi subsidi untuk cadangan pangan.
Namun, jika setelah masa solusi
sementara berakhir dan terjadi gagal panen sehingga produksi nasional
turun, negara dengan jumlah penduduk besar akan berhadapan dengan klausul
soal besaran subsidi. Kewajiban negara untuk memenuhi kebutuhan pangan
masyarakat miskin vis a vis, berhadapan secara langsung dengan aturan
perdagangan multilateral yang membatasi subsidi.
Indonesia sampai saat ini
masih aman dalam soal subsidi itu karena besarannya masih di bawah 10
persen dari produksi nasional. Namun, akan lebih baik kiranya kalau masalah
ketahanan pangan tidak didikte kekuatan di luar negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar