Selasa, 10 Desember 2013

Pemimpin untuk Rakyat

Kepemimpinan yang Berakar pada Rakyat
Pemimpin untuk Rakyat
KOMPAS,  10 Desember 2013



PEMIMPIN untuk rakyat. Ungkapan yang sering dilontarkan itu menjadi klise bukan karena dengan sendirinya merupakan kenyataan, melainkan justru lantaran jarang menjadi kenyataan di era pilkada ini. Dalam diskusi Kompas-LMI bertajuk ”Kepemimpinan yang Berakar pada Rakyat”, ungkapan tersebut menemukan aktualitasnya pada kesaksian Bupati Bantaeng (Sulawesi Selatan) Nurdin Abdullah, selaku salah satu pembicara.

Nurdin tak pernah bermimpi menjadi bupati. Ia menetapkan maju dalam pemilihan dua bulan sebelum pendaftaran. Tak punya persiapan, tak menjadi anggota partai politik, ia menyerah untuk maju setelah 3.000 orang datang di kantornya membujuk supaya bersedia dipilih jadi bupati.

Nurdin menang, tetapi stres setelah diangkat jadi bupati. ”Setiap saya perkenalkan diri, semua bertanya di mana Bantaeng,” katanya. ”Akhirnya, untuk tidak repot, saya bilang Bantaeng itu di Banten. Selesai.”

Bantaeng adalah kota tertua di Sulawesi Selatan. Pada zaman keresidenan, di sinilah pusat pemerintahan Belanda. Berada di kaki Pulau Sulawesi, di depan Bantaeng ada pelayaran internasional. Posisi inilah yang membuat Belanda menempatkan pusat pemerintahan di sini.

Setelah itu Bantaeng terbengkalai. Puluhan tahun. Dan inilah persoalan yang dihadapi sang Bupati pada hari pertama pelayanannya: kemiskinan, pengangguran, dan bencana yang silih berganti. Kematian ibu melahirkan, 15-20 orang setiap tahun, karena terlambat ditolong.

Kasus meninggal karena penyakit lingkungan, seperti diare, 47 persen setiap tahun. Saban hujan turun dua jam saja, Bantaeng tenggelam. Timnya mengumpulkan data untuk merumuskan yang harus dilakukan. ”Mereka ingin saya jadi bupati dan, saya kira, ini yang membuat saya jadi berat untuk tak berbuat bagi masyarakat,” katanya.

Lima tahun Nurdin membuka rumahnya 24 jam dalam sehari semalam. Setiap hari ia menerima tak kurang dari 100 orang yang datang mengadukan persoalan mereka. Yang paling berat ia hadapi selaku Bupati adalah orangtua yang tidak cukup duit mengawinkan anak, sementara pinangan telanjur diterima.

Persoalan puluhan tahun

Bantaeng tumbuh 74 persen dari sektor pertanian, tetapi hampir semua lahan ditinggal. Banyak penduduk merantau ke Malaysia atau berkebun di Makassar dan beberapa kota di Sulawesi Selatan. Muncul persoalan ibu berstatus janda karena suami pergi 3-4 tahun tanpa kabar.

Bantaeng sebagai kota berpenduduk sekitar 200.000 orang tak menjadi daya tarik untuk investasi karena infrastruktur rendah. Jalan-jalan kecil. Selokan bukan untuk saluran air, melainkan tempat pembuangan sampah.

APBD-nya rendah. Pada tahun pertama pelayanannya sebagai Bupati, APBD Bantaeng berangkat dari Rp 260 miliar, sementara gaji pegawai dan belanja pegawai 72 persen. Banyak program yang mereka luncurkan, tetapi karena APBD sangat rendah, mereka harus berhemat bagaimana uang kecil ini digunakan.

Belanja pegawai yang 72 persen diturunkan. Ternyata untuk lima hari kerja, pemerintah harus menyiapkan Rp 18 miliar untuk makanan dan minuman pegawai. Waktu kerja dikembalikan ke enam hari kerja dan Rp 18 miliar bisa dihemat.

Secara bertahap Nurdin dan timnya memperbaiki keadaan pedesaan. APBD dari tahun ke tahun diserap ke desa: ”Kita membangun Bantaeng dari desa.” Desa dibuat menjadi sebuah daya tarik dan kota menjadi sebuah kawasan yang menarik untuk investasi. Setelah pemerintahannya berjalan tiga tahun, ia membangun kemitraan dengan sejumlah kalangan dan Bantaeng sudah mulai menjadi daya tarik.

Rakyat mulai mencintai desa karena sudah punya daya tarik. Persoalan air, benih, dan pupuk diatasi. Selama ini, apabila hendak bertanam dan memupuk, petani bergantung kepada rentenir. Untuk mengatasi ini, pemerintah meluncurkan program Rp 3 miliar kepada dinas koperasi untuk memberikan kredit tanpa bunga, tanpa agunan. Ia bentuk badan usaha milik desa untuk menangani persoalan pascapanen dan menyiapkan beragam kebutuhan petani. APBD diluncurkan dalam bentuk bantuan sosial. Satu desa satu mobil pikap dan ini tidak dikuasai kepala desa, tetapi oleh masyarakat dan dikelola badan usaha milik desa. Ini semua membuat geliat ekonomi yang luar biasa.

Beberapa desa selama ini punya potensi yang sangat besar, tetapi akses jalan tidak ada. Sekarang jalan desa di hampir seluruh pelosok Bantaeng sudah diaspal. Dengan itu, produk mereka mudah dipasarkan ke kota, bahkan sampai Kalimantan.

Pesisir di Bantaeng sebelumnya merupakan kantong kemiskinan. Dengan panjang 22 kilometer, pesisir kini menjadi tempat pengembangan rumput laut dengan lapangan kerja yang sangat padat karya.

Dataran rendah dikembangkan sebagai pusat pembibitan. Dataran tinggi 
dikembangkan sebagai pusat sayur-mayur. Sejak empat tahun lalu, Bantaeng bekerja sama dengan kelompok tani di Batu (Jawa Timur) hingga berhasil mengembangkan apel. Apel dan stroberi Bantaeng sekarang menjadi salah satu pusat agrowisata di Sulawesi Selatan. Komoditas lain, talas safira, diekspor ke Jepang.

Dari ICCU ke belajar jalan

Bantaeng pada 2008 masuk dalam jajaran 199 daerah tertinggal. Sekarang ceritanya lain. Diibaratkan manusia, pada 2008, Bantaeng masuk ICCU, kini sudah mulai belajar jalan.

Dulu orang melihat Bantaeng sebelah mata: orang lewat Bantaeng tidak pernah menanyakan apakah sudah sampai di Bantaeng, selalu mengatakan Bulukumba dan Jeneponto. Sekarang setiap Sabtu orang berpikir hendak ke Bantaeng; hotel milik pemerintah daerah sudah berdiri. Bantaeng kini juga sudah memiliki resor. Dulu, saban pagi, orang pakai sarung jongkok di sepanjang pesisir. Kini sepanjang pesisir menjadi pusat kuliner dan sangat hidup di waktu malam. Itulah hasil reklamasi dari uang kecil yang dihemat.

Karena angka kematian ibu melahirkan dan angka kematian penyakit lingkungan tinggi, pada 2009 muncul gagasan melayani kesehatan masyarakat dengan cepat dengan membangun brigadir siaga bencana. Di dalam brigadir siaga bencana itu tersua pelayanan kesehatan prima. Orang di Bantaeng tidak lagi takut sakit karena ada pelayanan prima. Tidak perlu pakai kartu atau asuransi. 
Cukup menelepon 113, dokter dan perawat akan datang. Di sini bukan pasien yang mencari dokter, melainkan dokter mencari pasien.

Nurdin menyebutkan, untuk pelayanan kesehatan ini, 1 sen pun tidak keluar dari APBD. Itu semua hasil memulung ke Jepang dengan mendatangkan mobil ambulans bekas dari sana. Mobil ambulans hasil memulung itu jauh lebih bagus dibandingkan mobil hasil pengadaan daerah. Mobil pengadaan daerah biasanya pikap yang dimodifikasi jadi ambulans, menyusahkan orang membedakan mana ambulans mana mobil jenazah.

Pemerintah Kabupaten Bantaeng berinisiatif membangun rumah sakit kota metro meski ini melawan kebijakan pemerintah provinsi. Banyak yang menganggap gagasan ini gila, tetapi sang Bupati berpendapat kapan orang daerah bisa menikmati fasilitas setingkat rumah sakit kota metro. Saat ini rumah sakit sudah selesai delapan lantai, sementara beberapa dokter sedang dimagangkan di Jepang. Rumah sakit ini akan bekerja sama dengan beberapa rumah sakit.

Langkah-langkah yang dikisahkan di atas sekarang sudah bisa dilihat hasilnya dari beberapa indikator. Pertumbuhan ekonomi pada 2008 adalah 5,3 persen, pada 2012 sudah 8,9 persen, di atas pertumbuhan ekonomi Provinsi Sulawesi Selatan. Angka kemiskinan turun dari 12,12 persen menjadi 7,57 persen; pengangguran turun dari 12 persen menjadi 3,7 persen. Pendapatan per kapita hampir 2-3 kali lipat lebih baik.

Bupati Bantaeng ini memperlihatkan jenis kepemimpinan yang jarang di Indonesia. Ia tipe yang menghasilkan, bukan dari jenis yang menghabiskan, dan menjadikan rakyatnya punya harga diri. Ini yang tak dilakukan sebagian besar pemimpin di Republik ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar