Gua Pemimpin
BS Mardiatmadja ; Teolog dan Dosen di STF Driyarkara
|
SINAR
HARAPAN, 24 Desember 2013
DI MASA sekarang, tidak sedikit pemimpin yang tidak tahu
persis situasi dan kondisi ketika dilahirkan. Jarang sekali calon pemuka
masyarakat yang bahkan dikenal dan diminati pemimpin lain, pun hanya
karena khawatir digusur.
Pemimpin para rasul, Yesus, istimewa. Situasi, tempat,
serta kondisi kelahiran-Nya diketahui dengan sangat jelas. Pemimpin sipil
waktu itu juga sangat berminat terhadap keberadaannya.
Kelahiran-Nya direkam dalam buku sejarah pada zaman-Nya. Oleh sebab itu, kelak para pengikut-Nya, malah dari tahun ke tahun, mengulang susunan gua tempat Ia dilahirkan. Ia sendiri, sepanjang hidup-Nya, tidak pernah menonjolkan diri atau memamerkan keadaan-Nya. Betapa Ia berbeda dengan sekian banyak pemimpin, yang begitu haus dikagumi, dipilih, serta diagungkan.
Ada pula pemimpin yang lapor kepada publik ketika ada
dugaan seseorang akan membunuhnya, seakan-akan seluruh dunia harus tahu,
banyak orang jahat yang bermaksud mencederainya. Padahal, seluruh angkatan
kepolisian dan timnya sudah ditugasi resmi untuk membela dan jika perlu,
pasang badan, bila ada orang yang hendak mencelakainya.
Bahaya diserang sampai mati itu belum tentu benar dan malah pasti tidak diancamkan kepadanya sejak kecil. Namun, ia begitu takut kehilangan nyawa atau kedudukannya. Yesus adalah pemimpin dunia, yang sejak dilahirkan sudah menjadi sasaran kebencian, walau Ia tidak mencelakai orang lain. Sebelum dilahirkan, Ia sudah terancam bahaya dalam kandungan. Itu karena ketika ibu-Nya hamil tua, mereka harus mengadakan perjalanan jauh, yang untuk masa itu sangat mungkin berakibat keguguran. Kepercayaan akan penyelenggaraan Ilahi telah mengelamatkan-Nya. Tatkala waktu bersalin tiba, ibu-Nya tidak mendapat fasilitas yang memadai. Padahal, ini adalah kehamilan pertama dan anak pertama. Ibu yang masih amat muda itu terancam melahirkan secara darurat sekali. Bayi ini sama sekali tidak mendapat sambutan yang bersahabat. Dalam kesulitan itulah, gua dingin atau kandang hewan yang jorok telah memberi-Nya perlindungan, walau seadanya dan sama sekali tidak sesuai keluhuran panggilan-Nya. Alam tanpa manipulasi buatan, bumi tanpa campur tangan keindahan manusia, tanah yang dingin menjadi tuan rumah yang menyediakan pangkuan bagi Tuhan. Tampaknya, tidak begitu banyak berbeda dengan masa kini. Saat ini begitu banyak manusia tidak disapa ramah oleh sesama manusia dan lebih dihadapi tetangga dengan permusuhan serta dilawan dengan kecurigaan. Ia sedemikian dianggap musuh, sampai ada sejumlah orang yang melarang orang sekitar mengucapkan, “Selamat datang”. Perlakuan Herodes masa itu dan sekelompok orang masa kini tidaklah berbeda. Padahal, orang seperti Mahatma Gandhi dan Nabi Muhammad memperlakukannya dengan amat hormat. Gua adalah lambang dari bumi dan kodrat alam semesta yang memberi sapaan ramah kepada setiap bayi dan manusia yang dilahirkan. Itu tanpa kecurigaan dan kebencian yang diulur-ulur. Bahkan, sering kali dengan dalih kesucian sekali pun. Bagaimana Kita?
Hidup dalam kebersamaan menantang kita mengatasi
perbedaan, seperti ketika orang-orang muda di tahun 1928 mengesampingkan
perbedaan agama, ideologi, kepartaian, kesukuan, dan membela kesatuan.
Sikap serupa telah dikedepankan mereka yang
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dengan mendahulukan kebersamaan
sebagai sesama manusia daripada perbedaan suku dan agama. Pendirian yang
sama diperlihatkan orang-orang yang memaklumkan pernyataan hak-hak
asasi manusia.
Iman dan kekudusan hanya mungkin diterima dan dikembangkan dalam bangsa ini jika setiap orang menyadari kebersamaan kodratinya sebagai ciptaan Allah, bukan menonjolkan keagungan agamanya sendiri terhadap sesama. Itu bisa diterima kalau setiap orang berani menyatu dengan alam semesta yang sama, bergandengan tangan dengan sesama yang berasal dari tanah dan akan menyatu dengan tanah juga.
Iman dan kekudusan itu terjadi kalau kita kembali ke gua
kita masing-masing yang berhubung-hubungan dengan gua sesama kita, tanpa
menyombongkan kekayaan yang bahkan dapat dirampas KPK, istana yang dapat
runtuh oleh gempa bumi, serta kepongahan yang dapat hancur oleh konflik
antarkelompok.
Kalau Sang Almasih mau dibaringkan di gua, siapakah kita sampai berani menolak kebersamaan bersanding di gua, serupa dalam kesamaan kemanusiaan yang papa demi kemuliaan Allah juga? Sementara itu, gua sudah sering digunakan banyak di antara leluhur sebagai tempat menyepi dan bertemu Tuhan. betapa dipandang sebagai orang yang dekat dengan Tuhan. Dalam “retret”, kita diajak menyepi untuk dekat dengan Tuhan. Di antara pelbagai bentuk “retret”, ada juga “retret di keramaian”, mencari Tuhan dalam keramaian kota dan di pekerjaan. Itulah ungkapan hasrat untuk berjumpa dengan Tuhan yang sudi menjelma menjadi manusia di tengah hiruk-pikuk hidup manusia. Dalam “gua” (keramaian) itulah, Sang Ilahi menguduskan seluruh kesibukan manusia. Di sanalah Yang Ilahi dan yang manusiawi menyatu untuk menyelamatkan manusia dan alam semesta, yang kerap dihancurkan manusia.
Selamat Natal dan Selamat Tahun
Baru! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar