“Untuk itu, pertama-tama, petani harus
diberdayakan agar mampu menjadi sumber kemandirian pangan nasional. Negara
mewajibkan petani melaksanakan program swasembada sejumlah komoditas
pangan. Mereka harus dijamin pendapatannya sebagai kompensasi.”
Seperti diduga banyak kalangan, hiruk-pikuk penyelenggaraan sidang tingkat
menteri World Trade Organization (WTO) di Bali pada 3-6 Desember 2013 itu
tak akan pernah menguntungkan bangsa Indonesia. Pada konferensi yang
berakhir hari ini, sudah tampak arahnya. Gelagatnya hasil sidang tetap saja
akan menguntungkan negara-negara maju dan merugikan negara berkembang.
Pada awal sidang, sudah banyak kesepakatan liberalisasi perdagangan dan
investasi yang diajukan dalam sidang. Ternyata 90 persen di antaranya
menguntungkan negara-negara modern dan kaya iptek lantaran rakyat dan
sumber daya Indonesia tak akan pernah mampu bersama-sama menikmati “pasar
bebas” tersebut.
Salah satu yang sebelum ajang WTO digelar banyak diprotes rakyat Indonesia
adalah blunder pemerintahan SBY-Budiono dalam mengawal sekaligus menelisik
butir-butir kesepakatan WTO yang jauh dari harapan publik khususnya di
bidang pertanian dan pangan, di samping impor bahan bakar minyak (BBM).
Salah satu sebab peningkatan defisit transaksi berjalan belakangan karena
derasnya produk pangan dan pertanian impor melampaui ambang psikologis
fundamental ekonomi untuk menyangganya. Urgensi seputar kemandirian pangan
bangsa yang bolak-balik dipidatokan di forum itu oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) pun berakhir antiklimaks. Sebab tak ada satu pun
yang benar-benar menjadi putusan WTO dengan “cita rasa” Indonesia!
Maka wajar apabila ajang WTO yang digelar di Bali hanya mirip pesta
negara-negara maju dan modern di mana Indonesia diprovokasi sebagai “lahan
bisnis global” pilihan dunia. Namun sesungguhnya hanya dijadikan pasar
dunia dari nnNegara-negara maju dan modern. Investasi di bidang pangan dan
pertanian, misalnya, tak ada yang memenuhi harapan petani Indonesia karena
pemerintah tak pernah serius mempersiapkan bidang tersebut sebagai basis
penanaman modal.
Sejatinya, dengan luas areal pertanian dan lahan produksi pangan terbesar
ke-3 di dunia setelah Amerika dan China, Indonesia memiliki kekuasaan
mengatur dan menjadi pemain kunci investasi pertanian, tetapi akhirnya toh
jutsru tragis. Laporan ekonom PBB, Mark Malloch Brown (2013) menyebutkan,
dominasi negara kaya terhadap negara miskin-berkembang dalam WTO telah
menghilangkan aset negara miskin-berkembang setiap tahun 50 milliar dollar
AS.
Ia menyebutkan, nasib pertanian negara dunia ketiga (termasuk Indonesia)
babak belur di tengah kompetisi global, bukan lantaran sempitnya sumber
daya alam dan malasnya petani berkompetisi, tetapi justru dikalahkan
kebijakan pemerintah sendiri dengan terus memperluas kebijakan impor pangan
dan mempersempit investasi sector pertanian (Koran Jakarta, 5/12/2013).
Maka, keliru besar jika rakyat Indonesia menolak WTO secara kelembagaan.
Sesungguhnya yang menciptakan kehancuran pertanian justru rezim saat ini.
Pertanyaannya, bagaimana sebenarnya strategi pemerintah berkuasa agar
sumber daya nasional mau dan mampu menjadi pemain pasar bebas agar secara
simultan memetik manfaat WTO tersebut?
Jaminan
Secara khusus Presiden SBY minta dibuat action plan percepatan swasembada
sejumlah bahan pangan utama yang selama ini dan untuk beberapa tahun ke
depan menjadi domain hajat hidup orang banyak. Hanya, apakah dengan road map dan action plan praktis dapat ditindaklanjuti diimplementasikan di
lapangan agar benar-benar dijalankan petani seluruh Indonesia sehingga
bukan sekadar menjadi pidato pencitraan biasa?
Pakar pertanian, Khudori (2013) menyebutkan, aneka kebijakan investasi
pertanian (khususnya industri pangan nasional) selama puluhan tahun hanya
berputar-putar pada tataran pidato. Tercatat di berbagai lembaga negara dan
pemerintahan sudah banyak konsep dan dokumen hasil kajian akademik dan
riset terapan tentang deretan kebijakan dan program yang dipersyaratkan
untuk mendukung peningkatan produksi bahan pangan dan pertanian primer lain
secara berkelanjutan, namun tidak dapat dieksekusi karena kelemahan
koordinasi antarinstansi.
Ini menciptakan ironi investasi pertanian karena kelanjutan program
revitalisasi pertanian secara lebih luas hanya menjadi wacana. Padahal di
tengah kompetisi produk pertanian antarnegara yang kian borderless and
timeless itu, pemahaman kolektif untuk mengenali sejumlah faktor dengan
dampak signifikan terhadap ketidakberdayaan Indonesia membingkai ketahanan
pangan.
Tambah lagi, investasi pertanian dari kekuatan rakyat sendiri turun dratis.
BKPM dan BPS (2013) menyebutkan, tiap tahun 5.231 petani gurem pensiun dini
karena menjual tanahnya ke investor properti.
Maka, kebijakan dan ekseskusi investasi pertanian harus menjadi agenda
utama pemerintah dengan langkah-langkah revolusioner (untuk lebih jelas
baca A Suwandi dalam Manajemen Global Petanian (2013). Dia mengemukakan
enam langkah yang harus diperhatikan seperti perubahan iklim global (global climate change) membuat cara
bertani tidak dapat lagi mengandalkan intuisi dan pengalaman empiris lama.
Atau juga perlu menerapkan teknologi pertanian ramah alam.
Maka, pemerintah harus mengupayakan jangan sampai WTO membuat KO investasi
strategis nasional khususnya sektor pertanian dan pangan. Sebab sebagai
negara dengan sumber daya alam melimpah, sangat tragis bila Indonesia
kedodoran penyediaan bahan pangan utama rakyat. Atas dasar itulah,
pemerintah harus mampu membuat petani bertindak bak investor yang
mengendalikan bahan dari hulu ke hilir.
Untuk itu, pertama-tama petani harus diberdayakan agar mampu menjadi sumber
kemandirian pangan nasional. Negara mewajibkan petani melaksanakan program
swasembada sejumlah komoditas pangan. Mereka harus dijamin pendapatannya
sebagai kompensasi.
Selama negara tidak bisa menjamin investasi, jangan pernah berharap petani
secara sukarela mengikuti anjuran negara meski mereka tahu tujuan program
tersebut sangat bagus. Jadi, pemerintah jangan terlalu puas hanya dengan
sukses menyelenggarakan pertemuan WTO. Yang lebih penting, mampu memanfaatkan
untuk rakyat kebanyakan. Jangan malah menjadi korban keberadaan WTO. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar