Selasa, 17 Desember 2013

Ignorance is Bliss

Ignorance is Bliss
Ahmad Baedowi  ;   Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA,  16 Desember 2013

  

BANYAK pengamat, praktisi, dan ahli di bidang pendidikan dan kependidikan merasa aneh, mengapa para siswa di Indonesia termasuk dalam kategori siswa/mahasiswa paling berbahagia di dunia? Padahal, secara paradoks, hasil pemeringkatan PISA menunjukkan para siswa Indonesia berada pada level terendah dalam penguasaan matematika, sains, dan literasi. Salah satu jawaban yang muncul di tengah masyarakat kita ialah pernyataan bahwa ketidaktahuan merupakan sebuah kebahagiaan (ignorance is bliss).

Jawaban lain ditunjukkan dari layanan pesan singkat (SMS) salah seorang kolega saya di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Jangan-jangan, katanya, selama ini kita tidak melakukan bisnis pendidikan (education), tetapi lebih memilih mengurusi aspek edu-tainment. Yang penting bagaimana membuat anak-anak bahagia meskipun mereka bodoh, agar terus bisa dibodoh-bodohi. Jadi biarkanlah anak-anak kita terus dibuai oleh aktivitas chatting tiada henti melalui Facebook, Twitter, dan segala macam bentuk sinetron yang mengajarkan perilaku serba instan sehingga para siswa kita akan cepat mengambil kesimpulan, orang bodoh di Indonesia tetap bisa hidup karena biasanya mereka selalu dikelilingi nasib baik.

Kecurigaan lain juga bisa muncul dari gejala lain, mengapa para siswa kita lebih berbahagia dari para siswa di mana pun di dunia ini, yaitu mudahnya mereka memperoleh pengakuan (ijazah) meskipun tak bekerja dan belajar dengan keras mereka pasti berhasil. Orientasi pendidikan yang berfokus pada hasil ini membuat proses belajar mengajar tak lagi dianggap penting, karena meskipun mereka tidak belajar, jika ujian akhir (UN), mereka pasti `diluluskan' oleh para guru mereka. Jadi, wajar jika para siswa di Indonesia terus merasa bahagia di dunia ini.

Sistem instan

Secara psikologis, jelas sekali ada paradoks yang besar antara capaian akademik yang rendah dengan rasa bahagia ini. Biasanya seseorang akan merasa bahagia jika memper oleh kesuksesan karena bekerja keras dan belajar secara bersungguh-sungguh. Namun untuk anak Indonesia, karena sistem yang serbainstan sudah menjadi keseharian, kata kerja keras dan belajar keras menjadi kehilangan konteksnya.

Mungkin inilah yang juga bisa menjelaskan alasan psikologis, bahwa kebahagiaan memang tidak bermula dari hal-hal yang bersifat materialistik seperti kekayaan dan sebagainya. Menurut Sonja Lyubomirsky, profesor jurusan psikologi di University of California yang menulis buku Myth of Happiness menyimpulkan ternyata rasa bahagia tidak berhubungan dengan kekayaan materi, melainkan hubungan antarsesama, yaitu melalui persahabatan, bersama pasangan, dan keluarga. Mungkinkah persahabatan yang serba saling membantu dalam pengertian yang negatif juga menjadi penyebab tumbuhnya kebahagiaan setiap orang?

Menjadi terang-benderang sekarang, bahwa ketidaktahuan benar-benar akan membawa manusia Indonesia kepada kebahagian abadi. Mereka tak perlu bekerja keras, tak perlu memiliki determinasi untuk belajar secara tekun dan bersungguh-sungguh, karena kepastian nasib sudah jelas: bahagia, apa pun situasi dan kondisinya. Carpe diem, dan karena itu nikmati saja hidup ini, tak usah bekerja keras dan belajar keras. Jika memang benar kesadaran semacam ini yang muncul di benak para siswa kita, dunia pendidikan kita memang sedang berada pada titik nadir keterpurukannya.

Mari kita bersama-sama mengubah haluan, dari halusinasi pendidikan yang memanjakan menjadi kesadaran yang menghargai kerja keras dan kesungguhan dalam belajar. Kita membutuhkan kesadaran sekaligus kesediaan para guru dan orangtua untuk terlibat secara aktif dan bertanggung jawab terhadap masa depan pendidikan anak-anak kita secara benar dan bertanggung jawab. Kesadaran dan kesediaan untuk bertahan dan percaya bahwa pendidikan adalah proses investasi berjangka panjang yang membutuhkan kesabaran, keuletan, dan kerja keras.

Dalam dunia yang padat dengan arus teknologi digital yang serba ringkas dan cepat, dunia pendidikan justru sebaliknya harus kita kembalikan kepada habitat budaya yang longgar, tidak menjadikan teknologi sebagai alat sekaligus tujuan. Sesulit dan serunyam apa pun kondisi pendidikan kita, kita harus terus memercayai bahwa alam dan hati nurani yang bersih akan tetap mampu membimbing proses kesadaran, kesediaan, dan kesabaran kita menuju martabat bangsa yang menghargai kerja keras.

Berkaca pada Greg Mortenson dalam Three Cups of Tea, di tengah ketakutan, kegalauan, dan keputusasaan menyelimuti dengan hebat pikiran dan perasaan Greg yang menyadari sulitnya mendidik anak-anak di masa perang dan konflik seperti di Pakistan dan Afghanistan, justru dia menemukan para pembelanya dari kalangan laskar Taliban dan kearifan lokal. Sungguh tak terduga bahwa alam yang keras sekalipun dapat menyediakan begitu banyak kebijakan dan persahabatan. Modal Greg sangat sederhana dalam membangun kesadaran pendidikan, yaitu percaya diri dan menebarkan senyum sebanyak-banyaknya, baik kepada siswa maupun para orangtua yang pekerjaannya adalah berperang. A smile should be more than memory. Kesadaran dan kesediaan model Greg inilah yang patut disemai dalam pikiran kita semua agar kita tak terjebak pada halusinasi pendidikan `cepat-saji' ala televisi.

Ada banyak bukti yang dapat membawa kita pada kesimpulan, bahwa bangsa ini mencintai kerja keras dan kesungguhan untuk terus mau belajar. James Tooley (2013) dalam The Beautiful Tree: a personal journey into how the world's poorest people are educating themselves, mengonfirmasi beragam bentuk perlawanan masyarakat miskin terhadap sistem pendidikan dan politik yang tidak berpihak terhadap mereka. Kehidupan ialah soal menjaga kemungkinan untuk tetap hidup di hati dan kepala setiap orang, dan sistem pendidikan yang baik tentu saja harus mengadopsi beragam kemungkinan, termasuk memelihara asa dan kemungkinan anak-anak agar mau bekerja keras dan belajar dengan sungguh-sungguh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar