Bayangan
Demokrasi “Wani Pira”
FS Swantoro ; Peneliti dari Soegeng Sarjadi Syndicate Jakarta
|
SUARA
MERDEKA, 18 Desember 2013
PELAKSANAAN Pemilu 2014 yang tinggal
beberapa bulan masih dibayang-bayangi politik uang yang kerap disebut
demokrasi wani pira (berani memberi
uang berapa).
Harus diakui demokrasi
kita masih sebatas dari rakyat, oleh rakyat, untuk pejabat, sehingga rakyat
tak pernah menikmati apa-apa. Kemerebakan kasus korupsi yang menjerat elite
politik, membuat kepercayaan rakyat terhadap parpol merosot tajam.
Survei CSIS pada April
2013 menemukan fakta bahwa mayoritas rakyat yang tidak memercayai partai
87,4%. Begitu pula survei LIPI pada Mei 2013 menyatakan kepercayaan publik
kepada partai tinggal 23,4%. Sebuah potret buram citra partai politik
menjelang Pemilu 2014. Karena itu, elite partai harus bisa mencegah korupsi
politik yang sudah menggurita pada semua lini kehidupan.
Demokrasi yang dilandasi
politik uang akan mendistorsi publik dalam berkonstitusi. Sesungguhnya
kerugian dari korupsi bukan hanya dalam bentuk uang negara yang hilang
melainkan dampak besarnya terhadap sistem ekonomi, integritas demokrasi, dan rule of law. Karena itu, perlu
membunyikan lebih keras lonceng peringatan supaya partai-partai siuman,
bangun dari tidur panjangnya.
Sebagian politikus kita
tak lebih dari orang yang memanfaatkan aji mumpung di ranah politik, atau di
eksekutif, atau yudikatif yang mereka emban. Moralitas politik mereka buruk
yakni seperti makelar yang suka mengemis kepada pengusaha atau mengais dari
proyek-proyek yang dibiayai APBN dan APBD.
Andai bukan itu, mereka
seperti preman yang suka mengancam calon korban. Bila berlatar belakang
miskin, ranah politik jadi ajang menumpang hidup sekaligus aji mumpung untuk
mencari uang dan kekayaan secara berlebihan. Praksis politik mereka didominasi
uang dari hasil korupsi atau memeras. Karenanya korupsi yang dipamerkan elite
politik sekarang, berdampak buruk atau menyinggung rasa keadilan rakyat.
Memilih
Golput
Keterbongkaran korupsi
Akil Mochtar yang menggemparkan, dengan puluhan mobil mewah dan rumah, serta
politik dinasti Gubernur Banten dengan keluarga Ratu Atut Chosiyah menguasai
proyek hingga triliunan rupiah, menunjukkan kokohnya korupsi dan kolusi
berbasis nepotisme. Dalam politik dinasti itu, Ratu Atut membajak demokrasi
menjadi lahan pengumpul rente melalui APBD untuk menopang kekuasaan
dinastinya.
Banyaknya elite politik
terseret korupsi berpengaruh pada pemilihan calon anggota legislatif,
terutama partai dengan banyak kader korup, seperti Partai Demokrat, Golkar,
PDIP, PKS dan sebagainya. Jika rakyat terus dipinggirkan seperti sekarang,
mereka akan memilih golput sebagai bentuk perlawanan terhadap partai-partai.
Alih-alih menjadi harapan bagi perubahan demokrasi, partai justru menjadi
bagian dari korupsi yang memprihatinkan.
Selain tunaetika, banyak
politikus tak paham bahwa berpolitik itu seharusnya dalam kerangka bernegara.
Bernegara adalah obsesi, jika jadi pemimpin harus amanah, dan tidak korupsi.
Bernegara juga obsesi
tidak menjadikan jabatan politik sebagai pekerjaan sampingan. Politik harus
berdasarkan etika dan moral, tidak menghalalkan segala cara, atau sekadar
siapa, mendapat berapa, kapan, dan bagaimana. Suka atau tidak suka, politik
sekarang adalah politik partai-partai.
Partai pegang peranan
penting merumuskan berbagai kebijakan untuk jalannya pemerintahan dan lembaga
negara. Partai juga terlibat dalam seleksi pengangkatan pejabat publik atau
penyelenggara negara. Partai berperan langsung menghasilkan pemimpin melalui
kontestasi nasional, sehingga wajar parpol ikut bertanggung jawab atas
berbagai karut-marut politik dan korupsi. Di sisi lain, fungsi partai telah
berubah, tidak lagi penyalur aspirasi rakyat, kontrol terhadap pemerintahan,
dan menyelesaikan konflik dalam masyarakat.
Partai tak ubahnya sarang
mafia, tempat mencari uang dan kekayaan secara berlebihan. Dengan uang mereka
membeli kekuasaan dan dengan kekuasaan mereka meraup kekayaan. Kasus Akil
Mochtar, Ratu Atut, dan Nazaruddin adalah potret kerakusan dan ketamakan
elite politik. Untuk itu, perlu menciptakan kondisi yang memungkinkan partai
berbenah diri, mewujudkan visi demi membangun negara dan bangsa.
Partai yang bervisi adalah
yang bisa mengangkat mimpi bersama mewujudkan kemakmuran bangsa. Partai harus
menumbuhkan semangat dan harapan publik untuk holopis kuntul baris
menyelesaikan persoalan bangsa. Meminjam bahasa Sukardi Rinakit (2013),
tanggung jawab utama seorang pemimpin dan elite politik adalah menggendong
rakyat. Mereka harus bisa menjadi penjuru dan sandaran bagi rakyat di
bawahnya.
Pemimpin harus menggendong
rakyat dengan kain halus bukan dengan sisa serutan bambu, mban cindhe, mban siladan. Itu cacatan
penting mengingat bila sistem demokrasi yang berhasil diperjuangkan melalui
reformasi mahasiswa 1998 tak mampu menghapus tuntas korupsi, kegagalan itu
bisa kembali mengundang sistem otoriter yang memberi janji menegakkan
pemerintahan tapi mengabaikan nilai-nilai keutamaan, kemanusiaan, dan
demokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar