Selasa, 10 Desember 2013

Kepemimpinan Fenomenal

Kepemimpinan yang Berakar pada Rakyat
Kepemimpinan Fenomenal
KOMPAS,  10 Desember 2013



Pengantar Redaksi 
Menandai peringatan Hari Sumpah Pemuda 2013, Desk Opini "Kompas" bekerja sama dengan Lingkar Muda Indonesia (LMI) pada Kamis, 21 November  2013, menyelenggarakan Diskusi Panel Seri Ketiga  2013 di Bentara Budaya Jakarta. Dengan tema "Kepemimpinan yang Berakar pada Rakyat", diskusi menampilkan pembicara Rismaharini (Wali Kota Surabaya, Jawa Timur), Nurdin Abdullah (Bupati Bantaeng, Sulawesi Selatan), Gandung Ismanto (pengajar di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten), dan Noverius Henutesa Nggili (Koordinator Geng Motor Imut, Kupang, Nusa Tenggara Timur), dan dipandu Sri Palupi. Hasil diskusi dirangkum  Sri Palupi dan Chris Panggabean dari  LMI serta wartawan "Kompas", Salomo Simanungkalit, diturunkan pada halaman 6 dan 7 hari ini.

DI tengah krisis kepemimpinan sekarang, Indonesia dihadapkan pada dua tipe kepemimpinan yang kian fenomenal menjelang tahun 2014. Pertama, kepemimpinan yang muncul karena visi dan dedikasinya terhadap rakyat. Meskipun masih langka, kepemimpinan tipe ini mulai bermunculan di tengah rakyat. Salah satunya adalah kepemimpinan Wali Kota Surabaya Rismaharini.

Kedua, kepemimpinan yang muncul bukan karena visi dan dedikasinya terhadap rakyat, melainkan karena kemampuannya mencitrakan diri dan ”menyuap” rakyat demi jabatan/kekuasaan. Setelah berkuasa, mereka meninggalkan rakyat dan menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan diri, keluarga, dan kroninya. Kepemimpinan tipe inilah yang kini menguasai RI. Indikasinya jelas, 70 persen kepala daerah terjerat tindak pidana korupsi. Salah satu yang berpotensi besar menjadi tersangka hari-hari ini adalah Gubernur Banten Ratu Atut.

Pemimpin vs penguasa

Risma dan Ratu Atut sama-sama kepala daerah yang fenomenal. Ratu Atut adalah perempuan pertama di Indonesia yang menjadi gubernur, sementara Risma adalah perempuan pertama yang menjadi wali kota. Bedanya, Risma menjadi fenomenal karena prestasinya sebagai pemimpin, sementara Ratu Atut menjadi fenomenal karena sepak terjangnya sebagai penguasa. Tentu saja jauh bedanya antara pemimpin dan penguasa.

Pemimpin dikenali pertama-tama karena dedikasinya terhadap rakyat. Itulah mengapa tak ada pemimpin yang tidak menderita. Penderitaan itu sendiri merupakan bentuk solidaritas pemimpin terhadap kondisi rakyat. Solidaritas ini yang mendorong pemimpin sejati terus berupaya mengatasi masalah rakyat. Ini jelas terlihat dari kepemimpinan Wali Kota Surabaya yang meneladani Umar bin Khatab. Umar bin Khatab rela memanggul beras, berkeliling mencari warganya yang kelaparan. Hal serupa dilakukan Risma. Dengan mobilnya yang memuat bahan pangan dan peralatan kerja, Risma mencari anak yang tak sekolah, orangtua yang tak memiliki pekerjaan, orang-orang yang memiliki masalah sosial, warga yang sakit dan tidak bisa berobat, orang gila, anak putus sekolah, dan warga miskin.

Sejumlah masalah mendapatkan solusi, bahkan yang paling sulit sekalipun. Ribuan orang gila di jalanan, tak peduli dari mana asalnya, dirawat dan disembuhkan. Bagi Risma, keberhasilan pemimpin adalah hak rakyat dan rakyat yang menikmati.

Berlawanan dengan pemimpin, penguasa justru menikmati posisinya dengan mengambil keuntungan dari rakyat. Ini tampak jelas dari sepak terjang Ratu Atut. Bukannya menjadi bagian dari solusi atas masalah rakyat, ia justru dianggap sebagai sumber masalah yang membebani rakyat.

Pada saat sang pemimpin sibuk menyelesaikan masalah rakyat, sang penguasa sibuk mencari peluang proyek. Hasilnya, Ratu Atut berhasil menguasai Provinsi Banten dari hulu hingga hilir; dari eksekutif, legislatif, hingga birokrasi; dari perencanaan APBD hingga tender proyek barang/jasa. Tak heran, meskipun APBD Provinsi Banten terus meningkat dari Rp 660 miliar tahun 2000 menjadi 7,3 triliun tahun 2013, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) justru terjun bebas dari peringkat ke-11 (2002) menjadi peringkat ke-23 (2012). Kekayaan sang penguasa melesat, sementara rakyat tertinggal dalam kemiskinan dan kebodohan.

Satu hal yang menonjol dari kepemimpinan Wali Kota Surabaya adalah bahwa sebagai wali kota, Risma jarang sekali memakai ”tanda jabatan” yang menjadi bukti bahwa dirinya memiliki kuasa dan kewenangan memutuskan kebijakan publik yang mengikat. Ini karena baginya, kepemimpinan itu tindakan, bukan posisi atau jabatan. Ia pernah diberitakan mengalami kesulitan memasuki istana untuk memenuhi undangan presiden karena tidak memakai tanda jabatan.

Bagi seorang pemimpin seperti Risma, dorongan untuk menjalankan visi sebagai pemimpin tidak datang dari posisi atau jabatannya sebagai wali kota, melainkan dari passion sebagai pelayan masyarakat. Bagi seorang penguasa, tanda jabatan dibutuhkan untuk menegaskan posisinya sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Dengan tanda jabatan itu, sang penguasa punya hak untuk mengambil keuntungan ekonomi dan politik dari rakyat.

Pelayan rakyat

Dengan memosisikan diri sebagai pelayan rakyat, Risma bukan hanya mampu menjadi bagian dari solusi masalah rakyat, tetapi juga mengangkat martabat rakyat. Hal ini terlihat dari sejumlah program dan kebijakan, termasuk program untuk TKI. Risma tidak menginginkan warganya bekerja ke luar negeri secara tidak bermartabat. Karena itu, ia mendidik warganya agar menjadi TKI terhormat.

Ia menyediakan beberapa program pendidikan, seperti perawat, perkapalan, dan perhotelan, disertai pendidikan keterampilan berbahasa asing. Selain itu, penempatan TKI juga dilakukan di bawah kontrol pemerintah kota, termasuk dalam hal kontrak kerja. Dengan cara ini, tak ada lagi warga yang bekerja di luar negeri tanpa perlindungan negara. Hal sebaliknya terjadi pada Banten dan mayoritas daerah pengirim TKI. Banten hingga kini tetap menjadi daerah pengirim TKI dan korban perdagangan orang terbesar.

Menjunjung tinggi martabat rakyat juga dilakukan Risma dengan memberikan layanan publik bagi warga miskin tanpa membuat mereka direndahkan harga dirinya. Dalam hal pelayanan kesehatan, misalnya, warga miskin tidak hanya bisa berobat ke rumah sakit pemerintah, tetapi juga rumah sakit swasta lewat sistem finger print. Dengan itu, warga miskin bisa berobat di mana saja tanpa menggunakan surat miskin atau jamkesmas yang sering kali membuat mereka kehilangan harga diri karena perlakuan diskriminatif.

Bukan hanya meningkatkan martabat rakyat, mencerdaskan kehidupan rakyat juga menjadi program andalan Wali Kota Surabaya. Pencerdasan ini tidak hanya ditempuh melalui program pendidikan gratis dari TK sampai SMA/SMK, tetapi juga memperluas akses warga atas pengetahuan dan informasi dengan perpustakaan kampung dan jaringan internet yang tersebar di permukiman dan taman- taman kota. Ada 496 perpustakaan yang tersebar di kampung-kampung.

Pada saat kota-kota besar di Indonesia sibuk membangun mal bagi kepentingan ekonomi kalangan atas, Surabaya di bawah kepemimpinan Risma memilih sibuk memberdayakan pedagang kaki lima (PKL), pedagang pasar tradisional, dan sektor informal lainnya termasuk pengamen. Setiap tahun 11–19 lokasi sentra PKL dibuka di pusat-pusat keramaian di Surabaya, di mana PKL bisa berjualan 24 jam sehari dengan dukungan fasilitas air bersih, pengawasan
kebersihan dan kesehatan makanan dari dinas kesehatan serta pembinaan dalam hal berkoperasi.

Dengan membuat sejumlah program dan kebijakan yang meningkatkan akses rakyat atas pembangunan membuat rakyat bukan hanya percaya pada kemampuan sang pemimpin, melainkan terlebih lagi adalah percaya pada kemampuan mereka sendiri sebagai warga. Ini dilakukan Wali Kota Surabaya dengan mengenali kekuatan rakyat dan sekaligus membangkitkan kekuatan tersebut untuk kegiatan produktif. Mereka yang dulu dianggap sampah masyarakat kini berubah menjadi warga yang mampu mengembangkan potensinya dan berkembang menjadi warga yang produktif. Mulai dari pekerja seks, penyandang cacat, anak-anak berkebutuhan khusus, lansia, kaum miskin, dan kelompok lainnya kini dapat berpartisipasi dalam kehidupan kota.

Kota menjadi milik semua kalangan, bukan hanya milik kalangan menengah atas seperti yang terjadi selama ini. Ini bisa terjadi karena sebagai pemimpin Risma mengakui kekuatan rakyat dan karenanya mau membuka diri terhadap partisipasi rakyat dalam mengelola kota. Partisipasi adalah kunci bagi pemimpin. Sebaliknya bagi penguasa, partisipasi dikebiri demi keleluasaan dalam berkorupsi. Itulah mengapa 2014 kita punya kewajiban untuk memilih pemimpin, bukan penguasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar