Sabtu, 14 Desember 2013

Melek di Depan Televisi

Melek di Depan Televisi
Sugeng Winarno  ;   Pegiat Literasi Media, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP
Universitas Muhammadiyah Malang
JAWA POS,  13 Desember 2013

  

KOMISI Penyiaran Indonesia (KPI) menegur enam stasiun televisi nasional karena melakukan penyimpangan dalam penyiaran politik. Enam stasiun televisi nasional itu adalah RCTI, MNCTV, Global TV, An TV, TV One, dan Metro TV. Berdasar hasil monitoring KPI, ditemukan beberapa stasiun televisi tersebut tidak proporsional dalam menyiarkan isu-isu politik, termasuk menayangkan iklan politik yang mengandung unsur kampanye (Jawa Pos, 6/12/2013). 

Langkah KPI itu bisa dibilang telat. Sebab, faktanya, sejak awal 2013 yang dinyatakan sebagai tahun politik, telah terjadi praktik penyimpangan yang dilakukan televisi. Televisi sering alpa menjunjung sikap proporsionalitas, independensi, dan netralitas dalam siaran-siaran politiknya. 

Televisi memang media yang ampuh. Televisi bisa menjadikan orang from zero to hero, atau sebaliknya. Karena kesaktian televisi tersebut, banyak politikus berebut tampil, menebar pesona guna mendulang simpati dari pemirsa. Mengingat televisi adalah industri, uanglah yang menjadi panglima.

Hanya orang-orang berduit yang bisa membeli slot iklan dan orang-orang kaya yang senantiasa leluasa tampil memesona di layar kaca. Sementara itu, mereka yang papa hanya bisa memandangi kaum kaya menebar pesona.

Frekuensi Milik Publik 

Adanya praktik penyimpangan dalam dunia penyiaran di negeri ini mengindikasikan bahwa para pemilik televisi menjalankan medianya out of the track. Televisi hadir lebih untuk memenuhi selera pemiliknya ketimbang menjalankan peran memberikan informasi dan edukasi bagi masyarakat. Karena pemilik begitu perkasa, apa pun orientasi dan kepentingan pemilik dengan leluasa bisa mengudara. Dalam hubungan itu, tidak jarang kepentingan masyarakat terpinggirkan oleh ambisi pemilik media.

Beberapa stasiun televisi telah menjalankan praktiknya sebagai media partisan. Televisi hadir guna membela kelompok, partai, atau golongan tertentu. Tampaknya logis karena dia adalah pemilik sebuah stasiun televisi tertentu sehingga dia bisa seenaknya menggunakan televisinya untuk kepentingan pribadi dan partainya. Namun, perilaku itu menjadi masalah karena televisi menggunakan frekuensi yang menjadi milik publik. 

Berkaitan dengan Pemilu 2014, televisi mestinya memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada seluruh kontestan pemilu. Independensi dan netralitas juga patut selalu dijunjung televisi dalam upaya memenuhi hak publik guna mendapatkan informasi pemilu yang benar. 

Melek Media, Matikan Televisi 

Satu tumpuan guna memperbaiki kondisi tersebut ialah memberdayakan masyarakat dalam bermedia. Masyarakat penonton harus cerdas dalam memilih dan memilah media. Justru masyarakatlah yang mempunyai kekuatan yang ampuh karena mereka bisa menolak media yang dinilai bersalah. Maka otomatis, ketika televisi ditinggalkan penontonnya, keberlangsungan hidupnya tidak akan bertahan lama. 

James Potter, dalam bukunya yang berjudul Media Literacy (Potter, 2001), mengatakan bahwa media literacy adalah sebuah perspektif yang digunakan secara aktif ketika individu mengakses media dengan tujuan untuk memaknai pesan yang disampaikan oleh media. Intinya adalah bagaimana konsumen media kritis terhadap isi pesan yang sedang dikonsumsi. 

Gerakan literasi media muncul sebagai bentuk kekhawatiran akan pengaruh media yang lebih berdampak buruk bagi masyarakat. Selain itu, dengan kemampuan melek media masyarakat, kekuatan pemilik dan pelaku media bisa lebih dikontrol. Dengan begitu, kekuatan antara media dan masyarakat konsumen media bisa berimbang, tidak ada yang lebih dominan. 

Ada beberapa prinsip yang harus dimengerti agar pemahaman terhadap literasi media televisi dapat lebih komprehensif. Penonton televisi harus sadar bahwa isi tayangan televisi merupakan hasil konstruksi dan televisi merepresentasikan konstruksi realitas (bukan realitas utuh). Bahwa konstruksi televisi mempunyai tujuan komersial, isi pesan media mempunyai muatan nilai dan ideologi. Selain itu, isi televisi tidak terlepas dari muatan sosial dan politik.

Tanpa kemampuan melek media (media literate), masyarakat hanya akan menjadi bulan-bulanan pemilik televisi. Kekuatan masyarakat bisa menjadi yang utama, ketika KPI hanya mampu membuat teguran dan melayangkan surat peringatan yang tidak membuat jera pengelola televisi. 

Upaya konkret yang bisa dilakukan masyarakat ialah mematikan televisi yang partisan. Klik!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar