Panggung
Sejarah dan Narasi Film
Munawir Aziz ; Peneliti, Research Fellow pada Goethe University Frankfurt Jerman
|
SUARA
MERDEKA, 19 Desember 2013
FILM Soekarno: Indonesia Merdeka karya
Hanung Bramantyo yang dirilis Desember 2013, membuka gerbang tentang tafsir
sejarah atas tokoh kemerdekaan.
Film itu memberi beberapa
catatan penting tentang bagaimana episode panjang kehidupan sang tokoh
diringkas dalam hitungan menit dan detik. Karya sinema itu menambah daftar
tentang catatan tokoh bangsa pada layar kaca.
Sebelumnya, Sang Pencerah
mengisahkan kehidupan KH Ahmad Dahlan (1868-1923), pendiri Muhammadiyah.
Juga, film Sang Kyai yang menghimpun kisah perjuangan Hadratus Syech Hasyim
Asyíarie (1875-1947), penggagas organisasi Nahdlatul Ulama.
Kisah-kisah sejarah yang
disajikan dalam film tentu tak dapat merangkum puluhan tahun kehidupan sang
tokoh. Sketsa panjang kehidupan yang diringkas dalam rangkaian adegan demi
adegan, sejatinya usaha kreatif menampilkan sebuah sisi, sekaligus
menenggelamkan sisi yang lain. Film sebagai dokumentasi senantiasa membuka
ruang tafsir dan imaji baru atas narasi historis seorang tokoh. Film dalam
konteks ini juga menggiring konstruksi sejarah dan tafsiran historis baru
atas image sang tokoh.
Maka, pelbagai komentar
atas film-film yang mengangkat kehidupan sang tokoh bangsa, acap menjadi
ajang perdebatan. Bukan saja menyangkut kepentingan tentang narasi film,
sebagai bagian dari konstruksi sejarah, melainkan hal-hal yang terkoneksi
dengan film juga menjadi bagian penting: dari motif, ideologi, hingga
strategi pasar. Dalam historiografi Indonesia, Soekarno menjadi tokoh penting
dalam pergerakan kemerdekaan.
Sang Putra Fajar ini,
bersama Moh Hatta merupakan aktor penting di balik proklamasi kemerdekaan.
Soekarno (6 Juni 1901-21 Juni 1970) menakhodai politik Indonesia dengan
menjadi presiden pertama, sejak negeri ini merdeka. Narasi sejarah tentang
tokoh-tokoh yang memperjuangkan kemerdekaan, selama ini banyak dikonstruksi
melalui media buku. Buku sejarah sebagai karya akademik tentang tokoh-tokoh
pejuang kemerdekaan, terus bermunculan. Karya-karya akademisi, dengan
pelbagai cara pandang dan kontroversi menghiasi narasi sejarah nasional.
Di sisi lain, sastra juga
memberikan sumbangan berarti tentang kisah kemerdekaan negeri ini. Novel,
cerpen, puisi dan kisah di panggung teater memberikan konstribusi untuk
mengonstruksi sejarah. Dalam konteks ini, sebagai karya seni, ’’Soekarno:
Indonesia Merdeka’’ berkontribusi untuk kembali mendekatkan narasi sejarah
dengan memori publik.
Pengenalan lewat media
populer lebih mudah diterima oleh generasi yang terpaut jauh dari peristiwa
dan kiprah kehidupan Soekarno. Tapi, karya seni ini dapat menjadi senjata untuk
membentuk nalar publik terhadap sosok yang selama ini menjadi penanda
perjuangan bangsa. Soekarno, dengan pelbagai kisah hidupnya, akan mengalami
proses penafsiran baru, dengan perangkat film garapan Hanung.
Kehadiran
Stereotipe
Sebagai sketsa sejarah,
film ini tentu mengalami banyak distorsi terhadap kiprah panjang Soekarno di
Indonesia. Kekuatan riset akan menjadi instumen utama untuk mendekatkan fakta
dan peristiwa dalam lensa kamera. Reaksi terhadap film itu menjadi penanda
bagaimana narasi historis berbanding dengan konstruksi peristiwa.
Komentar Guruh Soekarno
Putra, ketika melihat tayangan perdana menjadi menarik, ”Kalau ditanya bagaimana film ini, saya katakan sudah baik. Namun
belum cukup baik jika disejajarkan dengan film-film biografi lain,’’ ungkap
Guruh. Di sisi lain, Rachmawati Soekarno justru menilai bahwa film Soekarno
tidak layak ditonton.
Ungkapan kekecewaan
Rachmawati ini menjadi suara sumbang di tengah narasi besar tentang film
tersebut. Konstruksi citra, permainan simbol, dan dekonstruksi-konstruksi
sejarah baru atas kisah Soekarno menjadi bagian dari narasi film itu.
Pengungkapan simbol, narasi, dan alur sejarah dalam sebuah film akan
berdampak pada citra dan mitos terhadap sang tokoh, juga kehadiran stereotipe
baru. Jorg Schweinitz (2011) menghamparkan tesis tentang bagaimana film-film
membuka kemungkinan kehadiran stereotipe.
Film, di satu sisi
membangun citra tentang posisi tokoh, narasi yang dikonstruksi, dan
mitos-mitos baru yang disegarkan. Di sisi lain, film dapat berfungsi mencipta
stereotipe yang berkorelasi dengan diskursus tentang peristiwa dalam sejarah.
Dalam hal ini, anggapan Schweinitz bahwa film yang meringkas periode panjang
sebuah peristiwa, dapat tergelincir dalam dalam reduksi dan simplifikasi.
Tak mudah meringkas lakon
panjang berupa kisah perjuangan seorang tokoh dalam sebuah film. Mengisahkan
tokoh dari sebuah sisi, dengan konstruksi ideologi dan politik di baliknya
merupakan usaha mengonstruksi sejarah baru. Tapi, point-nya adalah sketsa tentang sebuah tokoh, dengan pendekatan
media yang lebih populer.
Konstruksi citra dalam
film Soekarno akan memengaruhi pandangan lapisan baru generasi muda negeri
ini, tentang identitas sang tokoh. Selain itu, berdampak pada demistifikasi
dan narasi simbolik yang menyertai. Pada titik ini, waktu yang akan menguji
kontribusi film garapan Hanung. Film-film lain tentang kisah tokoh bangsa,
juga selayaknya dipanggungkan dalam narasi film. Kita tunggu saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar