DALAM tulisan berjudul Bekal Mencari
Kerja bukan lagi Calistung (Media Indonesia, 9/12), Harris Iskandar
mengingatkan kita akan perubahan tuntutan dunia kerja. Peringatan tersebut
tepat waktu mengingat permasalahan perburuhan yang tengah kita hadapi
menjelang berakhirnya 2013. Berbagai usaha telah dan sedang dilakukan untuk
mencari pemecahan segera bagi persoalan-persoalan perburuhan itu.
Namun, kompleksitas persoalan
membuat penyelesaian jangka pendek tidaklah memadai. Persoalan bisa mereda
sesaat lalu muncul kembali dengan kepelikan yang meningkat. Mencari akar
masalah untuk mendapatkan penyelesaian jangka panjang harus dilakukan.
Perselisihan antara buruh dan
pengusaha tentang upah minimum bisa jadi muncul karena kesenjangan antara
kemampuan tenaga kerja yang ada dengan tuntutan pekerjaan. Kualitas tenaga
kerja kita terlalu rendah untuk menangani pekerjaan padat teknologi
sehingga tidak cukup produktif dan hanya layak untuk upah rendah agar
perusahaan tetap kompetitif.
Perubahan tuntutan dunia kerja
seiring dengan perkembangan teknologi sudah diperkirakan sejak lama.
Laporan Komisi Delors bentukan UNESCO telah mengingatkan bahwa
pekerjaan-pekerjaan yang sepenuhnya bersifat fisik digantikan dengan yang
lebih intelektual, lebih bersifat mental, serta dengan kerja perancangan,
pengkajian, dan pengorganisasian karena mesin akan menjadi lebih `cerdas'.“
Pernyataan ini muncul dalam laporan Komisi Delors Learning: The Treasure
Within (1996) ketika mendiskusikan learning to do, salah satu dari empat
pilar pendidikan.
Belakangan, sebuah kajian OECD,
yang dapat dibaca dalam laporan berjudul Lessons from PISA for Japan
(2012), memberikan elaborasi tentang perubahan tuntutan dunia kerja
tersebut. Menurut kajian terse but, perkembangan teknologi-khususnya
komputer--telah mengubah tuntutan dunia kerja lebih cepat daripada manusia
mengubah keterampilan dirinya. Ada dua cara teknologi memengaruhi pekerjaan
manusia, yaitu sebagai pengganti dan sebagai pelengkap. Peran teknologi
dalam menggantikan manusia kita temui berupa anjungan tunai mandiri (ATM) dan
e-toll untuk membayar tol.
Contoh teknologi melengkapi
peran manusia dapat ditemukan di lingkungan medis. Melalui jaringan
komputer, seorang dokter dapat memperoleh riwayat lengkap kesehatan
pasiennya dan mencari alternatif pengobatan. Sementara itu, peran dokter
dalam menggali informasi dari pasien, dalam menangkap pesan dari ucapan dan
bahasa tubuh pasien, tetap tidak tergantikan. Demikian pula dengan
penarikan diagnosis berdasarkan informasi dari pasien, riwayat medis
pasien, serta pengetahuan medis dan pengalaman dokter.
Pengganti pekerjaan
Secara umum, di antara pekerjaan
yang tidak tergantikan ialah pekerjaan-pekerjaan yang melibatkan komunikasi
kompleks dan berpikir pakar.
Komunikasi kompleks terjadi ketika dokter menggali informasi dari pasien atau
membaca pesan dari ucapan dan bahasa tubuh sang pasien.Berpikir pakar dilakukan dokter ketika ia menegakkan diagnosis.
Komunikasi kompleks tidak
semata-mata berarti bertukar informasi, melainkan juga membangun konteks
bersama yang memungkinkan infor masi yang dipertukarkan itu
diinterpretasikan secara spesifik. Berpikir pakar diperlukan ketika
seseorang berhadapan dengan masalah `baru' yang belum pernah ditemui atau
diantisipasi sebelumnya. Untuk masalah-masalah demikian, tidak ada
penyelesaian langsung jadi (straight
forward).
Untuk dapat menguasai pekerjaan
yang tidak tergantikan ataupun untuk bertahan terhadap kemajuan teknologi,
seseorang memerlukan landasan kemampuan yang jauh melampaui sekadar
membaca, menulis dan berhitung.
Kajian OECD memberi contoh sistem
pembakaran mesin mobil yang dikontrol komputer. Seorang montir tidak lagi
berhadapan dengan proses konkret, tetapi dengan abstraksi numerik. Ia harus
dapat menginterpretasikan hasil bacaan elektronik ke dalam proses yang
terjadi yang tidak bisa ia lihat dengan mata kepalanya. Keterampilan
prosedural berhitung saja tidak memadai untuk menghadapi tingkat abstraksi
pada analisis yang dibangkitkan oleh komputer.
Landasan kemampuan yang
melampaui calistung tidaklah sesederhana menambahkan teknologi informasi
komunikasi menjadi `calistungtik' sebagaimana yang dilakukan Iskandar.
Mengapa demikian?
Pada contoh montir di atas,
teknologi komputer telah menyebabkan perlunya kemampuan abstraksi. Akan
tetapi, tumbuhnya kemampuan abstraksi tetap dapat terjadi tanpa teknologi komputer,
bahkan bisa jadi ia merupakan penghambat. Teknologi informasi dan
komunikasi, atau secara umum teknologi komputer, lebih merupakan alat
bantu, bukan kemampuan intrinsik manusia.
Harus berubah
Dengan demikian, calistung itu
sendiri juga harus berubah. Kajian Dewan Riset Nasional di Amerika Serikat,
misalnya, menyatakan bahwa tuntutan calistung itu sudah meningkat menjadi
`berpikir dan membaca dengan kritis, menyatakan pendapat dengan jelas dan
persuasif, menyelesaikan masalahmasalah kompleks dalam sains dan matematika
(How People Learn, 2000).
Kita sepatutnya sangat khawatir
dengan pendidikan kita bila menilik hasil PISA yang juga sudah disinggung
Iskandar. Proporsi peserta siswa Indonesia yang tidak mencapai level 2
ialah 75,7% untuk matematika, 66,6% untuk sains dan 55,2% untuk membaca.
Dibandingkan dengan hasil-hasil PISA sebelumnya, pencapaian matematika
tidak banyak berubah, membaca menjadi lebih baik, sedangkan sains malahan
menurun. OECD, organisasi penyelenggara PISA, memperkirakan bahwa siswa
yang tidak mencapai level 2 pencapaian PISA akan mengalami hambatan untuk
berfungsi efektif dalam kehidupan.
Selain soal tenaga kerja,
rendahnya kemampuan da lam matematika dan sains akan membawa konsekuensi
konsekuensi lain. Penyelenggara negara, baik legislatif maupun eksekutif,
tidak me miliki kapasitas yang cukup untuk mengambil keputusan tepat
terkait sains dan teknologi. Blunder kebijakan seperti penyebab hengkangnya
dua perusahaan komponen elektronika National
Semiconductor dan Fairchild
di 1986 akan dengan mudah terulang. Selain itu, tidak tersedia cukup sumber
daya dengan keahlian memadai untuk mengembangkan sains dan teknologi.
Industri yang berbasiskan teknologi tinggi tidak berkembang dan pada
akhirnya Indonesia akan menjadi konsumen semata di pasar teknologi dunia.
Industri yang tidak berkembang akan digantikan oleh sektor informal.
Perkembangan sektor ini, yang sulit disentuh regulasi, akan menyebabkan
meningkatnya masalah sosial. Persoalanpersoalan seperti premanisme dan pedagang
kaki lima adalah bagian dari masalah ini.
Di akhir tulisannya, Iskandar
dengan sangat optimistis menyebutkan Kurikulum 2013 diperkenalkan
Kemendikbud sebagai respons yang tepat untuk persoalan rendahnya kualitas
angkatan kerja kita. Optimisme itu terlalu berlebihan.
Argumentasi berikut
hanya salah satu alasan untuk bersikap pesimistis. Hampir satu semester
Kurikulum 2013 dijalankan, kita menemukan keluhan dan kritik terhadap
kualitas buku yang disiapkan dan pelatihan yang diselenggarakan.
Buku-buku dan
pelatihan-pelatihan tersebut umumnya tidak mencerminkan penekanan pada
penalaran tingkat tinggi (higher order thinking) seperti yang disebutkan
Iskandar. Kalau para penulis buku dan pelatih yang sedikit jumlahnya saja
sudah kesulitan menangkap esensi konseptual Kurikulum 2013, apalagi guru di
lapangan yang jumlahnya jauh lebih banyak.
Bahkan, Kurikulum 2013 akan
gagal karena ia lahir dari pemikiran yang terlalu sederhana yang berlawanan
dengan kompleksitas pendidikan. Pencabutan kewenangan satuan pendidikan
untuk menetapkan kurikulumnya sendiri dan penempatan guru sebagai pelaksana
pengajaran dengan berpegang kepada buku yang telah disiapkan menjadikan
pendidikan kita seperti industri manufaktur. Sekolah menjadi tidak lebih
dari ban berjalan, sedangkan guru adalah mesin CNC (computer numerical control) yang dapat dengan mudah diprogram
ulang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar