Pemimpin Rela
Berkorban
Aloys Budi Purnomo ; Rohaniwan dan Budayawan Interreligius,
Ketua
Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 24 Desember 2013
LEGENDA (dari Bahasa Latin legere=membaca; legenda=yang harus dibaca) Jawa mempunyai kisah Ajisaka. Ia
seorang pangeran yang datang membawa damai di Negeri Medang Kamolan. Negeri
itu tengah dilanda ketercekaman dan kengerian akibat ulah Raja Dewatacengkar
yang bengis, kejam, dan keji. Kebengisan, kekejaman, dan kekejian
Dewatacengkar teraktualisasi dengan ketegaannya memakan rakyatnya sendiri.
Syahdan, sang juru masak
kerajaan, terpotong ibu jarinya saat merajang racikan bumbu untuk
mempersiapkan santap siang sang raja. Namun, potongan ibu jari itu terasa
sedap di mulut sang raja. Akibatnya, sejak itulah, ia tak hanya minta
dihidangkan santapan dengan bumbu potongan jari manusia, melainkan menjadikan
daging manusia sebagai hidangan utama. Itulah tuntutan sang raja yang harus
dipenuhi tiap kali menikmati makanannya.
Rakyat pun menjadi cemas,
takut, dan khawatir, sebab mereka tinggal menunggu giliran saatnya disembelih
untuk dijadikan hidangan bagi sang raja. Rakyat menjadi ngeri dan tak bisa
berbuat apa-apa. Ketercekaman, kengerian, dan ketakutan memagut seluruh
rakyat dan masyarakat akibat ulah sang raja.
Di tengah kegalauan dan
kegelisahan itu, hadirlah sang pangeran, Ajisaka. Dengan keberanian sekaligus
kerendahan hati, ia mengingatkan sang raja menghentikan kebiasaan buruk dan
mencekam rakyatnya itu. Istimewanya, Sang Ajisaka menantang Dewatacengkar dan
berkata, ”Makanlah dagingku, agar
engkau puas dan rakyatmu selamat! Jangan lagi sakiti rakyatmu sen-diri.”
Begitulah, dengan
persyaratan tertentu, yakni raja harus memakan daging Ajisaka di atas tanah
seluas kain iket blangkon Ajisaka, kesepakatan dimulai. Sang raja harus membentangkan
iket bangklon Ajisaka di atas sebidang tanah yang ternyata tak kunjung habis
menampung blangkon Ajisaka, hingga akhirnya, sang raja terjungkal di jurang
Laut Selatan dan mati di sana. Dengan tindakannya itu, Ajisaka hadir dan
tampil menyelamatkan rakyat dan masyarakat Medangkamolan dari
keangkaramurkaan Dewatacengkar.
Mgr Johannes Pujasumarta,
Uskup Agung Semarang, memilih menggunakan iket blangkon sebagai simbol
pelayanannya tatkala terpilih menjadi uskup (baik saat menjadi Uskup Bandung,
maupun sekarang Uskup Agung Semarang). Makna simbolik kehadiran Ajisaka
sebagai sang pembawa kedamaian bagi rakyat dengan keberanian Ajisaka
menyerahkan hidupnya sebagai santapan Dewatacengkar demi keselamatan rakyat
dibaca sebagai pesan spiritual yang signifikan dan relevan bagi pelayanannya.
Bagi saya, Ajisaka adalah
sosok tokoh sosio spiritual inspiratif bagi siapa pun yang bertekad
mewujudkan damai sejahtera bagi dunia. Ia membela rakyat dengan kerelaan
mengorbankan hidup berhadapan dengan pemimpin bengis, keji, dan kejam. Ia
tidak takut mengambil segala risiko demi membela rakyat. Ia menjadi pemimpin
yang tak berorientasi kekuasaan, ketamakan, dan kekayaan. Ia simbol sang raja
damai yang dirindukan.
Keselamatan
Rakyat
Legenda Ajisaka membuat
permenungan saya atas kehadiran Yesus Kristus sebagai Sang Raja Damai bagi
dunia makin hidup. Ada kemiripan kalimat-kalimat pengorbanan antara Ajisaka
dan Yesus Kristus. Ajisaka menyerahkan hidupnya demi keselamatan rakyat
Medangkamolan, kendati faktanya Dewatacengkar tak pernah berhasil memakan
tubuhnya karena ia mati sebelum bisa menyantap Ajisaka.
Yesus Kristus —yang Hari
Raya kelahiran-Nya disebut Hari Raya Natal dan dikenang setiap tahun oleh
umat Kristiani— pada kemudian hari juga mengucapkan kalimat yang persis sama.
”Makanlah daging-Ku, minumlah darah-Ku,
supaya kamu selamat!” Itulah yang oleh umat Katolik dikenangkan dalam
Liturgi Perayaan Ekaristi. Kenangan akan penyerahan diri Sang Raja Damai demi
keselamatan dunia.
Hari Raya Natal merupakan
kenangan awal atas penyerahan diri Sang Raja Damai. Meminjam permenungan St
Lukas dalam Injilnya, sejak Natal perdana, Yesus Kristus telah menyerahkan
hidup-Nya sebagai tanda keselamatan bagi umat manusia. Simbolisme itu tampak
dari realitas bahwa Ia lahir, dibungkus dengan kain lampin dan dibaringkan di
atas palungan (Lukas 2:1-20).
Palungan adalah tempat
makanan hewan. Sejak lahir, Yesus sudah dibaringkan di palungan, dengan makna
simbolik, Ia siap dihidangkan bagi kawanan domba-Nya sebagai santapan
keselamatan. Pada kemudian hari, dalam pengajaran-Nya, Yesus pun bersabda, ”Akulah Gembala yang baik, yang menyerahkan
nyawa bagi domba-dombanya” (Yohanes 10:11, 15). Begitulah, Ia hadir
sebagai Sang Raja Damai bagi dunia, bukan dengan haus kekuasaan dan kekayaan,
melainkan dengan pengorbanan.
Dewasa ini, kita
merindukan sosok pemimpin rakyat dan bangsa yang demikian. Pemimpin yang
tidak haus kekuasaan dan kekayaan lalu korupsi, ngapusi dan menindas rakyat,
melainkan pemimpin yang mengayomi dan memberikan kesejahteraan bagi
rakyatnya. Perayaan Natal merupakan perayaan menyambut Sang Raja Damai dalam
diri para pemimpin yang rela berkorban dan mengayomi rakyatnya. Selamat Natal. Tuhan memberkati bangsa ini
dengan damai sejahtera-Nya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar