Mahaguru
Sejati yang Menginspirasi
Christiana Retnaningsih ; Alumnus Program Doktor Ilmu Kedokteran/Kesehatan Universitas
Diponegoro, dan Dosen Prodi Teknologi Pangan
Universitas
Katolik Soegijapranata Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 17 Desember 2013
PADA Jumat pagi, 13 Desember 2013, banyak
SMS masuk ke ponsel saya, mengabarkan kepergian Prof Dr dr RRJ Djokomoeljanto
SpPD KEMD. Masa perziarahannya di dunia telah berakhir, dan Tuhan
memanggilnya kembali ke pangkuan-Nya yang hangat. Banyak jejak mulia yang dia
tinggalkan, yang memberi inspirasi banyak mahasiswa, kerabat, bahkan orang
yang hanya mendengar dan belum pernah kontak langsung.
Saya meneruskan SMS itu ke
banyak teman, sembari menitikkan air mata. Isyarat bahwa ia akan segera
berpulang sudah terasa. Saya mengenal Prof Djoko sejak 1995, ketika memulai
berkarier menjadi dosen pada Jurusan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi
Pertanian Unika Soegijapranata Semarang.
Pada saat itu, ia Ketua
Yayasan Sandjojo, lembaga yang menaungi Unika.
Kesan kuat yang saya rasakan,
ia sangat mendukung kemajuan akademik para dosen. Prestasi dosen memang
sangat menentukan kemajuan dan masa depan universitasnya.
Tahun 1999 saya memutuskan
untuk studi S-2 di UGM Yogyakarta. Beban domestik yang saya bawa sembari
studi itu cukup berat. Ada tiga anak masih kecil yang ikut, terbesar kelas 2
SD, sedangkan si bungsu masih berusia 4 bulan, usia yang butuh asupan ASI
intensif. Ini kondisi minus malum, yaitu kondisi terbaik di antara
kemungkinan-kemungkinan kurang menguntungkan yang ada.
Memang ada saran untuk
berbagi tanggung jawab dengan suami mengurus anak di dua kota berbeda. Bagi
seorang ibu seperti saya, pilihan itu terasa lebih berat. Bukan karena tidak
percaya pada suami, melainkan masalahnya ada pada diri saya. Pasti saya
kepikiran tentang anak-anak, apa pun kondisi mereka. Konsentrasi
pasti terpecah. Dengan anak di samping saya, semangat menyelesaikan
studi secepat mungkin akan makin tinggi.
Saya ngudarasa tentang
kondisi itu ke Prof Djoko, dan ia memaklumi pilihan saya. Dengan wajah teduh
dan penuh senyum ia menyemangati,’’ Ibu pasti bisa karena Tuhan akan
menolong.”
Dua tahun kemudian, saya
dan dosen Unika yang menyelesaikan S-2 dipanggil untuk bertemu dengan
pengurus Yayasan Sandjojo. Kami mendapat apresiasi dari Prof Djoko. Khusus
kepada saya, ia berkomentar, ”Wah, membawa anak 3 saja masih bisa
cumlaude.” Yang lebih mengejutkan, ia meminta satu copy tesis dengan
dibubuhi tanda tangan saya. Perasaan membuncah karena bangga dan kecil hati,
sekaligus terjadi dalam diri saya. Perasaan kecil hati itu muncul karena yang
saya lakukan tidaklah seberapa dibanding penelitian-penelitian dan
tulisan-tulisan Prof Djoko.
Mahaguru Sejati
Intensitas pertemuan saya
dengan Prof Djoko makin tinggi ketika saya menjadi mahasiswa S-3 Ilmu
Kedokteran/ Kesehatan Universitas Diponegoro. Ia mengajar mata kuliah
Kedokteran Klinik. Kami sering diberinya jurnal-jurnal dan diminta
menjelaskan isinya. Prof Djoko selalu melengkapi paparan kami, yang
seringkali dangkal dan menggelikan. Pernah suatu ketika presentasi seorang
teman mengundang tawa karena ada terjemahan ”tikus anak kecil”. Mungkin itu
dari kata mice. Prof Djoko tidak marah, hanya senyum-senyum, sembari
dengan sabar melengkapi paparan teman kami.
Ada tujuh tahap yang masih
harus dilalui mahasiswa S-3, setelah menyelesaikan kuliah, hingga mendapatkan
gelar doktor, yaitu: (a) seminar proposal, (b) ujian proposal, (c)
penelitian, (d) seminar hasil penelitian, (e) ujian kelayakan, (f) ujian
tertutup, dan (g) ujian terbuka/ ujian promosi doktor.
Dalam menjalani tahapan
itu, saya dibimbing Prof Dr dr Darmono SpPD KEMD, sebagai promotor utama,
serta Prof Dr Ir Y Budi Widianarko MSc, dan Prof dr Siti Fatimah Muis SpGK
MSc. Adapun Prof Djoko berperan sebagai penguji.
Banyak mahasiswa grogi
karena Prof Djoko terkenal sangat detail dan perfect. Jika mahasiswa
menulis gagasan dan data sekunder tidak ada rujukannya, atau sebaliknya,
sekadar menulis rujukan, tapi tidak terungkap isinya di dalam tulisan,
pastilah dipertanyakan.
Pada saat seminar dan ujian
proposal, seminar hasil penelitian, dan ujian kelayakan, ia masih bisa hadir
sebagai penguji, dengan detail yang sangat mengagumkan, terlebih jika
membayangkan kondisinya yang kurang sehat karena penyakit kanker. Setelah
seminar hasil penelitian, saya diberi copy jurnal-jurnal terbaru dan buku.
”Ini bisa dibaca untuk
melengkapi tulisan Ibu supaya lebih mendalam,” tuturnya. Saya terharu dan
terpacu, karena penguji saya itu tidak sekadar menguji, namun membagikan apa
yang dimilikinya. Dia mahaguru sejati.
Dua tahap berikutnya, yaitu ujian tertutup dan ujian terbuka, Prof Djoko
tidak bisa hadir untuk menguji karena dirawat di ICU RS St Elisabeth
Semarang. Namun ia mengirimkan ucapan selamat via SMS ketika saya lulus.
Itu terjadi pada awal
Februari 2013. Kini Prof Djoko telah berpulang ke pangkuan Tuhan. Masa
peziarahannya di dunia telah meninggalkan banyak kemuliaan dan inspirasi,
dalam berbagai peran yang diembannya. Selamat jalan, Prof. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar