Bu Pur dan
Pemasar Tabu
Flo K Sapto W ;
Praktisi Pemasaran
|
TEMPO.CO,
19 Desember 2013
Dalam kajian pemasaran, sosok seperti Bu Pur (BP) dan
Bunda Putri (BP2)--dalam konteks kasus korupsi yang mulai
"menyenggol" Istana--adalah bagian dari saluran pemasaran. Peran
dan fungsinya kurang lebih sebagai perantara (Kotler & Keller, 2006).
Posisi ini mungkin tidak ada dalam struktur organisasi.
Tapi, keberadaannya
sangat penting sebagai pelobi. Tidak jarang efektivitas kerja para
perantara justru sangat menentukan. Sebuah transaksi dalam proses negosiasi
pembelian menjadi pembuktiannya.
Niscaya
ini akan menjadi sebuah studi yang menarik bagi para praktisi dan
akademisi. Bagaimana sebuah organisasi bisnis mesti menyikapi hal ini?
Jika
dihadapkan pada pilihan antara mendapatkan pembelian dan tidak, tentu
pilihannya adalah yang pertama. Seterusnya, jika kemudian pada posisi
memilih antara pembelian yang didapatkan dengan halal atau tidak,
pilihannya tentu juga pada yang pertama. Demikian pula ketika organisasi
harus memilih antara mendapatkan pembelian haram atau mati, akan sangat
dimengerti kalau pilihannya adalah tetap mendapatkan pembelian. Entah harus
dengan cara apa.
Terlepas
dari pro-kontra, hal ini menunjukkan sebuah esensi pemasaran. Produk bisa
saja telah dikemas sesuai dengan kualitas. Operasi juga sudah seefisien
mungkin dijalani. Program diskon sudah ditawarkan dengan sangat menarik.
Demikian juga presentasi dan promosi telah sangat representatif. Namun,
satu hal yang mungkin terlupa adalah dalam pengambilan keputusan pembelian.
Secanggih apa pun data dan angka telah disajikan, semutakhir bagaimanapun
dukungan teknologi sudah diaplikasikan, keputusan pembelian tetaplah pada
manusia.
Di
sinilah peran para perantara tetap mendapatkan tempat. Dalam diskursus
pembelian (order) yang halal, organisasi apa pun pasti harus memiliki
kebijakan baku terkait dengan peran ini. Sebab, lambat atau cepat--untuk
tidak mengatakan apes tidak apes--sebuah pembelian yang haram akan
diperkarakan. Jika ini terjadi, energi untuk itu akan dengan sendirinya
menggerus rezeki yang ada. Tidak jarang justru melebihi porsi yang
semestinya.
Jadi, jika organisasi toh harus mati karena ketiadaan
pembelian, setidaknya mati tanpa catatan kasus. Penerimaan pembelian yang
haram pun pada waktunya akan menyebabkan organisasi mati (penjara). Meskipun,
ada pengunduran waktu dan dengan noda catatan. Padahal jika organisasi
menolak pembelian haram, setidaknya telah membantu sebuah pemurnian
mekanisme pasar. Pada saatnya nanti akan tumbuh sebuah atmosfer pemasaran
yang adil. Prinsipnya adalah harga terbaik untuk produk terbaik. Jadi,
bukan semata-mata karena pelicin atau kedekatan pribadi. Tentu ini sebuah
pilihan. Sebab, tidak semua organisasi bersedia mati selagi masih ada
peluang hidup--meski dari pembelian yang haram.
Sebagai
catatan akhir, ada persamaan antara para perantara (pelobi dan yang
dilobi). Mereka sama-sama saling memperdagangkan kewenangan, kebijakan, dan
kedekatan. Dua yang pertama bisa dimiliki karena jabatan. Walaupun, produk
ini sebetulnya tidak bisa diperjualbelikan lantaran sudah dibayar oleh
publik melalui pajak. Selanjutnya yang terakhir umumnya dikenal sebagai
anugerah (pertemanan, persaudaraan). Produk ini juga ada takaran tertentu
dalam pemaknaannya. Secara garis besar, dalam batasan kepemilikan produk,
para perantara ini adalah pemasar tabu (amoral, tidak etis) lantaran
memperdagangkan item yang mestinya tidak untuk diperjualbelikan. ●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar