Pendekatan
Represif Plus
R Widyopramono ; Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus
(Jampidsus)
Kejakgung
|
SUARA
MERDEKA, 17 Desember 2013
GERAKAN masif pemberantasan
korupsi melalui pendekatan represif, di satu sisi mendapatkan apresiasi dari
masyarakat. Realitasnya di sisi lain, tren tindak pidana korupsi dalam
beberapa tahun terakhir ini justru meningkat, baik dari segi kuantitas maupun
kualitas. Ibarat penyakit, korupsi telah mewabah pada berbagai sektor
kehidupan, bahkan terdesentralisasi ke daerah, melibatkan pejabat publik di
daerah.
Padahal
sasaran utama Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Stranas
PPK) sebagaimana amanat Perpres Nomor 55 Tahun 2012 adalah menurunkan tingkat
korupsi serta mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan terbebas dari korupsi.
Salah satu indikator keberhasilan dari sasaran utama strategi itu adalah
peningkatan indeks persepsi korupsi (IPK).
Indeks itu
merupakan agregat dari penggabungan beberapa indeks yang dihasilkan beberapa
lembaga. Indeks itu mengukur tingkat persepsi korupsi sektor publik, yakni
korupsi yang dilakukan pejabat negara dan politikus.
Tinjauan dari aspek itu
memperlihatkan pendekatan represif justru tak membawa pengaruh signifikan
terhadap IPK. Penilaian Political
and Economic Research Consultant (PERC) dan Transparency International (TI) sejak 2009 sampai saat ini
cenderung stagnan dan tak mengalami peningkatan berarti.
Menurut PERC,
tahun 2009 IPK Indonesia 8,32, tahun 2010 sebesar 9,07, tahun 2011 sebesar
9,27, dan tahun 2012 sebesar 9,27. Fenomena yang sama dirilis oleh TI yang
menilai IPK Indonesia tahun 2009 dan 2010 sebesar 2,9, tahun 2011
sebesar 3, sedangkan tahun 2012 dan tahun 2013 berada pada angka sama,
3,2.
Skor IPK
sebagaimana dirilis TI menempatkan Indonesia dalam 70% negara di dunia atau
63% negara di Asia Pasifik, yang memiliki skor IPK di bawah 5,0. Skor IPK 3,2
Indonesia menyejajarkan dengan Mesir, Republik Dominika, Ekuador dan
Madagaskar, atau peringkat ke-114 negara terkorup di dunia.
Tentu saja IPK
Indonesia sangat menyedihkan apabila dibanding negara tetangga di Asia
Tenggara. Posisi Indonesia masih di bawah rata-rata negara ASEAN, semisal
Singapura yang memiliki IPK 8,6 dan Brunei dengan IPK 6,0. Capaian skor IPK
kita sebagaimana dilaporkan TI menambah berat pencapaian target IPK 5,0 pada
2014.
Memahami
realitas itu tampaknya pendekatan represif bukanlah satu-satunya formula
ampuh. Formula lain yang penting dikembangkan adalah pencegahan. Dua formula
itu menunjukkan bahwa isu utama dalam politik kriminal pemberantasan tindak
pidana korupsi adalah membangun rezim hukum dan perundang-undangan. Ikhtiar
itu guna memperkuat upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi secara lebih
efisien dan efektif.
Untuk
memadukan antara pencegahan dan pemberantasan korupsi, kejaksaan telah
memprioritaskan pengungkapan perkara berskala besar yang sangat merugikan
kepentingan masyarakat. Kebijakan lain yang diupayakan adalah melalui
penentuan parameter penuntutan terhadap koruptor. Tolok ukur utamanya
mendasarkan pada besar kerugian negara. Parameter penuntutan itu sekaligus
memberikan batasan ìrentang kebijakanî para kajari dan kajati.
Dalam konteks
pengadaan barang dan jasa, Jampidsus meminta kajati untuk tidak melakukan
penyelidikan, baik terhadap proyek yang masih dalam tahap pelelangan maupun
proyek yang belum diserahterimakan dari pemborong kepada pejabat pembuat
komitmen (PPK) atau kuasa pengguna anggaran (KPA). Termasuk, proyek yang
masih dalam tahap pemeliharaan.
Politisasi Kasus
Kegiatan
penyelidikan bisa dilakukan apabila terdapat bukti yang cukup adanya tindak
pidana penyuapan ataupun permufakatan jahat. Itu pun mensyaratkan
kehati-hatian dan kecermatan supaya tidak terjadi bias atau kontraproduktif
dalam pelaksanaan pembangunan.
Untuk
mengeliminasi politisasi penanganan perkara korupsi, Kejakgung memerintahkan
jajarannya untuk senantiasa bertindak cermat dan memperhatikan situasi dan
kondisi sosial di masing-masing daerah. Kebijakan itu penting karena
ditengarai ada pihak tertentu yang menggunakan isu tindak pidana korupsi
untuk menjegal atau menjatuhkan lawan politik, baik pada tahap pileg,
pilkada, maupun pilpres.
Terkait
kemerebakan pungli atau korupsi pada sektor publik, kejaksaan telah memetakan
titik-titik rawan. Pemetaan itu dibarengi dengan uraian terhadap modus
operandi yang mungkin dilakukan. Upaya itu, diharapkan mempermudah pengungkapan
perkara korupsi secara cepat, tepat sasaran, dan proporsional.
Memahami
berbagai fenomena itu, upaya pemberantasan korupsi perlu diikuti upaya
pencegahan secara proporsional. Pencegahan sejatinya bertujuan mengeliminasi
berbagai penyebab terjadinya korupsi, termasuk mempersempit ruang gerak yang
memungkinkan terjadinya penyimpangan oleh aparat penegak hukum dalam
menangani perkara korupsi.
Peran aparat
penegak hukum yang berada dalam wadah institusional, menjadi penentu
efektivitas pencegahan dan pemberantasan korupsi. Keberhasilan dalam
penanggulangan korupsi, merupakan perpaduan dari pendekatan represif dan
pendekatan preventif, yang senantiasa mengedepankan kebenaran, kejujuran,
keterbukaan, dan akuntabilitas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar