Senin, 16 Desember 2013

Membaca Arah Investasi SMGR

Membaca Arah Investasi SMGR
Effnu Subiyanto  ;   Pendiri Forkep, Kandidat Doktor Ekonomi Unair
HALUAN,  16 Desember 2013

  

BUMN Semen In­do­nesia (SMGR) ki­ni menjadi BU MN yang pa­ling aktif membe­lanja­kan koceknya untuk inves­tasi. Paska disele­saikannya dua pabrik baru dengan kapasitas masing-masing 3 juta ton per tahun di Tuban, Jawa Timur dan Birringkasi, Pangkep, Sula­wesi Selatan pertengahan tahun 2012, kini CEO Dwi Sutjipto (DS) berpacu merin­tis Proyek Rembang dan Indarung VI, Sumatera Barat.

Total pabrik yang kini dimiliki oleh manajemen SMGR terdiri 4 brand yakni Semen Gresik, Semen Pa­dang, Semen Tonasa dan Semen Thanglong, Vietnam. Jumlah tanur utama yang dimiliki dan berproduksi adalah 13 unit, memiliki unit penggilingan semen 22 unit. Pemimpin pasar semen ini juga memiliki antara lain 4 unit penggilingan semen di luar 4 pabrik tersebut, 21 unit mesin pengemas semen, 11 pela­buhan dan ratusan gudang yang tersebar di Indonesia. Nilai kapitalisasi SMGR sampai dengan awal De­sember 2013 ini sekitar Rp 75,92 triliun dan tahun 2012 berhasil membukukan laba bersih Rp 4,847 triliun.

Cash BUMN tentu saja besar, karena dua proyeknya di Tuban dan Tonasa didanai dari dana internal. Nilai investasi dua pabrik tersebut sekitar Rp 6 triliun minimal. Total uang yang ditanamkan DS dalam bentuk investasi dan program peningkatan kapasitas sedikitnya menca­pai Rp 12 triliun sampai dengan tahun ini.

Rencana yang dimulai 2013, BUMN ini malah merencanakan dua pabrik baru lagi dengan kapasitas yang sama di Rembang dan Sumatera Barat. Dana yang dipersiapkan adalah Rp 3,5 triliun dari internal dan Rp 4,1 triliun dari pinjaman sindikasi. Pabrik baru Indarung VI, Sumatera Barat itu direncanakan operasi 2015 sementara Pabrik Rembang firing-on  dijadwalkan 2016. Kapa­sitasnya juga identikal yakni masing-masing 3 juta ton semen per tahun.

Investasi atau Beli?

DS benar-benar CEO risk taker untuk ukuran BOD BUMN yang biasanya safety player. Pada tahun 2009 ketika dampak subprime mortgage belum pulih benar, doktor manajemen jebolan UI ini malah melakukan ground-breaking Tuban IV dan Tonasa V. Kompetitor utama SMGR yakni Indo­cement dan Holcim memilih tiarap menghindari eksposur ekonomi yang turun tajam ketika itu. Insting CEO DS ternyata tajam. Setahun kemudian investor semen dalam dan luar negeri berbondong-bondong men­deklarasikan rencana proyek pabrik semen baru.

Pada tahun 2012, ketika proyek-proyek kompetitor belum selesai, pabrik baru SMGR mulai berproduksi memenuhi pasar. Pada tahun 2012, sepanjang sejarah pasar semen na­sional, kenaikan realisasi produk ini mencapai puncak­nya sampai dengan 21,49 persen atau 54,96 juta ton. SMGR mendapatkan benefit dari kenaikan per­mintaan semen itu sam­pai dengan 43,6 persen pangsa pasar. Kinerja BUMN kor­porasi yang dipimpin DS ini benar-benar belum bisa dikejar para kompetitornya.

Menggawangi industri semen sungguh tidak mu­dah. Waktu menjadi para­meter utama yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Jika pada saat yang dibutuhkan produk semen tidak ada di pasar maka kemung­ki­nannya dua. Harga produk yang ada naik mengikuti hukum pasar, dan kemudian produk semen impor akan membanjiri Indonesia. Harga sekantong semen ukuran 50 kg di Papua misalnya kini Rp 900 ribu, disebabkan terbatasnya volume produk ini di daerah tersebut. 

Padahal untuk membuat satu pabrik baru minimal diperlukan 30 bulan berkaca pada pengalaman pendirian pabrik SMGR di Tuban (2012). Waktu pendirian satu pabrik semen akan semakin lama jika lokasi proyek adalah green field artinya benar-benar lokasi baru.

Pilihan SMGR ada dua untuk meningkatkan kapa­sitas, mendirikan pabrik baru atau membeli pabrik yang sudah berproduksi. Untuk alasan ekologi, membeli pabrik di luar Indonesia tentu saja sangat bagus. Namun dari alasan untuk mengurangi angka pengangguran nasional atau sumber pendapatan pajak dalam negeri, mengakuisisi pabrik luar negeri bukan jalan terbaik. Satu pabrik semen minimal memerlukan 3.000 tenaga kerja belum termasuk dampak multiplier ekonomi dalam spektrum luas misalnya bangkitnya usaha UMKM, UMK daerah sekitar yang dapat menekan ribuan angka pengangguran.

Ini belum termasuk pajak sekitar 25 persen dari total pendapatan dalam setahun yang sangat besar. Rata-rata sebuah pabrik semen mampu mendapatkan pendapatan kotor sampai Rp 1,5 triliun per tahun sehing­ga pajak yang harus disetor ke negara minimal Rp 375 miliar. Kontribusi di sektor ekonomi lainnya adalah deviden dan keuntungan (gain) dari nilai saham serta dana CSR kepada masya­rakat sekitar.

Namun, dua-duanya kini dilakukan oleh DS sekaligus.  Dan dalam waktu singkat sejak 2009, tambahan kapa­sitas SMGR adalah 8,3 juta ton setelah membeli Rp 1,5 triliun setara 70 persen pabrik Thang Long Cement Company (TLCC) pada 18 Desember 2012 dari Ha Noi General Export Import Joint Stock Company (Geleximco). Akuisisi TLCC oleh mana­jemen SMGR menjadi miles­tone penting negeri ini bahwa BUMN pun mampu go global dengan manajemen handal.

Ekonomi Lesu

Persoalannya sekarang, nilai tukar rupiah terus menerus longsor sampai dengan 24,52 persen dari Rp 9.500 per dolar AS menjadi kini Rp 11.830. Sektor konstruksi banyak yang meninjau ulang pro­yek-proyeknya, dari sisi regulator BI juga menge­luarkan aturan baru yang mengetati uang muka kepe­milikan rumah tidak boleh dari utangan KPR. Padahal sektor properti adalah pasar utama komoditas semen sampai dengan 75 persen. Ironisnya pada saat bersa­maan, agresifitas proyek MP3EI yang merupakan konkrit Perpres 32/2011 belum kunjung terasa. Tidak banyak yang diha­rapkan dari pasar infra­struktur sebenarnya karena hanya memberikan kontri­busi 8 persen dari total penjualan semen.

Pasar suram sektor semen sekarang semakin komplit saat BI memutuskan menaikkan suku bunga SBI menjadi 7,5 persen (12/11/13). Langkah bank sentral menjadi antiklimaks dari seluruh strategi perbankan yang pada umumnya mene­rapkan kebijakan bunga sangat rendah. Suku bunga bank sentral Amerika Seri­kat misalnya kini 0,10 persen, bank sentral Eropa 0,25 persen, malah bank sentral Jepang bertahan pada 0,02 persen.

Kapasitas semen SMGR yang diperkirakan kini 29,8 juta ton per tahun tentu kini berada pada titik krusial paling serius. Beban pokok 52,7 persen terhadap total pendapatan cenderung stag­nan dan membesar jika tidak mendapat kompensasi produksi dan akan meng­gerogoti BUMN ini perlahan-lahan. Insting DS sekali lagi diperlukan apakah semakin tajam membaca peta buta ekonomi nasional yang berimplikasi langsung terha­dap permintaan semen nasional.

Namun posisi SMGR sendiri kini bagai weapon yang belum diledakkan benar-benar. Manajemen rajin menumpuk amunisi baru, menata jaringan dan membentuk pelanggan yang loyal. Jika sewaktu-waktu ekonomi pulih, tiba-tiba negara memerlukan semen dalam jumlah besar hanya BUMN ini yang akan sang­gup memenuhinya. Per­soalan­nya kapan waktu itu akan datang?  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar