Nilai-Nilai
Ketidaksetiakawanan Nasional
Toto Suparto ; Penelaah Persoalan Etika, Pegiat “Ruang Etika”
|
SUARA
MERDEKA, 20 Desember 2013
"Dionisia politik menggambarkan tipe politikus yang lebih
memedulikan diri dengan mengorbankan moralitas"
TIAP tanggal
20 Desember masyarakat memperingati Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional
(HKSN). Biasanya para pejabat dan tokoh publik mengimbau kita untuk kembali
mengingat makna kesetiakawanan sosial. Para pejabat yang memimpin upacara
peringatan itu kadang berpesan, “Mari
kita bangun semangat kebersamaan yang lebih kokoh”.
Dalam
kehidupan nyata justru terjadi sebaliknya, kebersamaan kian rapuh. Ciri-ciri
kesetiakawanan berupa kepedulian, solidaritas, rasa sepenanggungan, kasih
sayang, kebersamaan, ataupun ketulusan, kian menipis. Tak perlu jauh-jauh, di
sekitar rumah kita saja sangat mudah menemukan beberapa tetangga yang tidak
lagi saling peduli.
Di tempat
kerja, acap kita melihat teman kerja mulai tidak tulus atas tugas-tugas
mereka. Di layar kaca, terlihat betapa orang makin gampang saling bunuh dan
mengesankan kasih sayang kian mahal. Karena itu, saat memperingati HKSN, ada
baiknya kita merenung bersama. Mengapa justru ketidaksetiakawanan itu kian
menebal?
Pemicu utama
adalah persaingan hidup yang kian ketat, bahkan ganas. Dalam kajian etika ada
istilah yang disebut keberjejalan manusia. Manusia Indonesia berada dalam
kondisi keberjejalan. Istilah ini bukan sekadar menunjukkan kepadatan
penduduk melainkan lebih pada penekanan penggambaran pertarungan untuk
survive yang didorong perilaku agresi.
Di dalam
keberjejalan manusia itu terjadi ketidakseimbangan lingkungan dan sosial yang
kemudian menimbulkan persaingan tidak sehat. Dalam persaingan macam itulah
mengemuka kecenderungan “mereka yang
kuat berusaha membinasakan yang lemah”. Beberapa indikator kuat itu bisa
saja berupa kekuasaan politik, kekuatan uang, kekuatan fisik hingga kekuatan
ideologi. Dari sinilah menguat sifat ataupun sikap individualistis.
Akibatnya
‘’aku’’ akan lebih dominan dari ‘’kita’’. Setiap orang akan mendahulukan aku,
baru kemudian kita. Kalau aku kalah bersaing, berarti aku tidak bertahan
hidup. Lebih celaka, aku harus bertahan hidup walau di antara kita ada yang
harus binasa. Maka, lenyaplah semangat Tat
twan Asi (Aku adalah Engkau). Padahal “aku adalah engkau” memuat makna
kesetiakawanan. “Aku kenyang, engkau tak boleh kelaparan,” beginilah semangat
kesetiakawanan sosial.
Pemicu lain
yang mempercepat kemunculan ketidaksetiakawanan nasional adalah dionisia
politik. Ini juga istilah etika yang dipinjam dari pemikiran filsuf
Nietzsche. Istilah dionisia politik itu menggambarkan tipe politikus yang
lebih memedulikan (kebesaran) diri sendiri dengan mengorbankan moralitas.
Politikus dionisia mengabaikan etika politik.
Akibatnya,
tindakan orang-orang macam itu cenderung tidak berbudi, tidak rasional, dan
penuh nafsu. Begitu pun sikap politik mereka mengarah kepada aristokrasi
(yang diatur oleh hanya segelintir orang) ketimbang demokrasi. Bukankah
segelintir orang mengingkari kekitaan?
Ciri dionisia
adalah penuh nafsu, di antaranya nafsu serakah. Padahal orang-orang serakah
membiarkan dirinya diperbudak sejumlah keinginan tak berujung. Mereka sulit
untuk berhenti pada sebatas kebutuhan. Mereka terus memburu segenap keinginan
sampai akhirnya melupakan orang-orang di sekitar. Dalam kondisi begitu,
hilanglah rasa setia kawan.
Mematikan Kepedulian
Ketidaksetiakawanan
juga digerus serbuan konsumtivisme. Lihatlah dalam realitas hidup negeri ini;
ada kelompok sosial yang gemar berbelanja, memburu rumah eksklusif,
mengoleksi mobil mewah, kecanduan gaya hidup glamor, namun tak pernah mau
menengok nasib sesama. Akibatnya kepekaan nurani seolah-olah mati, kepekaan
moral menumpul, dan kepekaan religi kian menjauh.
Pemicu
ketidaksetiakawanan yang saya sebutkan itu hanya sebagian kecil, tetapi sudah
cukup untuk mematikan kepedulian. Yang terjadi, peduli amat dengan
saudara-saudara yang hidup di lumpur kemiskinan. Biarkan orang-orang lapar
menahan nyeri perut mereka, biarkan orang-orang terbelakang hidup dengan
dunianya. Akhirnya tanpa disadari hilanglah hakikat manusia.
Sebagaimana
dikemukakan tokoh solidaritas El Salvador, Jon Sobrino, ìKita benar-benar
menjadi manusia abila mempunyai kepedulian dan tanggung jawab terhadap
kehidupan manusia lain, terutama yang menderita dan yang paling miskin,
Aaupun tertindas. Atas dasar itulah, HKSN layak menjadi momentum untuk
menyadari adanya ketidaksetiakawanan nasional. Jangan sampai masyarakat kian
permisif dengan ragam ketidakpedulian. Tentu bukan sekadar saling mengimbau,
bukan pula sekadar memperingati, nelainkan sungguh-sungguh kembali kepada
hakikat manusia sebagaimana dianut Sabrino.
Untuk kembali
ke hakikat manusia, kita perlu pula kembali ke pencipta manusia. Sang
Pencipta menghadirkan manusia dengan seperangkat aturan. Manusia tidak
dibiarkan liar di bumi ini. Ada norma yang mengikatnya sehingga tidak lari
dari hakikat manusia. Di dalam norma itu, tercakup tentang kewajiban
memedulikan manusia lain. Sebagai makhluk sosial, manusia wajib mengentaskan
sesama dari kubangan kemiskinan, dari jerat kesenjangan, dari ketertinggalan
peradaban, ataupun dari dera penderitaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar