Minggu, 22 Desember 2013

Penghulu Versus Kemenag

Penghulu Versus Kemenag
Saiful Rohman ;   Kepala KUA Keca­matan/Kabupaten Wonosobo,
Alumnus Ma­gister Hukum Universitas Islam Sultan Agung
SUARA MERDEKA,  16 Desember 2013
  


KEPALA Kantor Urusan Agama (KUA) Kota Kediri Jatim Romli tersangkut perkara dugaan gratifikasi senilai Rp 225 ribu dari keluarga pengantin yang ia nikahkan. Kasus itu  ditangani Pengadilan Tipikor Surabaya. Adalah Irjen Kemenag M Yasin yang menganggap uang ucapan terima kasih dari empunya hajat sebagai gratifikasi. Ring pertama yang menjadi korban dari pendapatnya adalah penghulu atau petugas pencatat nikah di KUA.

Sekilas pendapat M Yasin itu seperti ada benarnya. Kenyataannya tidak, bahkan berlebihan. Bisa jadi dia tak tahu situasi di lapangan, realitas, atau tingkat kesulitan sebelum terjadinya sebuah akad nikah. Ia hanya tahu dari sudut pandang bahwa gra­tifikasi harus dilaporkan ke KPK ka­rena bisa ja­di berten­densi suap, atau pe­man­faatan jabatan semata.

Itu nyaris sama dengan apa yang dialami Jokowi tatkala menerima gitar bas dari Robert Trujillo, personel Metallica. Jokowi dipusingkan oleh gitar pemberian itu yang ternyata dipersoalkan oleh KPK dengan menganggapnya gratifikasi. Adapun penghulu di KUA kini dipusingkan oleh pernyataan M Yasin.

Bisa jadi hal semacam itu karena M Yasin hanya cenderung menyepakati pemeo hukum itu buta, kaku, atau hitam putih belaka. Padahal hukum tidak buta, tidak hitam putih belaka, dan yang jauh lebih penting dari itu semua yakni hukum adalah keadilan itu sendiri.

Nabi Muhammad saw melarang orang makan minum di tempat orang yang anggota keluarga atau sanak kerabatnya baru saja meninggal dunia. Tentu larangan Rasulullah ini bukan harga mati tapi masih bisa diintepretasikan. 

Apakah larangan dari Rasulullah itu karena berdasar hukum haram sebagaimana darah, bangkai, dan daging babi? Atau ’’ha­nya’’ makruh atau bahkan mubah? Di tengah orang bertakziah apa mungkin kita harus menolak makanan dan minuman yang telah disuguhkan shahibul musibah?

Bersikap menolak bisa saja malah menyinggung perasaan dan hati mereka. Inilah yang sesungguhnya harus dipikirkan ulang mengingat hukum ìmenghormatiî atau hukum ìucapan terima kasihî tidak bisa kita temui dalam hukum tertulis.

Bagaimana dengan penghulu di KUA yang secara terang-benderang ikut ìmembantuî hajat pernikahan? Tentu wajar kalau akhirnya shahibul hajat akan menyuguhkan makan, minum, bahkan adakalanya menye­lipkan sejumlah uang sebagai bentuk penghormatan atau sekadar berterima kasih.

Karena itu, pendapat M Yasin membuat gerah penghulu mengingat seperti asal pukul dalam mengeluarkan keputusan itu. Logical frame-nya terlihat kaku dan terlalu hitam putih melihat kasus ’’gratifikasi’’, tanpa mau memperhatikan gejolak hukum dan gejolak sosial atas kebijakannya itu

Sekaligus menyiratkan seperti tak mau memperhatikan keberatan penghulu di KUA, berikut berbagai macam kesulitan di lapangan sebelum atau sesudah terjadinya akad nikah. Akibatnya, saat ini petugas pencatat nikah merasa tidak nyaman melakukan tugas di lapangan.

Libur Terampas

Padahal selama ini bisa dibilang rata-rata tiap pernikahan dilaksanakan di luar KUA, yaitu di rumah calon mempelai, atau tempat lain yang diminta calon mempelai dan keluarganya. Entah itu di masjid, atau resto/hotel mewah. Tidak jarang sebuah akad pernikahan dilakukan pada Sabtu atau Minggu, hari seharusnya penghulu itu libur. Ini artinya, hak libur petugas pencatat nikah telah terampas hanya karena ingin memenuhi permintaan masyarakat untuk menikahkan putra atau putri mereka.

Jadi, tetap salahkah penghulu yang telah melakukan tugas di luar kantor sekaligus di luar jam kantor menerima Rp 25 ribu-Rp 50 ribu sebagai bentuk ìpenghormatanî dari keluarga mempelai? .

Aturan kebijakan menjalankan akad itu bisa kita temui pada Pasal 21 Ayat 1 Permenag Nomor 11 Tahun 2007 yang menyebutkan akad nikah dilaksanakan di kantor (KUA). Namun pasal selanjutnya menyebutkan bila calon pengantin dan kepala KUA sepakat akad pernikahan itu dilakukan di luar KUA maka akad nikah itu dapat dilaksanakan di luar kantor.

Teramat salah kaprah apabila uang imbalan dari masyarakat yang semua mendasarkan pada hukum penghormatan dan ucapan terima kasih harus dikategorikan gratifikasi. Pasalnya, pemberian itu bersifat sence of social belaka, jauh dari kesan gratifikasi sebagaimana orang yang memiliki kepentingan tertentu, semisal berkait suap, pemberian uang pelicin atau istilah miring lain.

KPK menyatakan pemberian uang terima kasih kepada petugas KUA, bisa dianggap  gratifikasi (SM, 14/12/13). Tapi bisa saja kebijakan M Yasin diterapkan di lapangan, sembari menunggu hasil pertemuan antara Kemenag dan Bappenas serta KPK yang diagendakan pada Rabu, 18 Desember lusa.

Bisa jadi konsekuensinya teramat berat sekaligus serius. Semisal nantinya pernikahan tak boleh lagi dilakukan di rumah atau di resto/hotel sebagaimana diinginkan masyarakat, tapi harus di KUA. Derivatnya, perlu ada fasilitas dan dana operasional memadai (seandainya ingin mengikuti model lama).

Jika demikian, betapa amat merepotkan penghulu atau petugas pencacat nikah dalam menjalankan tugas karena harus merogoh uang dari kocek sendiri. Karena itulah, jika kebijakan Irjen Kemenag hendak diteruskan maka harus dipersiapkan dana operasional yang memadai dan kantor yang nyaman sebagai balai akad nikah bagi masyarakat. Realitasnya kini banyak ruang KUA di Jawa yang hanya cukup untuk 4 orang.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar