Minggu, 22 Desember 2013

Mahaguru Sejati yang Menginspirasi

Mahaguru Sejati yang Menginspirasi
Christiana Retnaningsih  ;   Alumnus Program Doktor Ilmu Kedokteran/Kesehatan Universitas Diponegoro, dan Dosen Prodi Teknologi Pangan
Universitas Katolik Soegijapranata Semarang
SUARA MERDEKA,  17 Desember 2013
  


PADA Jumat pagi, 13 Desember 2013, banyak SMS masuk ke ponsel saya, mengabarkan kepergian Prof Dr dr RRJ Djokomoeljanto SpPD KEMD. Masa perziarahannya di dunia telah berakhir, dan Tuhan memanggilnya kembali ke pangkuan-Nya yang hangat. Banyak jejak mulia yang dia tinggalkan, yang memberi inspirasi banyak mahasiswa, kerabat, bahkan orang yang hanya mendengar dan belum pernah kontak langsung.

Saya meneruskan SMS itu ke banyak teman, sembari menitikkan air mata. Isyarat bahwa ia akan segera berpulang sudah terasa. Saya mengenal Prof Djoko sejak 1995, ketika memulai berkarier menjadi dosen pada Jurusan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Unika Soegijapranata Semarang.
Pada saat itu, ia Ketua Yayasan Sandjojo, lembaga yang menaungi Unika. 

Kesan kuat yang saya rasakan, ia sangat mendukung kemajuan akademik para dosen. Prestasi dosen memang sangat menentukan kemajuan dan masa depan universitasnya.

Tahun 1999 saya memutuskan untuk studi S-2 di UGM Yogyakarta. Beban domestik yang saya bawa sembari studi itu cukup berat. Ada tiga anak masih kecil yang ikut, terbesar kelas 2 SD, sedangkan si bungsu masih berusia 4 bulan, usia yang butuh asupan ASI intensif. Ini kondisi minus malum, yaitu kondisi terbaik di antara kemungkinan-kemungkinan kurang menguntungkan yang ada.

Memang ada saran untuk berbagi tanggung jawab dengan suami mengurus anak di dua kota berbeda. Bagi seorang ibu seperti saya, pilihan itu terasa lebih berat. Bukan karena tidak percaya pada suami, melainkan masalahnya ada pada diri saya. Pasti saya kepikiran  tentang anak-anak, apa pun kondisi mereka. Konsentrasi pasti  terpecah. Dengan anak di samping saya, semangat menyelesaikan studi secepat mungkin akan makin tinggi.

Saya ngudarasa tentang kondisi itu ke Prof Djoko, dan ia memaklumi pilihan saya. Dengan wajah teduh dan penuh senyum ia menyemangati,’’ Ibu pasti bisa karena Tuhan akan menolong.” 

Dua tahun kemudian, saya dan dosen Unika yang menyelesaikan S-2 dipanggil untuk bertemu dengan pengurus Yayasan Sandjojo. Kami mendapat apresiasi dari Prof Djoko. Khusus kepada saya, ia berkomentar, ”Wah, membawa anak 3 saja masih bisa cumlaude.”  Yang lebih mengejutkan, ia meminta satu copy tesis dengan dibubuhi tanda tangan saya. Perasaan membuncah karena bangga dan kecil hati, sekaligus terjadi dalam diri saya. Perasaan kecil hati itu muncul karena yang saya lakukan tidaklah seberapa dibanding penelitian-penelitian dan tulisan-tulisan Prof Djoko.

Mahaguru Sejati

Intensitas pertemuan saya dengan Prof Djoko makin tinggi ketika saya menjadi mahasiswa S-3 Ilmu Kedokteran/ Kesehatan Universitas Diponegoro. Ia mengajar mata kuliah Kedokteran Klinik. Kami sering diberinya jurnal-jurnal dan diminta menjelaskan isinya. Prof Djoko selalu melengkapi paparan kami, yang seringkali dangkal dan menggelikan. Pernah suatu ketika presentasi seorang teman mengundang tawa karena ada terjemahan ”tikus anak kecil”. Mungkin itu dari kata mice.  Prof Djoko tidak marah, hanya senyum-senyum, sembari dengan sabar melengkapi paparan teman kami.

Ada tujuh tahap yang masih harus dilalui mahasiswa S-3, setelah menyelesaikan kuliah, hingga mendapatkan gelar doktor, yaitu: (a) seminar proposal, (b) ujian proposal, (c) penelitian, (d) seminar hasil penelitian, (e) ujian kelayakan, (f) ujian tertutup,  dan (g) ujian terbuka/ ujian promosi doktor.

Dalam menjalani tahapan itu, saya dibimbing Prof Dr dr Darmono SpPD KEMD, sebagai promotor utama, serta Prof Dr Ir Y Budi Widianarko MSc, dan Prof dr Siti Fatimah Muis SpGK MSc. Adapun Prof Djoko berperan sebagai penguji.  

Banyak mahasiswa grogi karena Prof Djoko terkenal sangat detail dan perfect.  Jika mahasiswa menulis gagasan dan data sekunder tidak ada rujukannya, atau sebaliknya, sekadar menulis rujukan, tapi tidak terungkap isinya di dalam tulisan, pastilah dipertanyakan.  

Pada saat seminar dan ujian  proposal, seminar hasil penelitian, dan ujian kelayakan, ia masih bisa hadir sebagai penguji, dengan detail yang sangat mengagumkan, terlebih jika membayangkan kondisinya yang kurang sehat karena penyakit kanker. Setelah seminar hasil penelitian, saya diberi copy jurnal-jurnal terbaru dan buku.

”Ini bisa dibaca untuk melengkapi tulisan Ibu supaya lebih mendalam,” tuturnya. Saya terharu dan terpacu, karena penguji saya itu tidak sekadar menguji, namun membagikan apa yang dimilikinya. Dia mahaguru sejati. 

Dua tahap berikutnya, yaitu ujian tertutup dan ujian terbuka, Prof Djoko tidak bisa hadir untuk menguji karena dirawat di ICU RS St Elisabeth Semarang. Namun ia mengirimkan ucapan selamat via SMS ketika saya lulus.

Itu terjadi pada awal Februari 2013. Kini Prof Djoko telah berpulang ke pangkuan Tuhan. Masa peziarahannya di dunia telah meninggalkan banyak kemuliaan dan inspirasi, dalam berbagai peran yang diembannya. Selamat jalan, Prof.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar