BAYANGKANLAH jika seorang guru atau
dosen setiap meng ajar dalam kelas selalu berkeluh kesah kepada murid atau
mahasiswanya. Bagaimana rasanya? Mereka merasa kesal bukan? Lebih lagi jika
seorang pemimpin sebuah negara selalu berkeluh kesah terhadap rakyatnya. Apa
yang rakyat rasakan?
Inilah negeri keluh kesah. Keluh
tentang kapan tiba saatnya negara ini menuju kebangkitan dan perubahan.
Kesah tentang kinerja kepemimpinan politik yang lemah, seolah semua
berjalan sendiri-sendiri. Hukum berjalan sendiri, kekerasan terus terjadi,
dan korupsi semakin menjadi-jadi.
Selama ini, kepemimpinan di
Republik ini belum mampu menggerakkan perubahan untuk kebangkitan. Kapitalisme
yang menyayat urat nadi harga diri bangsa membuat Republik ini tak mandiri.
Pertanyaan lain, apakah Pemilu 2014 kita akan memiliki kepemimpinan yang
membawa kita menuju kebangkitan dan perubahan?
Nasionalisme muda
Diakui, nasionalisme Indonesia
tergolong paling muda. Dalam catatan Daniel Dhakidae (2003), pada 1885
nasionalisme China daratan sudah dipelopori Sun Yat Sen. Pada tahun yang
sama, The National Congress
didirikan di India. Di Filipina, nasionalisme sudah dikembangkan pada paruh
abad sembilan belas di bawah pimpinan Aguinaldo dan Jose Rizal sebagai
bentuk perlawanan terhadap Spanyol.
Bila tergolong paling muda
daripada China daratan, In dia, atau Filipina, bukan berarti nasionalisme
Indonesia seperti anak ayam yang kes hilangan induknya. Sebagai h sebuah
teks yang terbuka atau interpretatif, nasionalisme Indonesia mengalami
pergeseran orientasi akibat realitas global yang sarat kepentingan kapital.
Karena itu, kita perlu nasionalisme baru.
Nasionalisme baru adalah sebuah
bangsa yang tak dikuasai kaum kapital dan pemilik modal saja. Bila mereka,
kaum kapitalis, saja yang menguasai sumber ekonomi negeri ini, negara ini
pastilah tak tentu arah sehingga keluh kesah dan gelisah menyebar ke
mana-mana. Masyarakat miskin mengeluh buram menatap masa depan kebangsaan.
Martabat bangsa pun dicakar bahkan dicabikcabik. Di mata negara luar kita
dianggap remeh sehingga mudah disadap.
Di samping itu, di dalam negeri
beragam kasus korupsi dan suap yang melibatkan wakil rakyat, penegak hukum,
dan pejabat Mahkama h Konstitusi. Laku tak beradab menghancurkan martabat
negeri yang berusaha tegak bangkit.
Persoalan kebangsaan memang
bukan cuma masalah mencintai dan membela negara saja. Bila pelaksana negara
melakukan tugas dengan baik, rakyat akan merasa lebih baik dan bangga
menjadi bagian dari warga negara. Teladan kebaikan publik elite politik dan
pelaksana negara akan memberikan dorongan bagi kaum papa untuk bangkit.
Persoalan lain, suburnya
berbagai bentuk tribalisme, fanatisme puak, suku, ras dan agama, menjadi
pemicu membara yang melahirkan kekerasan.
Tindakan bersama
Semestinya, makna hidup di dalam
republik berarti menerima suatu kenyataan bahwa yang politik ialah yang
luhur. Menurut Robertus Robet (2006), yang luhur merupakan kesatuan di
dalam tindakan manusia maka politik juga berarti sebuah pernyataan
kelahiran kembali manusia di dalam kebebasannya secara lengkap. Politik
adalah undangan yang terbuka dan terus-menerus.
Karena itu, hidup di dalam
republik berarti menerima keterbukaan akan cakrawala politik yang tiada
henti. Akibatnya tak dikenal hari libur bagi politik di dalam republik. Di
sinilah letak pentingnya pendidikan politik. Namun, celakanya, pendidikan
seba gai jalan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa disemai sebagian kaum
terdidik untuk merusak republik.
Dalam konteks pendidikan
politik, Mestika Zed (2003:251) menjelaskan Bung Hatta sebagai tokoh bangsa
yang paling konsisten dan paling intens mengabdikan diri dan partainya demi
kaderisasi pemimpin bangsa.
Sebagai seorang yang sangat terpelajar sejak usia muda dan aktivitas
politik yang tak kenal menyerah, Bung Hatta tidak suka bila rakyat membeo
kepada pemimpin (termasuk pemimpin partai), menjadi objek tipu daya dan
pembodohan diam-diam demi kepentingan pemimpin sehingga segala sesuatu
keputusan pemimpin harus diterima dengan suka rela.
Bung Hatta berkata, negeri yang
rakyatnya hanya tahu menerima perintah dan tidak pernah turut memperhatikan
atau mengatur pemerintahan negerinya tidak memiliki kemauan dan tidak
melakukan kemauan itu dengan rasa tanggung jawab penuh. Jika demikian,
rakyat tidak akan pernah insyaf akan harga diri dan kedaulatannya sehingga
ia mudah tunduk ke bawah kekuasaan apa dan siapa saja. Rakyat akan tetap
tertindas oleh orang yang berkuasa.
Artinya, pendidikan berkaitan
erat dengan konsep perubahan kesadaran elite politik dan kesadaran rakyat
dari akar-akarnya. Pemahaman lebih luas dan mendalam tentang pendidikan
politik, pendidikan toleransi, dan pendidikan yang bumi merupakan
representasi perubahan dan kebangkitan ke arah yang lebih baik. Untuk
menggapai perubahan, perlu kehendak bersama mengejar keluhuran dan martabat
bangsa.
Makna hidup di dalam republik
berarti hidup dalam konsekuensi etis secara kolektif dalam menumbuhkan
kepercayaan terhadap kepemimpinan republik. Karena itu, dibutuhkan
pemikiran dan tindakan bersama untuk menjadi sebuah republik yang
menghendaki adanya perubahan yang lebih baik. Bukan bersama kita bisa untuk
selalu berkeluh kesah dalam republik, tapi berusaha untuk bangkit. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar