Proses
hukum masih sangat panjang. Tapi, respons di media sosial kentara
memperlihatkan kesukacitaan besar ketika Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) menetapkan Gubernur Banten Atut Chosiyah Chasan sebagai tersangka.
Penetapan itu pantas melipatgandakan kecemasan keluarga besar Atut.
Bertitik tolak dari kinerja fantastis KPK
selama ini dalam menggulung para koruptor, hampir bulat keyakinan bahwa
siapa pun diberikan status tersangka cepat atau lambat akan meningkat
sebagai terdakwa dan akhirnya terpidana. Demikian pula terhadap Atut,
seiring langkah maju KPK, dimulai pula hitungan mundur menuju masa
tinggal di balik jeruji besi dengan predikat sebagai penjahat korupsi.
Kegelisahan susulan karena perburuan KPK tidak berhenti hanya pada figur
Atut. Para penguasa negeri Banten, yang memiliki hubungan kekerabatan
dengan Atut, pun bisa jadi akan berbaris mengantre masuk bui akibat
bersentuhan dengan uang haram.
Disebut haram karena diduga timbunan uang
tersebut merupakan hasil patgulipat proyek-proyek di wilayah Banten oleh
perusahaan-perusahaan fiktif yang didalangi oleh Atut dan para kroninya.
Di samping itu, keluarga Atut juga dibelit kasus suap (bekas) Ketua
Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar.
Ditilik
dari sudut evolusi, tindak-tanduk Atut berikut dinastinya sesungguhnya
manusiawi belaka. Sejak jutaan tahun silam, sejak organisme pramanusia
hidup sudah ada tendensi untuk mendahulukan orang-orang yang mempunyai
pertalian darah.
Cara paling brutal pun tak segan-segan
ditampilkan guna mempertahankan supremasi sebagai penguasa wilayah dan
sumber pangan. Jadi, dapat dimengerti bahwa manuver dinasti Atut untuk
menjadi penguasa Banten merupakan manifestasi betapa mereka juga mewarisi
gen nepotisme itu. Atut dan orang-orang yang berada dalam family tree-nya bukti kebenaran
teori Charles Darwin bahwa kedudukan sebagai penguasa muka bumi hanya
diperuntukkan bagi manusia-manusia digdaya, terlepas bagaimana
kedigdayaan itu ditampilkan.
Persoalannya, gen nepotisme semestinya bukan
satu-satunya endapan di dalam DNA Atut dan keluarganya. Meniti kembali
jejak-jejak evolusi manusia, suatu ketika hidup spesies homo ergaster.
Spesies yang juga dipercaya banyak ilmuwan sebagai nenek moyang manusia
itu teridentifikasi sebagai organisme yang cerdas. Sudah mampu
berkomunikasi dengan kata-kata, di samping berinovasi dengan teknologi
berburu, adalah bukti kekuatan kecerdasan pikiran homo ergaster, apalagi jika dibandingkan dengan
spesies-spesies pendahulunya.
Tapi, melampaui ketajaman kognitif itu, para
peneliti juga mencatat ada kekuatan psikologis spektakuler yang justru
dinilai sebagai lompatan besar psikologi manusia. Kekuatan itu kemampuan homo ergaster dalam berempati.
Empati adalah kemampuan untuk “berkaca” yaitu menempatkan “diriku” ke
dalam “dirinya”. Dari situ seseorang akan bisa mereka-reka isi kepala
orang lain sekaligus meraba rasap erasaan orang lain, bahkan kendati
mereka tidak pernah berinteraksi sebelumnya.
Dengan empati, manusia mengenal ungkapan
berbagi kebahagiaan. Dengan empati pula, manusia bisa menjadi sangat
beradab karena mampu menyelami penderitaan manusia lain. Juga berbekal
kemampuan berempati, setelah berhasil menangkap binatang buruan, homo ergaster tidak akan seketika
itu juga memakan habis daging di hadapan mereka. Sambil menarinari,
laiknya petarung yang merayakan kemenangannya dalam peperangan, homo ergaster akan membawa pulang
sebagian besar daging yang mereka peroleh sebagai buah tangan, baik bagi
sanak saudara maupun siapa saja yang berkunjung ke kelompok mereka.
Kilau hati itulah yang— tak
terbantahkan—memberikan hak kepada “kera cerdas berdiri tegak” untuk
menyebut dirinya sebagai manusia yang berbeda dengan makhluk-makhluk
hidup lainnya.
Lantas,
bagaimana apabila terjadi anomali berupa terhentinya pewarisan gen empati
itu? Rotasi bumi laksana berbalik arah! Muncullah manusia-manusia dengan
tabiat mirip pra-homo ergaster.
Mereka sangat peduli pada keluarga dekat, namun tidak ambil pusing
terhadap manusia-manusia di luar silsilah mereka.
Syahwat dinasti untuk memapankan kekuasaan
dalam genggaman tidak disertai dengan itikad untuk mengangkat harkat
hidup orangorang di luar dinasti. Perwujudan konkretnya sangat tragis
sekaligus menyakitkan hati. Dinasti tersebut biasa pelesir ke mancanegara
sekadar cuci mata dan berbelanja barang-barang mahal, sementara di sebelah
rumahnya menggelepar anak-anak kurang gizi dan para jompo yang terkapar
didera penyakit. Jangankan ke Jepang ataupun negaranegara Asia Tenggara,
sebatas untuk ke balai pengobatan umum terdekat pun kaum jelata itu tak
mampu.
Tapi, jangan mentah-mentah menyalahkan
faktor gen sebagai biang kerok bersemayamnya tabiat rakus, serakah,
tamak, loba, bakhil, kikir, pelit, dan karakteristik Firaun lainnya.
Kepribadian rakus juga terbentuk lewat pembiasaan. Dibutuhkan pengulangan
secara teratur, yang oleh Thomas J Stanley dan William D Danko dirumuskan
sebagai orientasi terhadap uang yakni kesadaran konstan akan uang,
bagaimana menghasilkan uang, dan bagaimana menyimpan uang.
Sepanjang hidup, si serakah membuat
keputusan berdasarkan seberapa jauh itu akan memengaruhi hidup mereka
secara finansial.
Maha
Suci Allah; Dia menganugerahkan fasilitas khusus kepada orang-orang yang
dizalimi. Apalagi jika mereka adalah korban kezaliman penguasa. Fasilitas
itu keampuhan doa, baik doa yang diwakili kata maupun doa yang
disimbolkan lewat derai air mata dan sengal napas. Manakala doa itu
dipanjatkan oleh orang-orang yang diperlakukan secara biadab, seakan
sirna jarak antara si pendoa dan Tuhan.
Doa pasti dikabulkan. Kini siapa pun
berkesempatan mensyukuri penetapan Atut sebagai tersangka. Tapi,
sebaiknya tidak berhenti sampai di situ saja. Harapan masih perlu
diperpanjang. Harapan agar Atut disidang seadil-adilnya, dapat
dibuktikansegalakesalahannya, dijatuhi hukuman berat, harta haramnya
dikembalikan kepada masyarakat Banten, kekuasaannya dirontokkan, dan
komplotan korupnya disikat habis.
Satu lagi: harapan agar Atut dan keluarganya
diberikan kesempatan untuk belajar empati dengan turun tangan langsung
serta banjir keringat melayani kaum jelata. Begitulah cara membangkitkan
gen homo ergaster di dalam
DNA-nya serta menata ulang orientasinya akan kekayaan dan kekuasaan. Wallahualam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar