Penghulu
Versus Kemenag
Saiful Rohman ; Kepala KUA Kecamatan/Kabupaten Wonosobo,
Alumnus
Magister Hukum Universitas Islam Sultan Agung
|
SUARA
MERDEKA, 16 Desember 2013
KEPALA Kantor Urusan Agama (KUA) Kota
Kediri Jatim Romli tersangkut perkara dugaan gratifikasi senilai Rp 225 ribu
dari keluarga pengantin yang ia nikahkan. Kasus itu ditangani
Pengadilan Tipikor Surabaya. Adalah Irjen Kemenag M Yasin yang menganggap
uang ucapan terima kasih dari empunya hajat sebagai gratifikasi. Ring pertama
yang menjadi korban dari pendapatnya adalah penghulu atau petugas pencatat
nikah di KUA.
Sekilas pendapat M Yasin
itu seperti ada benarnya. Kenyataannya tidak, bahkan berlebihan. Bisa jadi
dia tak tahu situasi di lapangan, realitas, atau tingkat kesulitan sebelum
terjadinya sebuah akad nikah. Ia hanya tahu dari sudut pandang bahwa gratifikasi
harus dilaporkan ke KPK karena bisa jadi bertendensi suap, atau pemanfaatan
jabatan semata.
Itu nyaris sama dengan apa
yang dialami Jokowi tatkala menerima gitar bas dari Robert Trujillo, personel
Metallica. Jokowi dipusingkan oleh gitar pemberian itu yang ternyata
dipersoalkan oleh KPK dengan menganggapnya gratifikasi. Adapun penghulu di KUA
kini dipusingkan oleh pernyataan M Yasin.
Bisa jadi hal semacam itu
karena M Yasin hanya cenderung menyepakati pemeo hukum itu buta, kaku, atau
hitam putih belaka. Padahal hukum tidak buta, tidak hitam putih belaka, dan
yang jauh lebih penting dari itu semua yakni hukum adalah keadilan itu
sendiri.
Nabi Muhammad saw melarang
orang makan minum di tempat orang yang anggota keluarga atau sanak kerabatnya
baru saja meninggal dunia. Tentu larangan Rasulullah ini bukan harga mati
tapi masih bisa diintepretasikan.
Apakah larangan dari Rasulullah itu karena
berdasar hukum haram sebagaimana darah, bangkai, dan daging babi? Atau ’’hanya’’
makruh atau bahkan mubah? Di tengah orang bertakziah apa mungkin kita harus
menolak makanan dan minuman yang telah disuguhkan shahibul musibah?
Bersikap menolak bisa saja
malah menyinggung perasaan dan hati mereka. Inilah yang sesungguhnya harus
dipikirkan ulang mengingat hukum ìmenghormatiî atau hukum ìucapan terima
kasihî tidak bisa kita temui dalam hukum tertulis.
Bagaimana dengan penghulu
di KUA yang secara terang-benderang ikut ìmembantuî hajat pernikahan? Tentu
wajar kalau akhirnya shahibul hajat akan menyuguhkan makan, minum, bahkan
adakalanya menyelipkan sejumlah uang sebagai bentuk penghormatan atau
sekadar berterima kasih.
Karena itu, pendapat M
Yasin membuat gerah penghulu mengingat seperti asal pukul dalam mengeluarkan
keputusan itu. Logical frame-nya terlihat kaku dan terlalu hitam putih
melihat kasus ’’gratifikasi’’, tanpa mau memperhatikan gejolak hukum dan
gejolak sosial atas kebijakannya itu
Sekaligus menyiratkan
seperti tak mau memperhatikan keberatan penghulu di KUA, berikut berbagai
macam kesulitan di lapangan sebelum atau sesudah terjadinya akad nikah.
Akibatnya, saat ini petugas pencatat nikah merasa tidak nyaman melakukan
tugas di lapangan.
Libur
Terampas
Padahal selama ini bisa
dibilang rata-rata tiap pernikahan dilaksanakan di luar KUA, yaitu di rumah
calon mempelai, atau tempat lain yang diminta calon mempelai dan keluarganya.
Entah itu di masjid, atau resto/hotel mewah. Tidak jarang sebuah akad
pernikahan dilakukan pada Sabtu atau Minggu, hari seharusnya penghulu itu
libur. Ini artinya, hak libur petugas pencatat nikah telah terampas hanya
karena ingin memenuhi permintaan masyarakat untuk menikahkan putra atau putri
mereka.
Jadi, tetap salahkah
penghulu yang telah melakukan tugas di luar kantor sekaligus di luar jam
kantor menerima Rp 25 ribu-Rp 50 ribu sebagai bentuk ìpenghormatanî dari
keluarga mempelai? .
Aturan kebijakan
menjalankan akad itu bisa kita temui pada Pasal 21 Ayat 1 Permenag Nomor 11
Tahun 2007 yang menyebutkan akad nikah dilaksanakan di kantor (KUA). Namun
pasal selanjutnya menyebutkan bila calon pengantin dan kepala KUA sepakat
akad pernikahan itu dilakukan di luar KUA maka akad nikah itu dapat
dilaksanakan di luar kantor.
Teramat salah kaprah
apabila uang imbalan dari masyarakat yang semua mendasarkan pada hukum
penghormatan dan ucapan terima kasih harus dikategorikan gratifikasi.
Pasalnya, pemberian itu bersifat sence of social belaka, jauh dari kesan
gratifikasi sebagaimana orang yang memiliki kepentingan tertentu, semisal
berkait suap, pemberian uang pelicin atau istilah miring lain.
KPK menyatakan pemberian
uang terima kasih kepada petugas KUA, bisa dianggap gratifikasi (SM,
14/12/13). Tapi bisa saja kebijakan M Yasin diterapkan di lapangan, sembari
menunggu hasil pertemuan antara Kemenag dan Bappenas serta KPK yang
diagendakan pada Rabu, 18 Desember lusa.
Bisa jadi konsekuensinya
teramat berat sekaligus serius. Semisal nantinya pernikahan tak boleh lagi
dilakukan di rumah atau di resto/hotel sebagaimana diinginkan masyarakat,
tapi harus di KUA. Derivatnya, perlu ada fasilitas dan dana operasional
memadai (seandainya ingin mengikuti model lama).
Jika demikian, betapa amat
merepotkan penghulu atau petugas pencacat nikah dalam menjalankan tugas
karena harus merogoh uang dari kocek sendiri. Karena itulah, jika kebijakan
Irjen Kemenag hendak diteruskan maka harus dipersiapkan dana operasional yang
memadai dan kantor yang nyaman sebagai balai akad nikah bagi masyarakat.
Realitasnya kini banyak ruang KUA di Jawa yang hanya cukup untuk 4 orang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar