Sabtu, 07 Desember 2013

Menebak Arah KTM WTO

Menebak Arah KTM WTO
Tasroh ;   Kepala Bidang Kerjasama Penanaman Modal Pemkab Banyumas,
Lulusan Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang
KORAN JAKARTA,  06 Desember 2013

  

Untuk itu, pertama-tama, petani harus diberdayakan agar mampu menjadi sumber kemandirian pangan nasional. Negara mewajibkan petani melaksanakan program swasembada sejumlah komoditas pangan. Mereka harus dijamin pendapatannya sebagai kompensasi.” 

Seperti diduga banyak kalangan, hiruk-pikuk penyelenggaraan sidang tingkat menteri World Trade Organization (WTO) di Bali pada 3-6 Desember 2013 itu tak akan pernah menguntungkan bangsa Indonesia. Pada konferensi yang berakhir hari ini, sudah tampak arahnya. Gelagatnya hasil sidang tetap saja akan menguntungkan negara-negara maju dan merugikan negara berkembang.

Pada awal sidang, sudah banyak kesepakatan liberalisasi perdagangan dan investasi yang diajukan dalam sidang. Ternyata 90 persen di antaranya menguntungkan negara-negara modern dan kaya iptek lantaran rakyat dan sumber daya Indonesia tak akan pernah mampu bersama-sama menikmati “pasar bebas” tersebut. 

Salah satu yang sebelum ajang WTO digelar banyak diprotes rakyat Indonesia adalah blunder pemerintahan SBY-Budiono dalam mengawal sekaligus menelisik butir-butir kesepakatan WTO yang jauh dari harapan publik khususnya di bidang pertanian dan pangan, di samping impor bahan bakar minyak (BBM).

Salah satu sebab peningkatan defisit transaksi berjalan belakangan karena derasnya produk pangan dan pertanian impor melampaui ambang psikologis fundamental ekonomi untuk menyangganya. Urgensi seputar kemandirian pangan bangsa yang bolak-balik dipidatokan di forum itu oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun berakhir antiklimaks. Sebab tak ada satu pun yang benar-benar menjadi putusan WTO dengan “cita rasa” Indonesia!

Maka wajar apabila ajang WTO yang digelar di Bali hanya mirip pesta negara-negara maju dan modern di mana Indonesia diprovokasi sebagai “lahan bisnis global” pilihan dunia. Namun sesungguhnya hanya dijadikan pasar dunia dari nnNegara-negara maju dan modern. Investasi di bidang pangan dan pertanian, misalnya, tak ada yang memenuhi harapan petani Indonesia karena pemerintah tak pernah serius mempersiapkan bidang tersebut sebagai basis penanaman modal.

Sejatinya, dengan luas areal pertanian dan lahan produksi pangan terbesar ke-3 di dunia setelah Amerika dan China, Indonesia memiliki kekuasaan mengatur dan menjadi pemain kunci investasi pertanian, tetapi akhirnya toh jutsru tragis. Laporan ekonom PBB, Mark Malloch Brown (2013) menyebutkan, dominasi negara kaya terhadap negara miskin-berkembang dalam WTO telah menghilangkan aset negara miskin-berkembang setiap tahun 50 milliar dollar AS. 

Ia menyebutkan, nasib pertanian negara dunia ketiga (termasuk Indonesia) babak belur di tengah kompetisi global, bukan lantaran sempitnya sumber daya alam dan malasnya petani berkompetisi, tetapi justru dikalahkan kebijakan pemerintah sendiri dengan terus memperluas kebijakan impor pangan dan mempersempit investasi sector pertanian (Koran Jakarta, 5/12/2013).

Maka, keliru besar jika rakyat Indonesia menolak WTO secara kelembagaan. Sesungguhnya yang menciptakan kehancuran pertanian justru rezim saat ini. Pertanyaannya, bagaimana sebenarnya strategi pemerintah berkuasa agar sumber daya nasional mau dan mampu menjadi pemain pasar bebas agar secara simultan memetik manfaat WTO tersebut?

Jaminan 

Secara khusus Presiden SBY minta dibuat action plan percepatan swasembada sejumlah bahan pangan utama yang selama ini dan untuk beberapa tahun ke depan menjadi domain hajat hidup orang banyak. Hanya, apakah dengan road map dan action plan praktis dapat ditindaklanjuti diimplementasikan di lapangan agar benar-benar dijalankan petani seluruh Indonesia sehingga bukan sekadar menjadi pidato pencitraan biasa?

Pakar pertanian, Khudori (2013) menyebutkan, aneka kebijakan investasi pertanian (khususnya industri pangan nasional) selama puluhan tahun hanya berputar-putar pada tataran pidato. Tercatat di berbagai lembaga negara dan pemerintahan sudah banyak konsep dan dokumen hasil kajian akademik dan riset terapan tentang deretan kebijakan dan program yang dipersyaratkan untuk mendukung peningkatan produksi bahan pangan dan pertanian primer lain secara berkelanjutan, namun tidak dapat dieksekusi karena kelemahan koordinasi antarinstansi.


Ini menciptakan ironi investasi pertanian karena kelanjutan program revitalisasi pertanian secara lebih luas hanya menjadi wacana. Padahal di tengah kompetisi produk pertanian antarnegara yang kian borderless and timeless itu, pemahaman kolektif untuk mengenali sejumlah faktor dengan dampak signifikan terhadap ketidakberdayaan Indonesia membingkai ketahanan pangan. 

Tambah lagi, investasi pertanian dari kekuatan rakyat sendiri turun dratis. BKPM dan BPS (2013) menyebutkan, tiap tahun 5.231 petani gurem pensiun dini karena menjual tanahnya ke investor properti.

Maka, kebijakan dan ekseskusi investasi pertanian harus menjadi agenda utama pemerintah dengan langkah-langkah revolusioner (untuk lebih jelas baca A Suwandi dalam Manajemen Global Petanian (2013). Dia mengemukakan enam langkah yang harus diperhatikan seperti perubahan iklim global (global climate change) membuat cara bertani tidak dapat lagi mengandalkan intuisi dan pengalaman empiris lama. Atau juga perlu menerapkan teknologi pertanian ramah alam.


Maka, pemerintah harus mengupayakan jangan sampai WTO membuat KO investasi strategis nasional khususnya sektor pertanian dan pangan. Sebab sebagai negara dengan sumber daya alam melimpah, sangat tragis bila Indonesia kedodoran penyediaan bahan pangan utama rakyat. Atas dasar itulah, pemerintah harus mampu membuat petani bertindak bak investor yang mengendalikan bahan dari hulu ke hilir.

Untuk itu, pertama-tama petani harus diberdayakan agar mampu menjadi sumber kemandirian pangan nasional. Negara mewajibkan petani melaksanakan program swasembada sejumlah komoditas pangan. Mereka harus dijamin pendapatannya sebagai kompensasi. 

Selama negara tidak bisa menjamin investasi, jangan pernah berharap petani secara sukarela mengikuti anjuran negara meski mereka tahu tujuan program tersebut sangat bagus. Jadi, pemerintah jangan terlalu puas hanya dengan sukses menyelenggarakan pertemuan WTO. Yang lebih penting, mampu memanfaatkan untuk rakyat kebanyakan. Jangan malah menjadi korban keberadaan WTO.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar