Kamis, 05 Desember 2013

Negeri yang Gelisah

Negeri yang Gelisah
David Krisna Alka ;   Peneliti Populis Institute dan Maarif Institue
for Culture and Humanity
MEDIA INDONESIA,  03 Desember 2013

  

BAYANGKANLAH jika seorang guru atau dosen setiap meng ajar dalam kelas selalu berkeluh kesah kepada murid atau mahasiswanya. Bagaimana rasanya? Mereka merasa kesal bukan? Lebih lagi jika seorang pemimpin sebuah negara selalu berkeluh kesah terhadap rakyatnya. Apa yang rakyat rasakan?

Inilah negeri keluh kesah. Keluh tentang kapan tiba saatnya negara ini menuju kebangkitan dan perubahan. Kesah tentang kinerja kepemimpinan politik yang lemah, seolah semua berjalan sendiri-sendiri. Hukum berjalan sendiri, kekerasan terus terjadi, dan korupsi semakin menjadi-jadi.

Selama ini, kepemimpinan di Republik ini belum mampu menggerakkan perubahan untuk kebangkitan. Kapitalisme yang menyayat urat nadi harga diri bangsa membuat Republik ini tak mandiri. Pertanyaan lain, apakah Pemilu 2014 kita akan memiliki kepemimpinan yang membawa kita menuju kebangkitan dan perubahan?

Nasionalisme muda

Diakui, nasionalisme Indonesia tergolong paling muda. Dalam catatan Daniel Dhakidae (2003), pada 1885 nasionalisme China daratan sudah dipelopori Sun Yat Sen. Pada tahun yang sama, The National Congress didirikan di India. Di Filipina, nasionalisme sudah dikembangkan pada paruh abad sembilan belas di bawah pimpinan Aguinaldo dan Jose Rizal sebagai bentuk perlawanan terhadap Spanyol.

Bila tergolong paling muda daripada China daratan, In dia, atau Filipina, bukan berarti nasionalisme Indonesia seperti anak ayam yang kes hilangan induknya. Sebagai h sebuah teks yang terbuka atau interpretatif, nasionalisme Indonesia mengalami pergeseran orientasi akibat realitas global yang sarat kepentingan kapital. Karena itu, kita perlu nasionalisme baru.

Nasionalisme baru adalah sebuah bangsa yang tak dikuasai kaum kapital dan pemilik modal saja. Bila mereka, kaum kapitalis, saja yang menguasai sumber ekonomi negeri ini, negara ini pastilah tak tentu arah sehingga keluh kesah dan gelisah menyebar ke mana-mana. Masyarakat miskin mengeluh buram menatap masa depan kebangsaan. Martabat bangsa pun dicakar bahkan dicabikcabik. Di mata negara luar kita dianggap remeh sehingga mudah disadap.

Di samping itu, di dalam negeri beragam kasus korupsi dan suap yang melibatkan wakil rakyat, penegak hukum, dan pejabat Mahkama h Konstitusi. Laku tak beradab menghancurkan martabat negeri yang berusaha tegak bangkit.

Persoalan kebangsaan memang bukan cuma masalah mencintai dan membela negara saja. Bila pelaksana negara melakukan tugas dengan baik, rakyat akan merasa lebih baik dan bangga menjadi bagian dari warga negara. Teladan kebaikan publik elite politik dan pelaksana negara akan memberikan dorongan bagi kaum papa untuk bangkit.

Persoalan lain, suburnya berbagai bentuk tribalisme, fanatisme puak, suku, ras dan agama, menjadi pemicu membara yang melahirkan kekerasan.

Tindakan bersama

Semestinya, makna hidup di dalam republik berarti menerima suatu kenyataan bahwa yang politik ialah yang luhur. Menurut Robertus Robet (2006), yang luhur merupakan kesatuan di dalam tindakan manusia maka politik juga berarti sebuah pernyataan kelahiran kembali manusia di dalam kebebasannya secara lengkap. Politik adalah undangan yang terbuka dan terus-menerus.

Karena itu, hidup di dalam republik berarti menerima keterbukaan akan cakrawala politik yang tiada henti. Akibatnya tak dikenal hari libur bagi politik di dalam republik. Di sinilah letak pentingnya pendidikan politik. Namun, celakanya, pendidikan seba gai jalan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa disemai sebagian kaum terdidik untuk merusak republik.

Dalam konteks pendidikan politik, Mestika Zed (2003:251) menjelaskan Bung Hatta sebagai tokoh bangsa yang paling konsisten dan paling intens mengabdikan diri dan partainya demi kaderisasi pemimpin bangsa.

Sebagai seorang yang sangat terpelajar sejak usia muda dan aktivitas politik yang tak kenal menyerah, Bung Hatta tidak suka bila rakyat membeo kepada pemimpin (termasuk pemimpin partai), menjadi objek tipu daya dan pembodohan diam-diam demi kepentingan pemimpin sehingga segala sesuatu keputusan pemimpin harus diterima dengan suka rela.

Bung Hatta berkata, negeri yang rakyatnya hanya tahu menerima perintah dan tidak pernah turut memperhatikan atau mengatur pemerintahan negerinya tidak memiliki kemauan dan tidak melakukan kemauan itu dengan rasa tanggung jawab penuh. Jika demikian, rakyat tidak akan pernah insyaf akan harga diri dan kedaulatannya sehingga ia mudah tunduk ke bawah kekuasaan apa dan siapa saja. Rakyat akan tetap tertindas oleh orang yang berkuasa.

Artinya, pendidikan berkaitan erat dengan konsep perubahan kesadaran elite politik dan kesadaran rakyat dari akar-akarnya. Pemahaman lebih luas dan mendalam tentang pendidikan politik, pendidikan toleransi, dan pendidikan yang bumi merupakan representasi perubahan dan kebangkitan ke arah yang lebih baik. Untuk menggapai perubahan, perlu kehendak bersama mengejar keluhuran dan martabat bangsa.

Makna hidup di dalam republik berarti hidup dalam konsekuensi etis secara kolektif dalam menumbuhkan kepercayaan terhadap kepemimpinan republik. Karena itu, dibutuhkan pemikiran dan tindakan bersama untuk menjadi sebuah republik yang menghendaki adanya perubahan yang lebih baik. Bukan bersama kita bisa untuk selalu berkeluh kesah dalam republik, tapi berusaha untuk bangkit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar