Jalan
Kebangkitan Rupiah
FX Sugiyanto ; Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro
|
SUARA
MERDEKA, 18 Desember 2013
RUPIAH seharusnya sudah berada
pada titik baru keseimbangan tetapi saat ini dengan angka Rp 12.081 per dolar
AS (kurs 13 Desember 2013), sungguh posisi yang terlalu rendah, dan
terlalu jauh melemah.
Kemerosotan
nilai tukar rupiah bukan semata-mata karena fenomena moneter, atau karena
jatuh temponya berbagai kewajiban luar negeri dan kondisi eksternal,
melainkan disebabkan kerapuhan faktor fundamental ekonomi nasional.
Posisi rupiah
terhadap dolar AS saat ini sudah terlalu rendah di bawah kurs paritas.
Mengikuti teori International Fisher Effect, mestinya posisi saat ini sekitar
Rp 10.445 per dolar AS.
Itu adalah
posisi keseimbangan jangka panjang rupiah terhadap dolar. Tidak berbeda jauh
dari pendekatan Fisher Effect, berdasarkan pendekatan International Interest
Parity, posisi rupiah mestinya sekitar Rp 10.923 per dolar. Itu adalah posisi
keseimbangan jangka pendek rupiah terhadap dolar AS.
Apa pun
pendekatan yang digunakan, saat ini rupiah berada di bawah posisi
keseimbangannya, baik keseimbangan jangka pendek maupun jangka panjang.
Posisi ideal atau keseimbangan mestinya antara Rp 10.500 dan Rp 11.000 per
dolar AS.
Tugas utama
pemerintah dan otoritas moneter saat ini adalah mencari jalan keluar dan
mengembalikan rupiah pada nilai tukar wajar. Peta jalan itu tidak mudah namun
secara garis besar harus melalui dua jalur sekaligus.
Jalur itu
yakni sektor moneter yang cenderung lebih memengaruhi sisi permintaan dan
segera dirasakan hasilnya atau jangka pendek. Selain itu, jalur sektor riil
yang cenderung lebih memengaruhi sisi pernawaran dan bersifat jangka panjang.
Pendekatan Fundamental
Kedua jalur
tersebut adalah pendekatan fundamental. Sementara untuk pendekatan yang
bersifat teknikal, semisal karena jatuh temponya berbagai kewajiban
internasional seperti utang, atau faktor eksternal karena kebijakan
negara lain, dapat dipadukan dengan dua pendekatan fundamental
tersebut.
Kebijakan BI
menaikkan suku bunga acuan, BI rate, menjadi 7,50% memang tepat, terutama
dalam persepektif jangka pendek dan dari sisi permintaan. Langkah itu bisa
dilihat sebagai upaya membawa rupiah pada posisi keseimbangan jangka pendek
(menurut pendekatan International
Interest Parity).
Langkah bank
sentral itu mendasarkan keyakinan bahwa meningkatkan suku bunga adalah jalan
pendek untuk mengurangi spekulasi dan pelarian aset-aset finansial ke luar
negeri. Keyakinan ini mendasarkan pada korelasi positif antara
kenikan BI rate, bunga kredit, dan jumlah uang beredar (JUB).
Berbasis data
2003-2013, korelasi antara BI rate dan bunga kredit sekitar 0,7-0,8. Artinya,
kebijakan menaikkan BI rate akan diikuti kenaikan suku bunga kredit dengan
kemungkinan 70-80%. Korelasi antara BI rate dan JUB dalam arti luas (M-2)
sekitar 0,60. Artinya, kenaikan itu kemungkinan besar diikuti pengurangan
JUB, khususnya uang kuasi. Dari basis data yang sama bisa diketahui korelasi
antara pertumbuhan JUB (M-2) dan laju inflasi sekitar 0,6.
Artinya,
pengendalian JUB melalui pengurangan M-2 dapat menahan laju inflasi, walau
kemampuannya tidak terlalu kuat.
BI
mengendalikan rupiah terbatas hanya pada perilaku transaksi below the line, yakni transaksi
finansial dalam neraca pembayaran. Adapun transaksi above the line, yaitu
transaksi barang dan jasa dalam neraca pembayaran, lebih banyak ada pada
kewenangan pemerintah.
Yang
diperlukan saat ini, BI tetap mempertahankan posisi suku bunga sampai ada
tanda-tanda inflasi bisa mulai menurun. Kita tidak memungkiri kebijakan bunga
tinggi pasti membawa korban, cenderung mengerem permintaan dan laju
pertumbuhan ekonomi.
Korban memang
tidak terhindarkan mengingat secara empiris penurunan M-2 oleh bunga tinggi
ini punya korelasi kuat, sekitar 0,8, terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi.
Padahal daya
tahan rupiah sangat dipengaruhi oleh perilaku transaksi above the line. Mengacu
perkembangan transaksi tersebut, posisi rupiah diperkirakan baru mulai
menguat paling cepat akhir triwulan II/2014.
Itu pun belum
mencapai posisi keseimbangan jangka pendek, apalagi posisi keseimbangan
jangka panjang. Posisi keseimbangan kemungkinan terjadi pada akhir triwulan
II/2015. Ada dua komponen utama yang perlu dibenahi berkait transaksi above
the line. Pertama; kecenderungan menurunnya surplus neraca perdagangan.
Sejak triwulan
IV/2011, surplus perdagangan cenderung menurun, bahkan pada triwulan II dan
III/2013 malah defisit. Triwulan III/2011 surplus perdagangan 9,7 miliar
dolar AS dan terus menurun hingga defisit 7 juta dolar AS pada triwulan
III/2013. Kedua; kecenderungan meningkat dan besarnya defisit neraca jasa.
Pada triwulan I/2012, transaksi jasa defisit 6,9 miliar dolar AS meningkat
menjadi 8,4 miliar dolar AS pada triwulan III/2013.
Pembenahan
transaksi above the line adalah
pembenahan yang terkait dengan sektor riil dan sisi penawaran dan bersifat
jangka panjang. Dalam konteks itu, kebijakan pemerintah mengenakan pajak
impor atas barang mewah guna mengerem laju defisit transaksi berjalan patut
diapresiasi, tetapi langkah itu sangat tidak cukup.
Pembenahan dua
problem utama pada transaksi barang dan transaksi tersebut haruslah komprehensif,
by design, dan tidak parsial.
Artinya, pemerintah mestinya mempunyai peta jalan (roadmap) yang jelas, terukur, dan bertahap yang semua itu
bermuara pada kemeningkatan daya saing. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar