KOMISI Penyiaran Indonesia
(KPI) menegur enam stasiun televisi nasional karena melakukan penyimpangan
dalam penyiaran politik. Enam stasiun televisi nasional itu adalah RCTI,
MNCTV, Global TV, An TV, TV One, dan Metro TV. Berdasar hasil monitoring
KPI, ditemukan beberapa stasiun televisi tersebut tidak proporsional dalam
menyiarkan isu-isu politik, termasuk menayangkan iklan politik yang
mengandung unsur kampanye (Jawa Pos, 6/12/2013).
Langkah KPI itu bisa dibilang telat. Sebab,
faktanya, sejak awal 2013 yang dinyatakan sebagai tahun politik, telah
terjadi praktik penyimpangan yang dilakukan televisi. Televisi sering alpa
menjunjung sikap proporsionalitas, independensi, dan netralitas dalam
siaran-siaran politiknya.
Televisi memang media yang ampuh. Televisi
bisa menjadikan orang from zero to hero, atau sebaliknya. Karena kesaktian
televisi tersebut, banyak politikus berebut tampil, menebar pesona guna
mendulang simpati dari pemirsa. Mengingat televisi adalah industri, uanglah
yang menjadi panglima.
Hanya orang-orang berduit yang bisa membeli
slot iklan dan orang-orang kaya yang senantiasa leluasa tampil memesona di
layar kaca. Sementara itu, mereka yang papa hanya bisa memandangi kaum kaya
menebar pesona.
Frekuensi Milik Publik
Adanya praktik penyimpangan dalam dunia
penyiaran di negeri ini mengindikasikan bahwa para pemilik televisi
menjalankan medianya out of the track. Televisi hadir lebih untuk memenuhi
selera pemiliknya ketimbang menjalankan peran memberikan informasi dan
edukasi bagi masyarakat. Karena pemilik begitu perkasa, apa pun orientasi
dan kepentingan pemilik dengan leluasa bisa mengudara. Dalam hubungan itu,
tidak jarang kepentingan masyarakat terpinggirkan oleh ambisi pemilik media.
Beberapa stasiun televisi telah menjalankan
praktiknya sebagai media partisan. Televisi hadir guna membela kelompok,
partai, atau golongan tertentu. Tampaknya logis karena dia adalah pemilik
sebuah stasiun televisi tertentu sehingga dia bisa seenaknya menggunakan
televisinya untuk kepentingan pribadi dan partainya. Namun, perilaku itu
menjadi masalah karena televisi menggunakan frekuensi yang menjadi milik
publik.
Berkaitan dengan Pemilu 2014, televisi
mestinya memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada seluruh
kontestan pemilu. Independensi dan netralitas juga patut selalu dijunjung
televisi dalam upaya memenuhi hak publik guna mendapatkan informasi pemilu
yang benar.
Melek Media, Matikan Televisi
Satu tumpuan guna memperbaiki kondisi tersebut
ialah memberdayakan masyarakat dalam bermedia. Masyarakat penonton harus
cerdas dalam memilih dan memilah media. Justru masyarakatlah yang mempunyai
kekuatan yang ampuh karena mereka bisa menolak media yang dinilai bersalah.
Maka otomatis, ketika televisi ditinggalkan penontonnya, keberlangsungan
hidupnya tidak akan bertahan lama.
James Potter, dalam bukunya yang berjudul Media Literacy (Potter, 2001), mengatakan bahwa media literacy adalah sebuah
perspektif yang digunakan secara aktif ketika individu mengakses media
dengan tujuan untuk memaknai pesan yang disampaikan oleh media. Intinya
adalah bagaimana konsumen media kritis terhadap isi pesan yang sedang
dikonsumsi.
Gerakan literasi media muncul sebagai bentuk
kekhawatiran akan pengaruh media yang lebih berdampak buruk bagi
masyarakat. Selain itu, dengan kemampuan melek media masyarakat, kekuatan
pemilik dan pelaku media bisa lebih dikontrol. Dengan begitu, kekuatan
antara media dan masyarakat konsumen media bisa berimbang, tidak ada yang
lebih dominan.
Ada beberapa prinsip yang harus dimengerti
agar pemahaman terhadap literasi media televisi dapat lebih komprehensif.
Penonton televisi harus sadar bahwa isi tayangan televisi merupakan hasil
konstruksi dan televisi merepresentasikan konstruksi realitas (bukan
realitas utuh). Bahwa konstruksi televisi mempunyai tujuan komersial, isi
pesan media mempunyai muatan nilai dan ideologi. Selain itu, isi televisi
tidak terlepas dari muatan sosial dan politik.
Tanpa kemampuan melek media (media literate), masyarakat hanya
akan menjadi bulan-bulanan pemilik televisi. Kekuatan masyarakat bisa
menjadi yang utama, ketika KPI hanya mampu membuat teguran dan melayangkan
surat peringatan yang tidak membuat jera pengelola televisi.
Upaya konkret yang bisa dilakukan masyarakat
ialah mematikan televisi yang partisan. Klik! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar