Minggu, 22 Desember 2013

Panggung Sejarah dan Narasi Film

Panggung Sejarah dan Narasi Film
Munawir Aziz  ;   Peneliti, Research Fellow pada Goethe University Frankfurt Jerman
SUARA MERDEKA,  19 Desember 2013
  


FILM Soekarno: Indonesia Merdeka karya Hanung Bramantyo yang dirilis Desember 2013, membuka gerbang tentang tafsir sejarah atas tokoh kemerdekaan.

Film itu memberi beberapa catatan penting tentang bagaimana episode panjang kehidupan sang tokoh diringkas dalam hitungan menit dan detik. Karya sinema itu menambah daftar tentang catatan tokoh bangsa pada layar kaca. 

Sebelumnya, Sang Pencerah mengisahkan kehidupan KH Ahmad Dahlan (1868-1923), pendiri Muhammadiyah. Juga, film Sang Kyai yang menghimpun kisah perjuangan Hadratus Syech Hasyim Asyíarie (1875-1947), penggagas organisasi Nahdlatul Ulama.

Kisah-kisah sejarah yang disajikan dalam film tentu tak dapat merangkum puluhan tahun kehidupan sang tokoh. Sketsa panjang kehidupan yang diringkas dalam rangkaian adegan demi adegan, sejatinya usaha kreatif menampilkan sebuah sisi, sekaligus menenggelamkan sisi yang lain. Film sebagai dokumentasi senantiasa membuka ruang tafsir dan imaji baru atas narasi historis seorang tokoh. Film dalam konteks ini juga menggiring konstruksi sejarah dan tafsiran historis baru atas image sang tokoh.

Maka, pelbagai komentar atas film-film yang mengangkat kehidupan sang tokoh bangsa, acap menjadi ajang perdebatan. Bukan saja menyangkut kepentingan tentang narasi film, sebagai bagian dari konstruksi sejarah, melainkan hal-hal yang terkoneksi dengan film juga menjadi bagian penting: dari motif, ideologi, hingga strategi pasar. Dalam historiografi Indonesia, Soekarno menjadi tokoh penting dalam pergerakan kemerdekaan.

Sang Putra Fajar ini, bersama Moh Hatta merupakan aktor penting di balik proklamasi kemerdekaan. Soekarno (6 Juni 1901-21 Juni 1970) menakhodai politik Indonesia dengan menjadi presiden pertama, sejak negeri ini merdeka. Narasi sejarah tentang tokoh-tokoh yang memperjuangkan kemerdekaan, selama ini banyak dikonstruksi melalui media buku. Buku sejarah sebagai karya akademik tentang tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan, terus bermunculan. Karya-karya akademisi, dengan pelbagai cara pandang dan kontroversi menghiasi narasi sejarah nasional.

Di sisi lain, sastra juga memberikan sumbangan berarti tentang kisah kemerdekaan negeri ini. Novel, cerpen, puisi dan kisah di panggung teater memberikan konstribusi untuk mengonstruksi sejarah. Dalam konteks ini, sebagai karya seni, ’’Soekarno: Indonesia Merdeka’’ berkontribusi untuk kembali mendekatkan narasi sejarah dengan memori publik.

Pengenalan lewat media populer lebih mudah diterima oleh generasi yang terpaut jauh dari peristiwa dan kiprah kehidupan Soekarno. Tapi, karya seni ini dapat menjadi senjata untuk membentuk nalar publik terhadap sosok yang selama ini menjadi penanda perjuangan bangsa. Soekarno, dengan pelbagai kisah hidupnya, akan mengalami proses penafsiran baru, dengan perangkat film garapan Hanung.

Kehadiran Stereotipe

Sebagai sketsa sejarah, film ini tentu mengalami banyak distorsi terhadap kiprah panjang Soekarno di Indonesia. Kekuatan riset akan menjadi instumen utama untuk mendekatkan fakta dan peristiwa dalam lensa kamera. Reaksi terhadap film itu menjadi penanda bagaimana narasi historis berbanding dengan konstruksi peristiwa.

Komentar Guruh Soekarno Putra, ketika melihat tayangan perdana menjadi menarik, ”Kalau ditanya bagaimana film ini, saya katakan sudah baik. Namun belum cukup baik jika disejajarkan dengan film-film biografi lain,’’ ungkap Guruh. Di sisi lain, Rachmawati Soekarno justru menilai bahwa film Soekarno tidak layak ditonton.

Ungkapan kekecewaan Rachmawati ini menjadi suara sumbang di tengah narasi besar tentang film tersebut. Konstruksi citra, permainan simbol, dan dekonstruksi-konstruksi sejarah baru atas kisah Soekarno menjadi bagian dari narasi film itu. Pengungkapan simbol, narasi, dan alur sejarah dalam sebuah film akan berdampak pada citra dan mitos terhadap sang tokoh, juga kehadiran stereotipe baru. Jorg Schweinitz (2011) menghamparkan tesis tentang bagaimana film-film membuka kemungkinan kehadiran stereotipe.

Film, di satu sisi membangun citra tentang posisi tokoh, narasi yang dikonstruksi, dan mitos-mitos baru yang disegarkan. Di sisi lain, film dapat berfungsi mencipta stereotipe yang berkorelasi dengan diskursus tentang peristiwa dalam sejarah. Dalam hal ini, anggapan Schweinitz bahwa film yang meringkas periode panjang sebuah peristiwa, dapat tergelincir dalam dalam reduksi dan simplifikasi.

Tak mudah meringkas lakon panjang berupa kisah perjuangan seorang tokoh dalam sebuah film. Mengisahkan tokoh dari sebuah sisi, dengan konstruksi ideologi dan politik di baliknya merupakan usaha mengonstruksi sejarah baru. Tapi, point-nya adalah sketsa tentang sebuah tokoh, dengan pendekatan media yang lebih populer.

Konstruksi citra dalam film Soekarno akan memengaruhi pandangan lapisan baru generasi muda negeri ini, tentang identitas sang tokoh. Selain itu, berdampak pada demistifikasi dan narasi simbolik yang menyertai. Pada titik ini, waktu yang akan menguji kontribusi film garapan Hanung. Film-film lain tentang kisah tokoh bangsa, juga selayaknya dipanggungkan dalam narasi film. Kita tunggu saja.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar