Sabtu, 14 Desember 2013

Pemimpin Legendaris

Pemimpin Legendaris
Toeti Prahas Adhitama  ;   Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA,  13 Desember 2013
  


WAFATNYA Nelson Mandela (1918-2013) meninggalkan kesan haru bagi mereka yang mengenal perjuangannya. Tokoh legendaris itu berjuang seumur hidup demi penghapusan diskriminasi rasial di negerinya, Afrika Selatan. Politik segregasi yang dikenal dengan istilah apartheid, yang berlaku sejak 1948 sampai 1990, menetapkan negara tersebut ada di bawah kekuasaan minoritas kulit putih. Namun, dalam pemerintahan Presiden De Klerk (1989-1994) akhirnya apartheid dihapuskan setelah berjalan 42 tahun. Desakan masyarakat internasional tentu berpengaruh besar. De Klerk bersama Mandela, yang menggantikan jabatannya sebagai presiden setelah pemilihan umum multirasial, kemudian secara bersama-sama memenangi hadiah Nobel Perdamaian 1993.

Perjuangan Mandela yang diawali di African National Congress (ANC/Partai Kongres Nasional) Afrika Selatan akhirnya mencemplungkannya ke penjara selama 27 tahun. Namun, bukan hanya kegigihan perjuangannya yang lama yang membuat masyarakat politik sedunia terpesona. Sikap dan perilakunya dalam kepemimpinan pun dikagumi. Dalam artikel majalah Reader's Digest tentang Mandela pada Juli 2013, beberapa pesannya dimuat, antara lain, 

`...Tidak ada yang dilahirkan untuk membenci orang lain karena warna kulit, latar belakang, atau agamanya....Jangan lupa bahwa orang suci pun berbuat dosa, tetapi dia terus-menerus berusaha mengenali sisi-sisi negatif dirinya....Pendidikan adalah senjata paling ampuh bagi kita untuk mengubah dunia....'

Nelson Mandela, keturunan bangsawan dari suku Thembu, kuliah di University of South Africa dan University of Witwaterstrand, mengambil jurusan hukum. Testimoni tentang kehebatan Mandela antara lain diungkapkan Kofi Annan, mantan Sekretaris Jenderal PBB, “Orang sering bertanya pada saya, perbedaan apa yang bisa dibuat seseorang ketika menghadapi ketidakadilan, konflik, kemiskinan dan penyakit yang diderita orang banyak? Saya menjawabnya dengan menyebutkan kegigihan, kewibawaan dan kebesaran Nelson Mandela.“

Bill Clinton, mantan Presiden Amerika Serikat, mengatakan, “Setiap kali Nelson Mandela memasuki ruangan, kami semua merasa sedikit lebih besar, kami semua ingin berdiri, kami semua ingin bertepuk tangan, karena kami ingin seperti dia pada suatu hari.“

Pemimpin diusung parpol

Tidak semua terpanggil dan diberkahi menjadi pemimpin. Sebagian memang berhasil meraih jabatan itu karena keterampilan dan kemampuan. Sebagian lainnya karena kepiawaian melobi untuk masuk lingkaran kekuasaan, sekalipun mungkin tidak memenuhi syarat menjadi pemimpin. Tetapi seperti kata Mandela, orang suci pun pernah berbuat dosa. Yang penting, mampukah dia mengenali kelemahan-kelemahan yang ada pada dirinya dan berusaha mengatasinya? Itulah inti persoalannya.

Artinya, siapa pun yang menjadi pemimpin, bagaimana pun caranya, hendaknya menyadari apa yang diharapkan dari orang-orang sekitarnya.
Jangan malahan menggunakan jabatan kepemimpinan untuk memanfaatkan kesempatan memenuhi ambisi dan keserakahan pribadi, dan/atau kelompok.
Kurang dari empat bulan menjelang pemilu, harapan itu tentu ada dalam hati para konstituen Indonesia. Walaupun kenyataannya, sementara ini yang menjadi fokus perhatian partai-partai politik adalah bagaimana mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya demi meraup kekuasaan. Mungkin baru kemudian akan terpikirkan platform yang tepat. Semua partai politik (parpol) mengikuti koridor berpikir ini karena sikap modern dan pragmatis memaksanya berpikir dengan cara ini.

Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, partai-partai politik pastinya tidak lupa akan panggilannya bahwa dia di sana untuk menjaga jalannya demokrasi dalam pemerintahan. Sayangnya, sebagian oknum pimpinannya malahan memelopori maraknya bencana terbesar yang merongrong negeri ini sekarang, yakni korupsi. Tiada hari tanpa berita tentang korupsi. Banyak yang malah an menyalahkan penyiaran berita-berita korupsi karena mengacau ketenangan publik. Dan memang, itu membuat kepercayaan rakyat terhadap partai-partai politik menipis.

Pemimpin mandiri

Perkembangan politik sejauh ini menimbulkan pertanyaan, apakah para pemimpin yang dicalonkan mampu mandiri, ataukah mereka refleksi dari kemauan partai-partai politik yang mengusungnya? Besar kemungkinan ada kekuatan simbiotis di antara keduanya. Namun, dengan berkurangnya kepercayaan konstituen pada partai-partai politik, caloncalon yang akan maju pun kena getahnya. Apakah fakta itu yang membuat politik uang tidak mungkin ditinggalkan? Semakin besar uang yang diedarkan, semakin besar kemungkinannya untuk menang. Sebab sebagian besar konstituen menganggap manfaat uang lebih besar daripada politik.

Itu mungkin akibat kurangnya kampanye penerangan politik oleh partai-partai politik. Pikiran serbainstan tidak menganggap pendidikan politik, yang membutuhkan dana besar, perlu terus-menerus diadakan untuk membuat para konstituen mengerti arti politik dan demokrasi. Padahal dalam kebijakan serbainstan, kemenangan para calon menjadi tidak murni karena lebih diusung oleh `suap' daripada kesadaran berpolitik.

Apakah belum saatnya kita mendapatkan pemimpinpemimpin mandiri yang dipercaya rakyat? Tentu para konstituen perlu tahu tentang kecanggihan para calon pemimpin, antara lain melalui rekam jejak mereka. Semoga partai-partai politik pun mempertimbangkan fakta ini. Bila menyimak sejarah politik bangsa ini, selalu saja muncul tokoh-tokoh yang mendapat panggilan dan berkah ketika rakyat memerlukan. Mudah-mudahan 2014 membuka kesempatan bagi tokoh-tokoh macam itu; pemimpin-pemimpin legendaris yang rendah hati, amanah dan peduli pada rakyat demi kemaslahatan bersama; mirip-mirip jejak Nelson Mandela.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar