BANYAK pengamat, praktisi, dan
ahli di bidang pendidikan dan kependidikan merasa aneh, mengapa para siswa
di Indonesia termasuk dalam kategori siswa/mahasiswa paling berbahagia di
dunia? Padahal, secara paradoks, hasil pemeringkatan PISA menunjukkan para
siswa Indonesia berada pada level terendah dalam penguasaan matematika,
sains, dan literasi. Salah satu jawaban yang muncul di tengah masyarakat
kita ialah pernyataan bahwa ketidaktahuan merupakan sebuah kebahagiaan (ignorance is bliss).
Jawaban lain ditunjukkan dari
layanan pesan singkat (SMS) salah seorang kolega saya di Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Jangan-jangan, katanya, selama ini kita tidak melakukan bisnis pendidikan (education), tetapi lebih memilih
mengurusi aspek edu-tainment.
Yang penting bagaimana membuat anak-anak bahagia meskipun mereka bodoh,
agar terus bisa dibodoh-bodohi. Jadi biarkanlah anak-anak kita terus dibuai
oleh aktivitas chatting tiada
henti melalui Facebook, Twitter, dan segala macam bentuk sinetron yang
mengajarkan perilaku serba instan sehingga para siswa kita akan cepat
mengambil kesimpulan, orang bodoh di Indonesia tetap bisa hidup karena
biasanya mereka selalu dikelilingi nasib baik.
Kecurigaan lain juga bisa muncul
dari gejala lain, mengapa para siswa kita lebih berbahagia dari para siswa
di mana pun di dunia ini, yaitu mudahnya mereka memperoleh pengakuan
(ijazah) meskipun tak bekerja dan belajar dengan keras mereka pasti
berhasil. Orientasi pendidikan yang berfokus pada hasil ini membuat proses
belajar mengajar tak lagi dianggap penting, karena meskipun mereka tidak
belajar, jika ujian akhir (UN), mereka pasti `diluluskan' oleh para guru
mereka. Jadi, wajar jika para siswa di Indonesia terus merasa bahagia di
dunia ini.
Sistem instan
Secara psikologis, jelas sekali
ada paradoks yang besar antara capaian akademik yang rendah dengan rasa
bahagia ini. Biasanya seseorang akan merasa bahagia jika memper oleh
kesuksesan karena bekerja keras dan belajar secara bersungguh-sungguh.
Namun untuk anak Indonesia, karena sistem yang serbainstan sudah menjadi
keseharian, kata kerja keras dan belajar keras menjadi kehilangan
konteksnya.
Mungkin inilah yang juga bisa
menjelaskan alasan psikologis, bahwa kebahagiaan memang tidak bermula dari
hal-hal yang bersifat materialistik seperti kekayaan dan sebagainya. Menurut
Sonja Lyubomirsky, profesor jurusan psikologi di University of California yang menulis buku Myth of Happiness menyimpulkan ternyata rasa bahagia tidak
berhubungan dengan kekayaan materi, melainkan hubungan antarsesama, yaitu
melalui persahabatan, bersama pasangan, dan keluarga. Mungkinkah
persahabatan yang serba saling membantu dalam pengertian yang negatif juga
menjadi penyebab tumbuhnya kebahagiaan setiap orang?
Menjadi terang-benderang
sekarang, bahwa ketidaktahuan benar-benar akan membawa manusia Indonesia
kepada kebahagian abadi. Mereka tak perlu bekerja keras, tak perlu memiliki
determinasi untuk belajar secara tekun dan bersungguh-sungguh, karena
kepastian nasib sudah jelas: bahagia, apa pun situasi dan kondisinya. Carpe diem, dan karena itu nikmati
saja hidup ini, tak usah bekerja keras dan belajar keras. Jika memang benar
kesadaran semacam ini yang muncul di benak para siswa kita, dunia
pendidikan kita memang sedang berada pada titik nadir keterpurukannya.
Mari kita bersama-sama mengubah
haluan, dari halusinasi pendidikan yang memanjakan menjadi kesadaran yang
menghargai kerja keras dan kesungguhan dalam belajar. Kita membutuhkan
kesadaran sekaligus kesediaan para guru dan orangtua untuk terlibat secara
aktif dan bertanggung jawab terhadap masa depan pendidikan anak-anak kita
secara benar dan bertanggung jawab. Kesadaran dan kesediaan untuk bertahan
dan percaya bahwa pendidikan adalah proses investasi berjangka panjang yang
membutuhkan kesabaran, keuletan, dan kerja keras.
Dalam dunia yang padat dengan
arus teknologi digital yang serba ringkas dan cepat, dunia pendidikan
justru sebaliknya harus kita kembalikan kepada habitat budaya yang longgar,
tidak menjadikan teknologi sebagai alat sekaligus tujuan. Sesulit dan
serunyam apa pun kondisi pendidikan kita, kita harus terus memercayai bahwa
alam dan hati nurani yang bersih akan tetap mampu membimbing proses
kesadaran, kesediaan, dan kesabaran kita menuju martabat bangsa yang
menghargai kerja keras.
Berkaca pada Greg Mortenson
dalam Three Cups of Tea, di
tengah ketakutan, kegalauan, dan keputusasaan menyelimuti dengan hebat
pikiran dan perasaan Greg yang menyadari sulitnya mendidik anak-anak di
masa perang dan konflik seperti di Pakistan dan Afghanistan, justru dia
menemukan para pembelanya dari kalangan laskar Taliban dan kearifan lokal. Sungguh
tak terduga bahwa alam yang keras sekalipun dapat menyediakan begitu banyak
kebijakan dan persahabatan. Modal Greg sangat sederhana dalam membangun
kesadaran pendidikan, yaitu percaya diri dan menebarkan senyum sebanyak-banyaknya,
baik kepada siswa maupun para orangtua yang pekerjaannya adalah berperang. A smile should be more than memory. Kesadaran
dan kesediaan model Greg inilah yang patut disemai dalam pikiran kita semua
agar kita tak terjebak pada halusinasi pendidikan `cepat-saji' ala
televisi.
Ada banyak bukti yang dapat
membawa kita pada kesimpulan, bahwa bangsa ini mencintai kerja keras dan
kesungguhan untuk terus mau belajar. James Tooley (2013) dalam The Beautiful Tree: a personal journey
into how the world's poorest people are educating themselves,
mengonfirmasi beragam bentuk perlawanan masyarakat miskin terhadap sistem
pendidikan dan politik yang tidak berpihak terhadap mereka. Kehidupan ialah
soal menjaga kemungkinan untuk tetap hidup di hati dan kepala setiap orang,
dan sistem pendidikan yang baik tentu saja harus mengadopsi beragam
kemungkinan, termasuk memelihara asa dan kemungkinan anak-anak agar mau
bekerja keras dan belajar dengan sungguh-sungguh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar