Minggu, 22 Desember 2013

Bayangan Demokrasi “Wani Pira”

Bayangan Demokrasi “Wani Pira”
FS Swantoro  ;   Peneliti dari Soegeng Sarjadi Syndicate Jakarta
SUARA MERDEKA,  18 Desember 2013
  


PELAKSANAAN Pemilu 2014 yang tinggal beberapa bulan masih dibayang-bayangi politik uang yang kerap disebut demokrasi wani pira (berani memberi uang berapa).

Harus diakui demokrasi kita masih sebatas dari rakyat, oleh rakyat, untuk pejabat, sehingga rakyat tak pernah menikmati apa-apa. Kemerebakan kasus korupsi yang menjerat elite politik, membuat kepercayaan rakyat terhadap parpol merosot tajam.

Survei CSIS pada April 2013 menemukan fakta bahwa mayoritas rakyat yang tidak memercayai partai 87,4%. Begitu pula survei LIPI pada Mei 2013 menyatakan kepercayaan publik kepada partai tinggal 23,4%. Sebuah potret buram citra partai politik menjelang Pemilu 2014. Karena itu, elite partai harus bisa mencegah korupsi politik yang sudah menggurita pada semua lini kehidupan.

Demokrasi yang dilandasi politik uang akan mendistorsi publik dalam berkonstitusi. Sesungguhnya kerugian dari korupsi bukan hanya dalam bentuk uang negara yang hilang melainkan dampak besarnya terhadap sistem ekonomi, integritas demokrasi, dan rule of law. Karena itu, perlu membunyikan lebih keras lonceng peringatan supaya partai-partai siuman, bangun dari tidur panjangnya.

Sebagian politikus kita tak lebih dari orang yang memanfaatkan aji mumpung di ranah politik, atau di eksekutif, atau yudikatif yang mereka emban. Moralitas politik mereka buruk yakni seperti makelar yang suka mengemis kepada pengusaha atau mengais dari proyek-proyek yang dibiayai APBN dan APBD.
Andai bukan itu, mereka seperti preman yang suka mengancam calon korban. Bila berlatar belakang miskin, ranah politik jadi ajang menumpang hidup sekaligus aji mumpung untuk mencari uang dan kekayaan secara berlebihan. Praksis politik mereka didominasi uang dari hasil korupsi atau memeras. Karenanya korupsi yang dipamerkan elite politik sekarang, berdampak buruk atau menyinggung rasa keadilan rakyat.

Memilih Golput

Keterbongkaran korupsi Akil Mochtar yang menggemparkan, dengan puluhan mobil mewah dan rumah, serta politik dinasti Gubernur Banten dengan keluarga Ratu Atut Chosiyah menguasai proyek hingga triliunan rupiah, menunjukkan kokohnya korupsi dan kolusi berbasis nepotisme. Dalam politik dinasti itu, Ratu Atut membajak demokrasi menjadi lahan pengumpul rente melalui APBD untuk menopang kekuasaan dinastinya.

Banyaknya elite politik terseret korupsi berpengaruh pada pemilihan calon anggota legislatif, terutama partai dengan banyak kader korup, seperti Partai Demokrat, Golkar, PDIP, PKS dan sebagainya. Jika rakyat terus dipinggirkan seperti sekarang, mereka akan memilih golput sebagai bentuk perlawanan terhadap partai-partai. Alih-alih menjadi harapan bagi perubahan demokrasi, partai justru menjadi bagian dari korupsi yang memprihatinkan.

Selain tunaetika, banyak politikus tak paham bahwa berpolitik itu seharusnya dalam kerangka bernegara. Bernegara adalah obsesi, jika jadi pemimpin harus amanah, dan tidak korupsi.

Bernegara juga obsesi tidak menjadikan jabatan politik sebagai pekerjaan sampingan. Politik harus berdasarkan etika dan moral, tidak menghalalkan segala cara, atau sekadar siapa, mendapat berapa, kapan, dan bagaimana. Suka atau tidak suka, politik sekarang adalah politik partai-partai.

Partai pegang peranan penting merumuskan berbagai kebijakan untuk jalannya pemerintahan dan lembaga negara. Partai juga terlibat dalam seleksi pengangkatan pejabat publik atau penyelenggara negara. Partai berperan langsung menghasilkan pemimpin melalui kontestasi nasional, sehingga wajar parpol ikut bertanggung jawab atas berbagai karut-marut politik dan korupsi. Di sisi lain, fungsi partai telah berubah, tidak lagi penyalur aspirasi rakyat, kontrol terhadap pemerintahan, dan menyelesaikan konflik dalam masyarakat.

Partai tak ubahnya sarang mafia, tempat mencari uang dan kekayaan secara berlebihan. Dengan uang mereka membeli kekuasaan dan dengan kekuasaan mereka meraup kekayaan. Kasus Akil Mochtar, Ratu Atut, dan Nazaruddin adalah potret kerakusan dan ketamakan elite politik. Untuk itu, perlu menciptakan kondisi yang memungkinkan partai berbenah diri, mewujudkan visi demi membangun negara dan bangsa.

Partai yang bervisi adalah yang bisa mengangkat mimpi bersama mewujudkan kemakmuran bangsa. Partai harus menumbuhkan semangat dan harapan publik untuk holopis kuntul baris menyelesaikan persoalan bangsa. Meminjam bahasa Sukardi Rinakit (2013), tanggung jawab utama seorang pemimpin dan elite politik adalah menggendong rakyat. Mereka harus bisa menjadi penjuru dan sandaran bagi rakyat di bawahnya.

Pemimpin harus menggendong rakyat dengan kain halus bukan dengan sisa serutan bambu, mban cindhe, mban siladan. Itu cacatan penting mengingat bila sistem demokrasi yang berhasil diperjuangkan melalui reformasi mahasiswa 1998 tak mampu menghapus tuntas korupsi, kegagalan itu bisa kembali mengundang sistem otoriter yang memberi janji menegakkan pemerintahan tapi mengabaikan nilai-nilai keutamaan, kemanusiaan, dan demokrasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar