PEMIMPIN untuk rakyat.
Ungkapan yang sering dilontarkan itu menjadi klise bukan karena dengan
sendirinya merupakan kenyataan, melainkan justru lantaran jarang menjadi
kenyataan di era pilkada ini. Dalam diskusi Kompas-LMI bertajuk
”Kepemimpinan yang Berakar pada Rakyat”, ungkapan tersebut menemukan
aktualitasnya pada kesaksian Bupati Bantaeng (Sulawesi Selatan) Nurdin
Abdullah, selaku salah satu pembicara.
Nurdin tak pernah bermimpi
menjadi bupati. Ia menetapkan maju dalam pemilihan dua bulan sebelum
pendaftaran. Tak punya persiapan, tak menjadi anggota partai politik, ia
menyerah untuk maju setelah 3.000 orang datang di kantornya membujuk supaya
bersedia dipilih jadi bupati.
Nurdin menang, tetapi stres
setelah diangkat jadi bupati. ”Setiap saya perkenalkan diri, semua bertanya
di mana Bantaeng,” katanya. ”Akhirnya, untuk tidak repot, saya bilang
Bantaeng itu di Banten. Selesai.”
Bantaeng adalah kota tertua di
Sulawesi Selatan. Pada zaman keresidenan, di sinilah pusat pemerintahan
Belanda. Berada di kaki Pulau Sulawesi, di depan Bantaeng ada pelayaran
internasional. Posisi inilah yang membuat Belanda menempatkan pusat
pemerintahan di sini.
Setelah itu Bantaeng
terbengkalai. Puluhan tahun. Dan inilah persoalan yang dihadapi sang Bupati
pada hari pertama pelayanannya: kemiskinan, pengangguran, dan bencana yang
silih berganti. Kematian ibu melahirkan, 15-20 orang setiap tahun, karena
terlambat ditolong.
Kasus meninggal karena penyakit
lingkungan, seperti diare, 47 persen setiap tahun. Saban hujan turun dua
jam saja, Bantaeng tenggelam. Timnya mengumpulkan data untuk merumuskan
yang harus dilakukan. ”Mereka ingin saya jadi bupati dan, saya kira, ini
yang membuat saya jadi berat untuk tak berbuat bagi masyarakat,” katanya.
Lima tahun Nurdin membuka
rumahnya 24 jam dalam sehari semalam. Setiap hari ia menerima tak kurang
dari 100 orang yang datang mengadukan persoalan mereka. Yang paling berat
ia hadapi selaku Bupati adalah orangtua yang tidak cukup duit mengawinkan
anak, sementara pinangan telanjur diterima.
Persoalan puluhan tahun
Bantaeng tumbuh 74 persen dari
sektor pertanian, tetapi hampir semua lahan ditinggal. Banyak penduduk
merantau ke Malaysia atau berkebun di Makassar dan beberapa kota di
Sulawesi Selatan. Muncul persoalan ibu berstatus janda karena suami pergi
3-4 tahun tanpa kabar.
Bantaeng sebagai kota
berpenduduk sekitar 200.000 orang tak menjadi daya tarik untuk investasi
karena infrastruktur rendah. Jalan-jalan kecil. Selokan bukan untuk saluran
air, melainkan tempat pembuangan sampah.
APBD-nya rendah. Pada tahun
pertama pelayanannya sebagai Bupati, APBD Bantaeng berangkat dari Rp 260
miliar, sementara gaji pegawai dan belanja pegawai 72 persen. Banyak
program yang mereka luncurkan, tetapi karena APBD sangat rendah, mereka
harus berhemat bagaimana uang kecil ini digunakan.
Belanja pegawai yang 72 persen
diturunkan. Ternyata untuk lima hari kerja, pemerintah harus menyiapkan Rp
18 miliar untuk makanan dan minuman pegawai. Waktu kerja dikembalikan ke
enam hari kerja dan Rp 18 miliar bisa dihemat.
Secara bertahap Nurdin dan
timnya memperbaiki keadaan pedesaan. APBD dari tahun ke tahun diserap ke
desa: ”Kita membangun Bantaeng dari desa.” Desa dibuat menjadi sebuah daya
tarik dan kota menjadi sebuah kawasan yang menarik untuk investasi. Setelah
pemerintahannya berjalan tiga tahun, ia membangun kemitraan dengan sejumlah
kalangan dan Bantaeng sudah mulai menjadi daya tarik.
Rakyat mulai mencintai desa
karena sudah punya daya tarik. Persoalan air, benih, dan pupuk diatasi.
Selama ini, apabila hendak bertanam dan memupuk, petani bergantung kepada
rentenir. Untuk mengatasi ini, pemerintah meluncurkan program Rp 3 miliar
kepada dinas koperasi untuk memberikan kredit tanpa bunga, tanpa agunan. Ia
bentuk badan usaha milik desa untuk menangani persoalan pascapanen dan
menyiapkan beragam kebutuhan petani. APBD diluncurkan dalam bentuk bantuan
sosial. Satu desa satu mobil pikap dan ini tidak dikuasai kepala desa,
tetapi oleh masyarakat dan dikelola badan usaha milik desa. Ini semua
membuat geliat ekonomi yang luar biasa.
Beberapa desa selama ini punya
potensi yang sangat besar, tetapi akses jalan tidak ada. Sekarang jalan
desa di hampir seluruh pelosok Bantaeng sudah diaspal. Dengan itu, produk
mereka mudah dipasarkan ke kota, bahkan sampai Kalimantan.
Pesisir di Bantaeng sebelumnya
merupakan kantong kemiskinan. Dengan panjang 22 kilometer, pesisir kini
menjadi tempat pengembangan rumput laut dengan lapangan kerja yang sangat
padat karya.
Dataran rendah dikembangkan
sebagai pusat pembibitan. Dataran tinggi
dikembangkan sebagai pusat
sayur-mayur. Sejak empat tahun lalu, Bantaeng bekerja sama dengan kelompok
tani di Batu (Jawa Timur) hingga berhasil mengembangkan apel. Apel dan
stroberi Bantaeng sekarang menjadi salah satu pusat agrowisata di Sulawesi
Selatan. Komoditas lain, talas safira, diekspor ke Jepang.
Dari ICCU ke belajar jalan
Bantaeng pada 2008 masuk dalam
jajaran 199 daerah tertinggal. Sekarang ceritanya lain. Diibaratkan
manusia, pada 2008, Bantaeng masuk ICCU, kini sudah mulai belajar jalan.
Dulu orang melihat Bantaeng
sebelah mata: orang lewat Bantaeng tidak pernah menanyakan apakah sudah
sampai di Bantaeng, selalu mengatakan Bulukumba dan Jeneponto. Sekarang
setiap Sabtu orang berpikir hendak ke Bantaeng; hotel milik pemerintah
daerah sudah berdiri. Bantaeng kini juga sudah memiliki resor. Dulu, saban
pagi, orang pakai sarung jongkok di sepanjang pesisir. Kini sepanjang
pesisir menjadi pusat kuliner dan sangat hidup di waktu malam. Itulah hasil
reklamasi dari uang kecil yang dihemat.
Karena angka kematian ibu
melahirkan dan angka kematian penyakit lingkungan tinggi, pada 2009 muncul
gagasan melayani kesehatan masyarakat dengan cepat dengan membangun
brigadir siaga bencana. Di dalam brigadir siaga bencana itu tersua
pelayanan kesehatan prima. Orang di Bantaeng tidak lagi takut sakit karena
ada pelayanan prima. Tidak perlu pakai kartu atau asuransi.
Cukup menelepon
113, dokter dan perawat akan datang. Di sini bukan pasien yang mencari
dokter, melainkan dokter mencari pasien.
Nurdin menyebutkan, untuk
pelayanan kesehatan ini, 1 sen pun tidak keluar dari APBD. Itu semua hasil
memulung ke Jepang dengan mendatangkan mobil ambulans bekas dari sana.
Mobil ambulans hasil memulung itu jauh lebih bagus dibandingkan mobil hasil
pengadaan daerah. Mobil pengadaan daerah biasanya pikap yang dimodifikasi
jadi ambulans, menyusahkan orang membedakan mana ambulans mana mobil
jenazah.
Pemerintah Kabupaten Bantaeng
berinisiatif membangun rumah sakit kota metro meski ini melawan kebijakan
pemerintah provinsi. Banyak yang menganggap gagasan ini gila, tetapi sang
Bupati berpendapat kapan orang daerah bisa menikmati fasilitas setingkat
rumah sakit kota metro. Saat ini rumah sakit sudah selesai delapan lantai,
sementara beberapa dokter sedang dimagangkan di Jepang. Rumah sakit ini
akan bekerja sama dengan beberapa rumah sakit.
Langkah-langkah yang dikisahkan
di atas sekarang sudah bisa dilihat hasilnya dari beberapa indikator. Pertumbuhan
ekonomi pada 2008 adalah 5,3 persen, pada 2012 sudah 8,9 persen, di atas
pertumbuhan ekonomi Provinsi Sulawesi Selatan. Angka kemiskinan turun dari
12,12 persen menjadi 7,57 persen; pengangguran turun dari 12 persen menjadi
3,7 persen. Pendapatan per kapita hampir 2-3 kali lipat lebih baik.
Bupati Bantaeng ini
memperlihatkan jenis kepemimpinan yang jarang di Indonesia. Ia tipe yang
menghasilkan, bukan dari jenis yang menghabiskan, dan menjadikan rakyatnya
punya harga diri. Ini yang tak dilakukan sebagian besar pemimpin di
Republik ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar