Rabu, 25 Desember 2013

Pemimpin Rela Berkorban

Pemimpin Rela Berkorban
Aloys Budi Purnomo  ;   Rohaniwan dan Budayawan Interreligius,
Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang
SUARA MERDEKA,  24 Desember 2013
  


LEGENDA (dari Bahasa Latin legere=membaca; legenda=yang harus dibaca) Jawa mempunyai kisah Ajisaka. Ia seorang pangeran yang datang membawa damai di Negeri Medang Kamolan. Negeri itu tengah dilanda ketercekaman dan kengerian akibat ulah Raja Dewatacengkar yang bengis, kejam, dan keji. Kebengisan, kekejaman, dan kekejian Dewatacengkar teraktualisasi dengan ketegaannya memakan rakyatnya sendiri.

Syahdan, sang juru masak kerajaan, terpotong ibu jarinya saat merajang racikan bumbu untuk mempersiapkan santap siang sang raja. Namun, potongan ibu jari itu terasa sedap di mulut sang raja. Akibatnya, sejak itulah, ia tak hanya minta dihidangkan santapan dengan bumbu potongan jari manusia, melainkan menjadikan daging manusia sebagai hidangan utama. Itulah tuntutan sang raja yang harus dipenuhi tiap kali menikmati makanannya.

Rakyat pun menjadi cemas, takut, dan khawatir, sebab mereka tinggal menunggu giliran saatnya disembelih untuk dijadikan hidangan bagi sang raja. Rakyat menjadi ngeri dan tak bisa berbuat apa-apa. Ketercekaman, kengerian, dan ketakutan memagut seluruh rakyat dan masyarakat akibat ulah sang raja.

Di tengah kegalauan dan kegelisahan itu, hadirlah sang pangeran, Ajisaka. Dengan keberanian sekaligus kerendahan hati, ia mengingatkan sang raja menghentikan kebiasaan buruk dan mencekam rakyatnya itu. Istimewanya, Sang Ajisaka menantang Dewatacengkar dan berkata, ”Makanlah dagingku, agar engkau puas dan rakyatmu selamat! Jangan lagi sakiti rakyatmu sen-diri.”

Begitulah, dengan persyaratan tertentu, yakni raja harus memakan daging Ajisaka di atas tanah seluas kain iket blangkon Ajisaka, kesepakatan dimulai. Sang raja harus membentangkan iket bangklon Ajisaka di atas sebidang tanah yang ternyata tak kunjung habis menampung blangkon Ajisaka, hingga akhirnya, sang raja terjungkal di jurang Laut Selatan dan mati di sana. Dengan tindakannya itu, Ajisaka hadir dan tampil menyelamatkan rakyat dan masyarakat Medangkamolan dari keangkaramurkaan Dewatacengkar.

Mgr Johannes Pujasumarta, Uskup Agung Semarang, memilih menggunakan iket blangkon sebagai simbol pelayanannya tatkala terpilih menjadi uskup (baik saat menjadi Uskup Bandung, maupun sekarang Uskup Agung Semarang). Makna simbolik kehadiran Ajisaka sebagai sang pembawa kedamaian bagi rakyat dengan keberanian Ajisaka menyerahkan hidupnya sebagai santapan Dewatacengkar demi keselamatan rakyat dibaca sebagai pesan spiritual yang signifikan dan relevan bagi pelayanannya.

Bagi saya, Ajisaka adalah sosok tokoh sosio spiritual inspiratif bagi siapa pun yang bertekad mewujudkan damai sejahtera bagi dunia. Ia membela rakyat dengan kerelaan mengorbankan hidup berhadapan dengan pemimpin bengis, keji, dan kejam. Ia tidak takut mengambil segala risiko demi membela rakyat. Ia menjadi pemimpin yang tak berorientasi kekuasaan, ketamakan, dan kekayaan. Ia simbol sang raja damai yang dirindukan.

Keselamatan Rakyat   

Legenda Ajisaka membuat permenungan saya atas kehadiran Yesus Kristus sebagai Sang Raja Damai bagi dunia makin hidup. Ada kemiripan kalimat-kalimat pengorbanan antara Ajisaka dan Yesus Kristus. Ajisaka menyerahkan hidupnya demi keselamatan rakyat Medangkamolan, kendati faktanya Dewatacengkar tak pernah berhasil memakan tubuhnya karena ia mati sebelum bisa menyantap Ajisaka.

Yesus Kristus —yang Hari Raya kelahiran-Nya disebut Hari Raya Natal dan dikenang setiap tahun oleh umat Kristiani— pada kemudian hari juga mengucapkan kalimat yang persis sama. ”Makanlah daging-Ku, minumlah darah-Ku, supaya kamu selamat!” Itulah yang oleh umat Katolik dikenangkan dalam Liturgi Perayaan Ekaristi. Kenangan akan penyerahan diri Sang Raja Damai demi keselamatan dunia.

Hari Raya Natal merupakan kenangan awal atas penyerahan diri Sang Raja Damai. Meminjam permenungan St Lukas dalam Injilnya, sejak Natal perdana, Yesus Kristus telah menyerahkan hidup-Nya sebagai tanda keselamatan bagi umat manusia. Simbolisme itu tampak dari realitas bahwa Ia lahir, dibungkus dengan kain lampin dan dibaringkan di atas palungan (Lukas 2:1-20).

Palungan adalah tempat makanan hewan. Sejak lahir, Yesus sudah dibaringkan di palungan, dengan makna simbolik, Ia siap dihidangkan bagi kawanan domba-Nya sebagai santapan keselamatan. Pada kemudian hari, dalam pengajaran-Nya, Yesus pun bersabda, ”Akulah Gembala yang baik, yang menyerahkan nyawa bagi domba-dombanya” (Yohanes 10:11, 15). Begitulah, Ia hadir sebagai Sang Raja Damai bagi dunia, bukan dengan haus kekuasaan dan kekayaan, melainkan dengan pengorbanan.

Dewasa ini, kita merindukan sosok pemimpin rakyat dan bangsa yang demikian. Pemimpin yang tidak haus kekuasaan dan kekayaan lalu korupsi, ngapusi dan menindas rakyat, melainkan pemimpin yang mengayomi dan memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Perayaan Natal merupakan perayaan menyambut Sang Raja Damai dalam diri para pemimpin yang rela berkorban dan mengayomi rakyatnya. Selamat Natal. Tuhan memberkati bangsa ini dengan damai sejahtera-Nya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar