Natal di Zaman
Edan
Amanda Adiwijaya ; Seorang Pendeta,
Lulusan
International Biblical College, Yerusalem
|
KORAN
JAKARTA, 24 Desember 2013
Manusia saat ini hidup dalam
suatu zaman peralihan penuh gonjangganjing yang dalam khazanah Jawa disebut
kalatida-kalabendu (zaman keraguan-zaman hukuman).
Pujangga Jawa,
Raden Ngabehi Ronggowarsito, menyebut zaman demikian sebagai kegilaan atau
edan. Tanpa perlu survei khusus, di sekitar ada banyak kegilaan yang tengah
berlangsung. Di level dunia, perang berebut kekuasaan seperti di Suriah telah
membuat ratusan ribu nyawa melayang dan jutaan lainnya mengungsi.
Mereka yang
merasa paling benar dalam meyakini agamanya, bisa terjebak menjadi hakim
kejam yang menebarkan teror, kekerasan, dan kebencian. Berbagai kekerasaan
mengatasnamakan Tuhan dan agama masih membelenggu. Akibatnya, perdamaian
masih menjadi sesuatu langka.
Di berbagai
penjuru Tanah Air terdapat begitu banyak teriakan ketidakpuasan, bahkan
kekecewaan akan pemerintahan sekarang. Politik dan demokrasi bukan demi
kebaikan bersama (bonum commune), tapi hanya untuk kepentingan segelintir
orang bahkan demi kepentingan keluarga atau dinasti tertentu.
Hukum sebagai
dasar utama, masih penuh rekayasa dan menjadi alat transaksi jual-beli
jabatan. Meski konstitusi menjamin kebebasan beragama, di dalam praktik
kehidupan berbangsa dan bernegara, masih terasa banyak tindakan intoleran
yang mengancam kerukunan.
Biasanya
dengan menghembuskan isu mayoritas dan minoritas di tengah-tengah masyarakat
oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan kekuasaan.
Kondisi
memprihatinkan karena Natal yang seharusnya memberi dan menciptakan suasana
damai, kini malah makin merepotkan. Di mana-mana ada ribuan polisi yang harus
selalu berjaga di seputar gereja.
Padahal, dulu
tidak seperti ini. Tentu ini tak lepas dari ulah para teroris yang pernah
menebar 38 bom pada malam Natal 2000. Selain itu, di depan mata juga tampak
perusakan alam melalui cara-cara hidup keseharian yang tidak mengindahkan
kelestarian lingkungan. Masyarakat kurang peduli terhadap sampah dan polusi.
Mereka juga
eksploitasi besarbesaran terhadap alam melalui proyekproyek yang merusak
lingkungan (Pesan Natal KWI-PGI 2013, alienea 3). Lalu, apa artinya perayaan
Natal di tengah kondisi seperti itu? Apalagi tema pesan Natal bersama KWI-PGI
tahun ini "Datanglah Ya Raja Damai."
Jejak
Natal
sebenarnya lahir dari inkulturasi budaya Eropa. Peringatan hari Natal tahun
336 Sesudah Masehi pada kalender Romawi kuno, yaitu 25 Desember. Pemilihan 25
Desember terkait pesta penyembahan Dewa Matahari (Sol Invictus).
Pada tanggal
ini, matahari naik lagi di cakrawala ke utara atau terbenam kembali yang
merupakan awal musim dingin. Tidak heran, jika atribut-atribut Natal kental
dengan warna salju, pohon cemara dan sebagainya.
Sebagai bagian
dari perayaan, masyarakat menyiapkan makanan khusus, menghiasi rumah dengan
daun-daunan hijau, menyanyi bersama dan tukar-menukar hadiah. Kebiasaan itu
lama-kelamaan menjadi tradisi yang melekat dengan perayaan Natal. Tahun 1100,
Natal telah menjadi perayaan keagamaan terpenting di Eropa.
Meski
demikian, sebenarnya Yesus sendiri tak persis lahir 25 Desember atau 6
Januari. Yang penting bagi iman Kristen, Yesus berkenan lahir di dunia.
Boleh jadi,
dalam momen demikian, manusia bisa membiarkan Yesus kembali datang dan
menyampaikan misi khusus-Nya yang relevan dengan kehidupan sekarang.
Belakangan, agama terus disorot dari banyak pihak karena agama di negeri ini
dinilai gagal membawa perubahan berarti.
Seperti
diketahui dari Injil, Yesus hidup dalam tatanan masyarakat Yahudi yang
memeluk agama monotheis pertama. Sayang, praktik beragama dari orang-orang
Yahudi pada zaman itu telah terjebak dalam formalisme yang keterlaluan.
Agama hanya
ditonjolkan segi hukumnya, sementara inti terdalamnya sebagai pembawa damai
dan kasih diabaikan. Ini disebabkan banyaknya perintah yang diberikan para
ulama dan pejabat keagamaan Yahudi dengan memberi kewajiban ini-itu sehingga
sangat membebani umat. Yesus lalu datang dengan kritik amat pedas terhadap
praktik keberagamaan yang hanya mengutamakan rutinitas lahiriah seperti itu.
Pesan Yesus
Yesus pun lalu
diimani para pengikut- Nya sebagai Juru Selamat. Nah, jika manusia
mengimani-Nya sebagai Juru Selamat, ini juga mengandung konsep bahwa
penyelamatan-Nya juga mencakup pembebasan dari cara-cara dan praktik beragama
yang keliru.
Bagi Yesus,
agama Yahudi ketika itu hanya jadi sesuatu yang membuat orang banyak
teralienasi. Agama yang sejatinya berfungsi merukunkan manusia dengan manusia
lain, manusia dengan Sang Pencipta, dalam praktiknya justru jadi pemecah
belah.
Dengan ritus,
tabu, larangan, dengan formalisme ini-itu, agama justru jadi kekuatan yang
mengasingkan manusia dari kemanusiaannya. Lewat kritik-kritik pedasnya, Yesus
sebenarnya ingin mengembalikan agama pada esensinya. Dia menuntut
spiritualitas sejati, kesucian yang bukan basa-basi.
"Koyakkanlah
hatimu dan jangan pakaianmu (Yoel 2:13). Lewat pesan-pesan ini, Yesus ingin
membebaskan umat baik pria atau wanita dari kekuasaan kultus, dari
kecenderungan membuat agama jadi semacam ghetto yang tampak suci dari luar,
tapi bobrok di dalam.
Dengan
demikian, agama seharusnya menjadi membebaskan dan membawa sukacita sejati.
Kalau orang kembali membaca Injil, pesan-pesan Yesus itu jelas masih ada.
Akibat dari praktik seperti itu, lembaga keagamaan (seperti gereja) hanya
menjadi semacam perusahan atau institusi profan yang sibuk dengan urusan
duniawi seperti sarana mencari uang.
Konyolnya para
pejabat gereja juga tak beda jauh dengan para birokrat yang lebih ingin
dilayani daripada melayani. Mereka juga lebih suka menyemarakkan acara ritual
(liturgi) semata, serta tidak peka secara sosial.
Padahal, makna
terdalam ritual (liturgi) seharusnya merupakan perayaan iman yang tak
terpisah dari kehidupan nyata. Suka duka kehidupan umat itulah yang tercermin
dalam liturgi sehingga ibadat bukan hanya ekspresi iman yang penuh basa-basi
seremonial.
Mudah-mudahan
Natal ini Sang Raja Damai Yesus Kristus berkenan datang dan lahir dalam hidup
manusia. Ini sungguh akan membawa perubahan karena Dia pasti mengajak semua
kembali menghayati spirit asli dari agama yang harus memperjuangkan kejujuran
lahir batin, mempromosikan persaudaran dan perdamaian.
Maka, jangan
hanya sibuk pada urusan pernak-pernik Natal seperti menghias christmas tree atau menyetel lagu,
sementara esensinya luput dari genggaman. Esensi Natal, Yesus berkenan
datang, lahir, dan bertahta di dalam hati. Christus natus est. Ia telah lahir. Selamat Natal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar