Minggu, 22 Desember 2013

Nilai-Nilai Ketidaksetiakawanan Nasional

Nilai-Nilai Ketidaksetiakawanan Nasional
Toto Suparto  ;   Penelaah Persoalan Etika, Pegiat “Ruang Etika”
SUARA MERDEKA,  20 Desember 2013

  

"Dionisia politik menggambarkan tipe politikus yang lebih memedulikan diri dengan mengorbankan moralitas"

TIAP tanggal 20 Desember masyarakat memperingati Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN). Biasanya para pejabat dan tokoh publik mengimbau kita untuk kembali mengingat makna kesetiakawanan sosial. Para pejabat yang memimpin upacara peringatan itu kadang  berpesan, “Mari kita bangun semangat kebersamaan yang lebih kokoh”.

Dalam kehidupan nyata justru terjadi sebaliknya, kebersamaan kian rapuh. Ciri-ciri kesetiakawanan berupa kepedulian, solidaritas, rasa sepenanggungan, kasih sayang, kebersamaan, ataupun ketulusan, kian menipis. Tak perlu jauh-jauh, di sekitar rumah kita saja sangat mudah menemukan beberapa tetangga yang tidak lagi saling peduli.

Di tempat kerja, acap kita melihat teman kerja mulai tidak tulus atas tugas-tugas mereka. Di layar kaca, terlihat betapa orang makin gampang saling bunuh dan mengesankan kasih sayang kian mahal. Karena itu, saat memperingati HKSN, ada baiknya kita merenung bersama. Mengapa justru ketidaksetiakawanan itu kian menebal? 

Pemicu utama adalah persaingan hidup yang kian ketat, bahkan ganas. Dalam kajian etika ada istilah yang disebut keberjejalan manusia. Manusia Indonesia berada dalam kondisi keberjejalan. Istilah ini bukan sekadar menunjukkan kepadatan penduduk melainkan lebih pada penekanan penggambaran pertarungan untuk survive yang didorong perilaku agresi.

Di dalam keberjejalan manusia itu terjadi ketidakseimbangan lingkungan dan sosial yang kemudian menimbulkan persaingan tidak sehat. Dalam persaingan macam itulah mengemuka kecenderungan “mereka yang kuat berusaha membinasakan yang lemah”. Beberapa indikator kuat itu bisa saja berupa kekuasaan politik, kekuatan uang, kekuatan fisik hingga kekuatan ideologi. Dari sinilah menguat sifat ataupun sikap individualistis.

Akibatnya ‘’aku’’ akan lebih dominan dari ‘’kita’’. Setiap orang akan mendahulukan aku, baru kemudian kita. Kalau aku kalah bersaing, berarti aku tidak bertahan hidup. Lebih celaka, aku harus bertahan hidup walau di antara kita ada yang harus binasa. Maka, lenyaplah semangat Tat twan Asi (Aku adalah Engkau). Padahal “aku adalah engkau” memuat makna kesetiakawanan. “Aku kenyang, engkau tak boleh kelaparan,” beginilah semangat kesetiakawanan sosial.

Pemicu lain yang mempercepat kemunculan ketidaksetiakawanan nasional adalah dionisia politik. Ini juga istilah etika yang dipinjam dari pemikiran filsuf Nietzsche. Istilah dionisia politik itu menggambarkan tipe politikus yang lebih memedulikan (kebesaran) diri sendiri dengan mengorbankan moralitas. Politikus dionisia mengabaikan etika politik.

Akibatnya, tindakan orang-orang macam itu cenderung tidak berbudi, tidak rasional, dan penuh nafsu. Begitu pun sikap politik mereka mengarah kepada aristokrasi (yang diatur oleh hanya segelintir orang)  ketimbang demokrasi. Bukankah segelintir orang mengingkari kekitaan?

Ciri dionisia adalah penuh nafsu, di antaranya nafsu serakah. Padahal orang-orang serakah membiarkan dirinya diperbudak sejumlah keinginan tak berujung. Mereka sulit untuk berhenti pada sebatas kebutuhan. Mereka terus memburu segenap keinginan sampai akhirnya melupakan orang-orang di sekitar. Dalam kondisi begitu, hilanglah rasa setia kawan.

Mematikan Kepedulian   

Ketidaksetiakawanan juga digerus serbuan konsumtivisme. Lihatlah dalam realitas hidup negeri ini; ada kelompok sosial yang gemar berbelanja, memburu rumah eksklusif,  mengoleksi mobil mewah, kecanduan gaya hidup glamor, namun tak pernah mau menengok nasib sesama. Akibatnya kepekaan nurani seolah-olah mati, kepekaan moral menumpul, dan kepekaan religi kian menjauh.

Pemicu ketidaksetiakawanan yang saya sebutkan itu hanya sebagian kecil, tetapi sudah cukup untuk mematikan kepedulian. Yang terjadi, peduli amat dengan saudara-saudara yang hidup di lumpur kemiskinan. Biarkan orang-orang lapar menahan nyeri perut mereka, biarkan orang-orang terbelakang hidup dengan dunianya. Akhirnya tanpa disadari hilanglah hakikat manusia.

Sebagaimana dikemukakan tokoh solidaritas El Salvador, Jon Sobrino, ìKita benar-benar menjadi manusia abila mempunyai kepedulian dan tanggung jawab terhadap kehidupan manusia lain, terutama yang menderita dan yang paling miskin, Aaupun tertindas. Atas dasar itulah, HKSN layak menjadi momentum untuk menyadari adanya ketidaksetiakawanan nasional. Jangan sampai masyarakat kian permisif dengan ragam ketidakpedulian. Tentu bukan sekadar saling mengimbau, bukan pula sekadar memperingati, nelainkan sungguh-sungguh kembali kepada hakikat manusia sebagaimana dianut Sabrino.

Untuk kembali ke hakikat manusia, kita perlu pula kembali ke pencipta manusia. Sang Pencipta menghadirkan manusia dengan seperangkat aturan. Manusia tidak dibiarkan liar di bumi ini. Ada norma yang mengikatnya sehingga tidak lari dari hakikat manusia. Di dalam norma itu, tercakup tentang kewajiban memedulikan manusia lain. Sebagai makhluk sosial, manusia wajib mengentaskan sesama dari kubangan kemiskinan, dari jerat kesenjangan, dari ketertinggalan peradaban, ataupun dari dera penderitaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar