BUMN Semen Indonesia (SMGR) kini
menjadi BU MN yang paling aktif membelanjakan koceknya untuk investasi.
Paska diselesaikannya dua pabrik baru dengan kapasitas masing-masing 3
juta ton per tahun di Tuban, Jawa Timur dan Birringkasi, Pangkep, Sulawesi
Selatan pertengahan tahun 2012, kini CEO Dwi Sutjipto (DS) berpacu merintis
Proyek Rembang dan Indarung VI, Sumatera Barat.
Total pabrik yang kini
dimiliki oleh manajemen SMGR terdiri 4 brand yakni Semen Gresik, Semen Padang,
Semen Tonasa dan Semen Thanglong, Vietnam. Jumlah tanur utama yang dimiliki
dan berproduksi adalah 13 unit, memiliki unit penggilingan semen 22 unit.
Pemimpin pasar semen ini juga memiliki antara lain 4 unit penggilingan
semen di luar 4 pabrik tersebut, 21 unit mesin pengemas semen, 11 pelabuhan
dan ratusan gudang yang tersebar di Indonesia. Nilai kapitalisasi SMGR
sampai dengan awal Desember 2013 ini sekitar Rp 75,92 triliun dan tahun
2012 berhasil membukukan laba bersih Rp 4,847 triliun.
Cash BUMN
tentu saja besar, karena dua proyeknya di Tuban dan Tonasa didanai dari
dana internal. Nilai investasi dua pabrik tersebut sekitar Rp 6 triliun
minimal. Total uang yang ditanamkan DS dalam bentuk investasi dan program
peningkatan kapasitas sedikitnya mencapai Rp 12 triliun sampai dengan
tahun ini.
Rencana yang dimulai
2013, BUMN ini malah merencanakan dua pabrik baru lagi dengan kapasitas
yang sama di Rembang dan Sumatera Barat. Dana yang dipersiapkan adalah Rp
3,5 triliun dari internal dan Rp 4,1 triliun dari pinjaman sindikasi.
Pabrik baru Indarung VI, Sumatera Barat itu direncanakan operasi 2015
sementara Pabrik Rembang firing-on dijadwalkan 2016. Kapasitasnya
juga identikal yakni masing-masing 3 juta ton semen per tahun.
Investasi atau Beli?
DS benar-benar CEO risk taker untuk
ukuran BOD BUMN yang biasanya safety player.
Pada tahun 2009 ketika dampak subprime mortgage belum pulih benar, doktor
manajemen jebolan UI ini malah melakukan ground-breaking Tuban IV dan Tonasa V. Kompetitor
utama SMGR yakni Indocement dan Holcim memilih tiarap menghindari eksposur
ekonomi yang turun tajam ketika itu. Insting CEO DS ternyata tajam. Setahun
kemudian investor semen dalam dan luar negeri berbondong-bondong mendeklarasikan
rencana proyek pabrik semen baru.
Pada tahun 2012, ketika
proyek-proyek kompetitor belum selesai, pabrik baru SMGR mulai berproduksi
memenuhi pasar. Pada tahun 2012, sepanjang sejarah pasar semen nasional,
kenaikan realisasi produk ini mencapai puncaknya sampai dengan 21,49
persen atau 54,96 juta ton. SMGR mendapatkan benefit dari kenaikan permintaan
semen itu sampai dengan 43,6 persen pangsa pasar. Kinerja BUMN korporasi
yang dipimpin DS ini benar-benar belum bisa dikejar para kompetitornya.
Menggawangi industri
semen sungguh tidak mudah. Waktu menjadi parameter utama yang tidak bisa
ditawar-tawar lagi. Jika pada saat yang dibutuhkan produk semen tidak ada
di pasar maka kemungkinannya dua. Harga produk yang ada naik mengikuti
hukum pasar, dan kemudian produk semen impor akan membanjiri Indonesia.
Harga sekantong semen ukuran 50 kg di Papua misalnya kini Rp 900 ribu, disebabkan
terbatasnya volume produk ini di daerah tersebut.
Padahal untuk membuat
satu pabrik baru minimal diperlukan 30 bulan berkaca pada pengalaman
pendirian pabrik SMGR di Tuban (2012). Waktu pendirian satu pabrik semen
akan semakin lama jika lokasi proyek adalah green field artinya
benar-benar lokasi baru.
Pilihan SMGR ada dua
untuk meningkatkan kapasitas, mendirikan pabrik baru atau membeli pabrik
yang sudah berproduksi. Untuk alasan ekologi, membeli pabrik di luar
Indonesia tentu saja sangat bagus. Namun dari alasan untuk mengurangi angka
pengangguran nasional atau sumber pendapatan pajak dalam negeri,
mengakuisisi pabrik luar negeri bukan jalan terbaik. Satu pabrik semen
minimal memerlukan 3.000 tenaga kerja belum termasuk dampak multiplier
ekonomi dalam spektrum luas misalnya bangkitnya usaha UMKM, UMK daerah
sekitar yang dapat menekan ribuan angka pengangguran.
Ini belum termasuk pajak
sekitar 25 persen dari total pendapatan dalam setahun yang sangat besar.
Rata-rata sebuah pabrik semen mampu mendapatkan pendapatan kotor sampai Rp
1,5 triliun per tahun sehingga pajak yang harus disetor ke negara minimal
Rp 375 miliar. Kontribusi di sektor ekonomi lainnya adalah deviden dan
keuntungan (gain) dari
nilai saham serta dana CSR kepada masyarakat sekitar.
Namun, dua-duanya kini
dilakukan oleh DS sekaligus. Dan dalam waktu singkat sejak 2009,
tambahan kapasitas SMGR adalah 8,3 juta ton setelah membeli Rp 1,5 triliun
setara 70 persen pabrik Thang Long Cement Company (TLCC) pada 18 Desember
2012 dari Ha Noi General Export
Import Joint Stock Company (Geleximco). Akuisisi TLCC oleh manajemen
SMGR menjadi milestone penting negeri ini bahwa BUMN pun
mampu go global dengan manajemen handal.
Ekonomi Lesu
Persoalannya sekarang,
nilai tukar rupiah terus menerus longsor sampai dengan 24,52 persen dari Rp
9.500 per dolar AS menjadi kini Rp 11.830. Sektor konstruksi banyak yang
meninjau ulang proyek-proyeknya, dari sisi regulator BI juga mengeluarkan
aturan baru yang mengetati uang muka kepemilikan rumah tidak boleh dari
utangan KPR. Padahal sektor properti adalah pasar utama komoditas semen
sampai dengan 75 persen. Ironisnya pada saat bersamaan, agresifitas proyek
MP3EI yang merupakan konkrit Perpres 32/2011 belum kunjung terasa. Tidak
banyak yang diharapkan dari pasar infrastruktur sebenarnya karena hanya
memberikan kontribusi 8 persen dari total penjualan semen.
Pasar suram sektor semen
sekarang semakin komplit saat BI memutuskan menaikkan suku bunga SBI
menjadi 7,5 persen (12/11/13). Langkah bank sentral menjadi antiklimaks
dari seluruh strategi perbankan yang pada umumnya menerapkan kebijakan
bunga sangat rendah. Suku bunga bank sentral Amerika Serikat misalnya kini
0,10 persen, bank sentral Eropa 0,25 persen, malah bank sentral Jepang
bertahan pada 0,02 persen.
Kapasitas semen SMGR
yang diperkirakan kini 29,8 juta ton per tahun tentu kini berada pada titik
krusial paling serius. Beban pokok 52,7 persen terhadap total pendapatan
cenderung stagnan dan membesar jika tidak mendapat kompensasi produksi dan
akan menggerogoti BUMN ini perlahan-lahan. Insting DS sekali lagi
diperlukan apakah semakin tajam membaca peta buta ekonomi nasional yang
berimplikasi langsung terhadap permintaan semen nasional.
Namun posisi SMGR sendiri kini bagai weapon yang
belum diledakkan benar-benar. Manajemen rajin menumpuk amunisi baru, menata
jaringan dan membentuk pelanggan yang loyal. Jika sewaktu-waktu ekonomi
pulih, tiba-tiba negara memerlukan semen dalam jumlah besar hanya BUMN ini
yang akan sanggup memenuhinya. Persoalannya kapan waktu itu akan datang?
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar