Minggu, 22 Desember 2013

Jalan Kebangkitan Rupiah

Jalan Kebangkitan Rupiah
FX Sugiyanto  ;   Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro
SUARA MERDEKA,  18 Desember 2013
  


RUPIAH seharusnya sudah berada pada titik baru keseimbangan tetapi saat ini dengan angka Rp 12.081 per dolar AS (kurs 13  Desember 2013), sungguh posisi yang terlalu rendah, dan terlalu jauh melemah.

Kemerosotan nilai tukar rupiah bukan semata-mata karena fenomena moneter, atau karena jatuh temponya berbagai kewajiban luar negeri dan kondisi eksternal, melainkan disebabkan kerapuhan faktor fundamental ekonomi nasional. 

Posisi rupiah terhadap dolar AS saat ini sudah terlalu rendah di bawah kurs paritas. Mengikuti teori International Fisher Effect, mestinya posisi saat ini sekitar Rp 10.445 per dolar AS.

Itu adalah posisi keseimbangan jangka panjang rupiah terhadap dolar. Tidak berbeda jauh dari pendekatan Fisher Effect, berdasarkan pendekatan International Interest Parity, posisi rupiah mestinya sekitar Rp 10.923 per dolar. Itu adalah posisi keseimbangan jangka pendek rupiah terhadap dolar AS.

Apa pun pendekatan yang digunakan, saat ini rupiah berada di bawah posisi keseimbangannya, baik keseimbangan jangka pendek maupun jangka panjang. Posisi ideal atau keseimbangan mestinya antara Rp 10.500 dan Rp 11.000 per dolar AS. 

Tugas utama pemerintah dan otoritas moneter saat ini adalah mencari jalan keluar dan mengembalikan rupiah pada nilai tukar wajar. Peta jalan itu tidak mudah namun secara garis besar harus melalui dua jalur sekaligus.

Jalur itu yakni sektor moneter yang cenderung lebih memengaruhi sisi permintaan dan segera dirasakan hasilnya atau jangka pendek. Selain itu, jalur sektor riil yang cenderung lebih memengaruhi sisi pernawaran dan bersifat jangka panjang.

Pendekatan Fundamental

Kedua jalur tersebut adalah pendekatan fundamental. Sementara untuk pendekatan yang bersifat teknikal, semisal karena jatuh temponya berbagai kewajiban internasional seperti utang, atau faktor  eksternal karena kebijakan negara lain, dapat dipadukan dengan dua pendekatan fundamental tersebut. 

Kebijakan BI menaikkan suku bunga acuan, BI rate, menjadi 7,50% memang tepat, terutama dalam persepektif jangka pendek dan dari sisi permintaan. Langkah itu bisa dilihat sebagai upaya membawa rupiah pada posisi keseimbangan jangka pendek (menurut pendekatan International  Interest Parity).

Langkah bank sentral itu mendasarkan keyakinan bahwa meningkatkan suku bunga adalah jalan pendek untuk mengurangi spekulasi dan pelarian aset-aset finansial ke luar negeri.  Keyakinan ini mendasarkan pada korelasi positif antara kenikan  BI rate, bunga kredit, dan jumlah uang beredar (JUB).

Berbasis data 2003-2013, korelasi antara BI rate dan bunga kredit sekitar 0,7-0,8. Artinya, kebijakan menaikkan BI rate akan diikuti kenaikan suku bunga kredit dengan kemungkinan 70-80%. Korelasi antara BI rate dan JUB dalam arti luas (M-2) sekitar 0,60. Artinya, kenaikan itu kemungkinan besar diikuti pengurangan JUB, khususnya uang kuasi. Dari basis data yang sama bisa diketahui korelasi antara pertumbuhan JUB (M-2) dan laju inflasi sekitar 0,6. 
Artinya, pengendalian JUB melalui pengurangan M-2 dapat menahan laju inflasi, walau kemampuannya tidak terlalu kuat.

BI mengendalikan rupiah terbatas hanya pada perilaku transaksi below the line, yakni transaksi finansial dalam neraca pembayaran. Adapun transaksi above the line, yaitu transaksi barang dan jasa dalam neraca pembayaran, lebih banyak ada pada kewenangan pemerintah.

Yang diperlukan saat ini, BI tetap mempertahankan posisi suku bunga sampai ada tanda-tanda inflasi bisa mulai menurun. Kita tidak memungkiri kebijakan bunga tinggi pasti membawa korban, cenderung mengerem permintaan dan laju pertumbuhan ekonomi.

Korban memang tidak terhindarkan mengingat secara empiris penurunan M-2 oleh bunga tinggi ini punya korelasi kuat, sekitar 0,8, terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi.

Padahal daya tahan rupiah sangat dipengaruhi oleh perilaku transaksi above the line. Mengacu perkembangan transaksi tersebut, posisi rupiah diperkirakan baru mulai menguat paling cepat akhir triwulan II/2014.

Itu pun belum mencapai posisi keseimbangan jangka pendek, apalagi posisi keseimbangan jangka panjang. Posisi keseimbangan kemungkinan terjadi pada akhir triwulan II/2015. Ada dua komponen utama yang perlu dibenahi berkait transaksi above the line. Pertama; kecenderungan menurunnya surplus neraca perdagangan.

Sejak triwulan IV/2011, surplus perdagangan cenderung menurun, bahkan pada triwulan II dan III/2013 malah defisit. Triwulan III/2011 surplus perdagangan 9,7 miliar dolar AS dan terus menurun hingga defisit 7 juta dolar AS pada triwulan III/2013. Kedua; kecenderungan meningkat dan besarnya defisit neraca jasa. Pada triwulan I/2012, transaksi jasa defisit 6,9 miliar dolar AS meningkat menjadi 8,4 miliar dolar AS pada triwulan III/2013.

Pembenahan transaksi above the line adalah pembenahan yang terkait dengan sektor riil dan sisi penawaran dan bersifat jangka panjang. Dalam konteks itu, kebijakan pemerintah mengenakan pajak impor atas barang mewah guna mengerem laju defisit transaksi berjalan patut diapresiasi, tetapi langkah itu sangat tidak cukup.

Pembenahan dua problem utama pada transaksi barang dan transaksi tersebut haruslah komprehensif, by design, dan tidak parsial. Artinya, pemerintah mestinya mempunyai peta jalan (roadmap) yang jelas, terukur, dan bertahap yang semua itu bermuara pada kemeningkatan daya saing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar