WAFATNYA Nelson
Mandela (1918-2013) meninggalkan kesan haru bagi mereka yang mengenal
perjuangannya. Tokoh legendaris itu berjuang seumur hidup demi penghapusan
diskriminasi rasial di negerinya, Afrika Selatan. Politik segregasi yang
dikenal dengan istilah apartheid, yang berlaku sejak 1948 sampai 1990,
menetapkan negara tersebut ada di bawah kekuasaan minoritas kulit putih.
Namun, dalam pemerintahan Presiden De Klerk (1989-1994) akhirnya apartheid
dihapuskan setelah berjalan 42 tahun. Desakan masyarakat internasional
tentu berpengaruh besar. De Klerk bersama Mandela, yang menggantikan
jabatannya sebagai presiden setelah pemilihan umum multirasial, kemudian
secara bersama-sama memenangi hadiah Nobel Perdamaian 1993.
Perjuangan Mandela
yang diawali di African National Congress (ANC/Partai Kongres Nasional)
Afrika Selatan akhirnya mencemplungkannya ke penjara selama 27 tahun.
Namun, bukan hanya kegigihan perjuangannya yang lama yang membuat
masyarakat politik sedunia terpesona. Sikap dan perilakunya dalam
kepemimpinan pun dikagumi. Dalam artikel majalah Reader's Digest tentang Mandela pada Juli 2013, beberapa
pesannya dimuat, antara lain,
`...Tidak
ada yang dilahirkan untuk membenci orang lain karena warna kulit, latar
belakang, atau agamanya....Jangan lupa bahwa orang suci pun berbuat dosa,
tetapi dia terus-menerus berusaha mengenali sisi-sisi negatif
dirinya....Pendidikan adalah senjata paling ampuh bagi kita untuk mengubah
dunia....'
Nelson Mandela,
keturunan bangsawan dari suku Thembu, kuliah di University of South Africa dan University of Witwaterstrand, mengambil jurusan hukum.
Testimoni tentang kehebatan Mandela antara lain diungkapkan Kofi Annan,
mantan Sekretaris Jenderal PBB, “Orang
sering bertanya pada saya, perbedaan apa yang bisa dibuat seseorang ketika
menghadapi ketidakadilan, konflik, kemiskinan dan penyakit yang diderita
orang banyak? Saya menjawabnya dengan menyebutkan kegigihan, kewibawaan dan
kebesaran Nelson Mandela.“
Bill Clinton, mantan
Presiden Amerika Serikat, mengatakan, “Setiap
kali Nelson Mandela memasuki ruangan, kami semua merasa sedikit lebih
besar, kami semua ingin berdiri, kami semua ingin bertepuk tangan, karena
kami ingin seperti dia pada suatu hari.“
Pemimpin diusung parpol
Tidak semua terpanggil
dan diberkahi menjadi pemimpin. Sebagian memang berhasil meraih jabatan itu
karena keterampilan dan kemampuan. Sebagian lainnya karena kepiawaian
melobi untuk masuk lingkaran kekuasaan, sekalipun mungkin tidak memenuhi
syarat menjadi pemimpin. Tetapi seperti kata Mandela, orang suci pun pernah
berbuat dosa. Yang penting, mampukah dia mengenali kelemahan-kelemahan yang
ada pada dirinya dan berusaha mengatasinya? Itulah inti persoalannya.
Artinya, siapa pun
yang menjadi pemimpin, bagaimana pun caranya, hendaknya menyadari apa yang
diharapkan dari orang-orang sekitarnya.
Jangan malahan menggunakan jabatan kepemimpinan untuk memanfaatkan
kesempatan memenuhi ambisi dan keserakahan pribadi, dan/atau kelompok.
Kurang dari empat
bulan menjelang pemilu, harapan itu tentu ada dalam hati para konstituen
Indonesia. Walaupun kenyataannya, sementara ini yang menjadi fokus
perhatian partai-partai politik adalah bagaimana mengumpulkan suara
sebanyak-banyaknya demi meraup kekuasaan. Mungkin baru kemudian akan
terpikirkan platform yang tepat. Semua partai politik (parpol) mengikuti
koridor berpikir ini karena sikap modern dan pragmatis memaksanya berpikir
dengan cara ini.
Dalam menjalankan
tugas dan kewajibannya, partai-partai politik pastinya tidak lupa akan
panggilannya bahwa dia di sana untuk menjaga jalannya demokrasi dalam
pemerintahan. Sayangnya, sebagian oknum pimpinannya malahan memelopori
maraknya bencana terbesar yang merongrong negeri ini sekarang, yakni
korupsi. Tiada hari tanpa berita tentang korupsi. Banyak yang malah an
menyalahkan penyiaran berita-berita korupsi karena mengacau ketenangan
publik. Dan memang, itu membuat kepercayaan rakyat terhadap partai-partai
politik menipis.
Pemimpin mandiri
Perkembangan politik
sejauh ini menimbulkan pertanyaan, apakah para pemimpin yang dicalonkan
mampu mandiri, ataukah mereka refleksi dari kemauan partai-partai politik
yang mengusungnya? Besar kemungkinan ada kekuatan simbiotis di antara
keduanya. Namun, dengan berkurangnya kepercayaan konstituen pada
partai-partai politik, caloncalon yang akan maju pun kena getahnya. Apakah
fakta itu yang membuat politik uang tidak mungkin ditinggalkan? Semakin
besar uang yang diedarkan, semakin besar kemungkinannya untuk menang. Sebab
sebagian besar konstituen menganggap manfaat uang lebih besar daripada
politik.
Itu mungkin akibat
kurangnya kampanye penerangan politik oleh partai-partai politik. Pikiran
serbainstan tidak menganggap pendidikan politik, yang membutuhkan dana
besar, perlu terus-menerus diadakan untuk membuat para konstituen mengerti
arti politik dan demokrasi. Padahal dalam kebijakan serbainstan, kemenangan
para calon menjadi tidak murni karena lebih diusung oleh `suap' daripada
kesadaran berpolitik.
Apakah belum saatnya
kita mendapatkan pemimpinpemimpin mandiri yang dipercaya rakyat? Tentu para
konstituen perlu tahu tentang kecanggihan para calon pemimpin, antara lain
melalui rekam jejak mereka. Semoga partai-partai politik pun
mempertimbangkan fakta ini. Bila menyimak sejarah politik bangsa ini,
selalu saja muncul tokoh-tokoh yang mendapat panggilan dan berkah ketika
rakyat memerlukan. Mudah-mudahan 2014 membuka kesempatan bagi tokoh-tokoh
macam itu; pemimpin-pemimpin legendaris yang rendah hati, amanah dan peduli
pada rakyat demi kemaslahatan bersama; mirip-mirip jejak Nelson Mandela. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar