Pengantar
Redaksi
Menandai peringatan Hari Sumpah
Pemuda 2013, Desk Opini "Kompas" bekerja sama dengan Lingkar Muda
Indonesia (LMI) pada Kamis, 21 November 2013, menyelenggarakan
Diskusi Panel Seri Ketiga 2013 di Bentara Budaya Jakarta. Dengan tema
"Kepemimpinan yang Berakar pada Rakyat", diskusi menampilkan
pembicara Rismaharini (Wali Kota Surabaya, Jawa Timur), Nurdin Abdullah
(Bupati Bantaeng, Sulawesi Selatan), Gandung Ismanto (pengajar di Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa, Banten), dan Noverius Henutesa Nggili (Koordinator
Geng Motor Imut, Kupang, Nusa Tenggara Timur), dan dipandu Sri Palupi.
Hasil diskusi dirangkum Sri Palupi dan Chris Panggabean dari
LMI serta wartawan "Kompas", Salomo Simanungkalit, diturunkan
pada halaman 6 dan 7 hari ini.
DI tengah krisis kepemimpinan
sekarang, Indonesia dihadapkan pada dua tipe kepemimpinan yang kian
fenomenal menjelang tahun 2014. Pertama, kepemimpinan yang muncul karena
visi dan dedikasinya terhadap rakyat. Meskipun masih langka, kepemimpinan
tipe ini mulai bermunculan di tengah rakyat. Salah satunya adalah
kepemimpinan Wali Kota Surabaya Rismaharini.
Kedua, kepemimpinan
yang muncul bukan karena visi dan dedikasinya terhadap rakyat, melainkan
karena kemampuannya mencitrakan diri dan ”menyuap” rakyat demi
jabatan/kekuasaan. Setelah berkuasa, mereka meninggalkan rakyat dan
menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan diri, keluarga, dan kroninya.
Kepemimpinan tipe inilah yang kini menguasai RI. Indikasinya jelas, 70 persen
kepala daerah terjerat tindak pidana korupsi. Salah satu yang berpotensi
besar menjadi tersangka hari-hari ini adalah Gubernur Banten Ratu Atut.
Pemimpin vs penguasa
Risma dan Ratu Atut
sama-sama kepala daerah yang fenomenal. Ratu Atut adalah perempuan pertama
di Indonesia yang menjadi gubernur, sementara Risma adalah perempuan
pertama yang menjadi wali kota. Bedanya, Risma menjadi fenomenal karena
prestasinya sebagai pemimpin, sementara Ratu Atut menjadi fenomenal karena
sepak terjangnya sebagai penguasa. Tentu saja jauh bedanya antara pemimpin
dan penguasa.
Pemimpin dikenali
pertama-tama karena dedikasinya terhadap rakyat. Itulah mengapa tak ada
pemimpin yang tidak menderita. Penderitaan itu sendiri merupakan bentuk
solidaritas pemimpin terhadap kondisi rakyat. Solidaritas ini yang
mendorong pemimpin sejati terus berupaya mengatasi masalah rakyat. Ini
jelas terlihat dari kepemimpinan Wali Kota Surabaya yang meneladani Umar
bin Khatab. Umar bin Khatab rela memanggul beras, berkeliling mencari
warganya yang kelaparan. Hal serupa dilakukan Risma. Dengan mobilnya yang
memuat bahan pangan dan peralatan kerja, Risma mencari anak yang tak
sekolah, orangtua yang tak memiliki pekerjaan, orang-orang yang memiliki
masalah sosial, warga yang sakit dan tidak bisa berobat, orang gila, anak
putus sekolah, dan warga miskin.
Sejumlah masalah
mendapatkan solusi, bahkan yang paling sulit sekalipun. Ribuan orang gila
di jalanan, tak peduli dari mana asalnya, dirawat dan disembuhkan. Bagi
Risma, keberhasilan pemimpin adalah hak rakyat dan rakyat yang menikmati.
Berlawanan dengan pemimpin,
penguasa justru menikmati posisinya dengan mengambil keuntungan dari
rakyat. Ini tampak jelas dari sepak terjang Ratu Atut. Bukannya menjadi
bagian dari solusi atas masalah rakyat, ia justru dianggap sebagai sumber
masalah yang membebani rakyat.
Pada saat sang
pemimpin sibuk menyelesaikan masalah rakyat, sang penguasa sibuk mencari
peluang proyek. Hasilnya, Ratu Atut berhasil menguasai Provinsi Banten dari
hulu hingga hilir; dari eksekutif, legislatif, hingga birokrasi; dari
perencanaan APBD hingga tender proyek barang/jasa. Tak heran, meskipun APBD
Provinsi Banten terus meningkat dari Rp 660 miliar tahun 2000 menjadi 7,3
triliun tahun 2013, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) justru terjun bebas
dari peringkat ke-11 (2002) menjadi peringkat ke-23 (2012). Kekayaan sang
penguasa melesat, sementara rakyat tertinggal dalam kemiskinan dan
kebodohan.
Satu hal yang
menonjol dari kepemimpinan Wali Kota Surabaya adalah bahwa sebagai wali
kota, Risma jarang sekali memakai ”tanda jabatan” yang menjadi bukti bahwa
dirinya memiliki kuasa dan kewenangan memutuskan kebijakan publik yang
mengikat. Ini karena baginya, kepemimpinan itu tindakan, bukan posisi atau
jabatan. Ia pernah diberitakan mengalami kesulitan memasuki istana untuk
memenuhi undangan presiden karena tidak memakai tanda jabatan.
Bagi seorang
pemimpin seperti Risma, dorongan untuk menjalankan visi sebagai pemimpin
tidak datang dari posisi atau jabatannya sebagai wali kota, melainkan dari passion sebagai
pelayan masyarakat. Bagi seorang penguasa, tanda jabatan dibutuhkan untuk
menegaskan posisinya sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Dengan tanda
jabatan itu, sang penguasa punya hak untuk mengambil keuntungan ekonomi dan
politik dari rakyat.
Pelayan rakyat
Dengan memosisikan
diri sebagai pelayan rakyat, Risma bukan hanya mampu menjadi bagian dari
solusi masalah rakyat, tetapi juga mengangkat martabat rakyat. Hal ini
terlihat dari sejumlah program dan kebijakan, termasuk program untuk TKI.
Risma tidak menginginkan warganya bekerja ke luar negeri secara tidak bermartabat.
Karena itu, ia mendidik warganya agar menjadi TKI terhormat.
Ia menyediakan
beberapa program pendidikan, seperti perawat, perkapalan, dan perhotelan,
disertai pendidikan keterampilan berbahasa asing. Selain itu, penempatan
TKI juga dilakukan di bawah kontrol pemerintah kota, termasuk dalam hal
kontrak kerja. Dengan cara ini, tak ada lagi warga yang bekerja di luar
negeri tanpa perlindungan negara. Hal sebaliknya terjadi pada Banten dan
mayoritas daerah pengirim TKI. Banten hingga kini tetap menjadi daerah
pengirim TKI dan korban perdagangan orang terbesar.
Menjunjung tinggi
martabat rakyat juga dilakukan Risma dengan memberikan layanan publik bagi
warga miskin tanpa membuat mereka direndahkan harga dirinya. Dalam hal
pelayanan kesehatan, misalnya, warga miskin tidak hanya bisa berobat ke
rumah sakit pemerintah, tetapi juga rumah sakit swasta lewat sistem finger
print. Dengan itu, warga miskin bisa berobat di mana saja tanpa menggunakan
surat miskin atau jamkesmas yang sering kali membuat mereka kehilangan
harga diri karena perlakuan diskriminatif.
Bukan hanya
meningkatkan martabat rakyat, mencerdaskan kehidupan rakyat juga menjadi
program andalan Wali Kota Surabaya. Pencerdasan ini tidak hanya ditempuh
melalui program pendidikan gratis dari TK sampai SMA/SMK, tetapi juga
memperluas akses warga atas pengetahuan dan informasi dengan perpustakaan
kampung dan jaringan internet yang tersebar di permukiman dan taman- taman
kota. Ada 496 perpustakaan yang tersebar di kampung-kampung.
Pada saat kota-kota
besar di Indonesia sibuk membangun mal bagi kepentingan ekonomi kalangan
atas, Surabaya di bawah kepemimpinan Risma memilih sibuk memberdayakan
pedagang kaki lima (PKL), pedagang pasar tradisional, dan sektor informal
lainnya termasuk pengamen. Setiap tahun 11–19 lokasi sentra PKL dibuka di
pusat-pusat keramaian di Surabaya, di mana PKL bisa berjualan 24 jam sehari dengan dukungan
fasilitas air bersih, pengawasan
kebersihan dan kesehatan makanan dari dinas kesehatan serta pembinaan dalam
hal berkoperasi.
Dengan membuat
sejumlah program dan kebijakan yang meningkatkan akses rakyat atas
pembangunan membuat rakyat bukan hanya percaya pada kemampuan sang
pemimpin, melainkan terlebih lagi adalah percaya pada kemampuan mereka
sendiri sebagai warga. Ini dilakukan Wali Kota Surabaya dengan mengenali
kekuatan rakyat dan sekaligus membangkitkan kekuatan tersebut untuk
kegiatan produktif. Mereka yang dulu dianggap sampah masyarakat kini
berubah menjadi warga yang mampu mengembangkan potensinya dan berkembang
menjadi warga yang produktif. Mulai dari pekerja seks, penyandang cacat,
anak-anak berkebutuhan khusus, lansia, kaum miskin, dan kelompok lainnya
kini dapat berpartisipasi dalam kehidupan kota.
Kota menjadi milik
semua kalangan, bukan hanya milik kalangan menengah atas seperti yang
terjadi selama ini. Ini bisa terjadi karena sebagai pemimpin Risma mengakui
kekuatan rakyat dan karenanya mau membuka diri terhadap partisipasi rakyat
dalam mengelola kota. Partisipasi adalah kunci bagi pemimpin. Sebaliknya
bagi penguasa, partisipasi dikebiri demi keleluasaan dalam berkorupsi.
Itulah mengapa 2014 kita punya kewajiban untuk memilih pemimpin, bukan
penguasa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar