Rabu, 25 Desember 2013

Refleksi Tahun 2013 : Tahun Bunda-Bunda Istana

Refleksi Tahun 2013 : Tahun Bunda-Bunda Istana
Bambang Soesatyo  ;   Anggota Komisi III DPR RI
KORAN SINDO,  24 Desember 2013

  

Panggung politik nasional sepanjang 2013 memang lebih dinamis karena para politisi mulai berancang-ancang menuju tahun pemilihan umum pada 2014, baik pemilihan anggota legislatif (pileg) maupun pemilihan presiden (pilpres). 

Namun, dinamika politik 2013 banyak dipengaruhi oleh sejumlah peristiwa yang berkait dengan penegakan hukum. Pasalnya, tak sedikit pejabat ataupun penyelenggara negara yang dicokok aparat penegak hukum terkait kasus suap. Penyimpangan proses penegakan hukum nyaris telanjang di ruang publik, ditandai dengan menguatnya peran mafia peradilan, tebang pilih atau diskriminasi, hingga tawar-menawar dakwaan dan vonis pengadilan. Ketelanjangan penyimpangan itu bisa dirasakan atau dilihat semua elemen masyarakat, dari kelompok pemerhati sampai orang kebanyakan yang awam hukum. 

Tragisnya lagi, baik pemerintah maupun penegak hukum, tidak lagi merasa malu mempertontonkan perlaku menyimpang. Ibarat kendaraan bermotor, hukum di negara ini rusak parah. Sepanjang 2013 ini seluruh elemen rakyat juga harus menghadapi kenyataan pahit karena tergambar dengan jelas bahwa negara ini dikelola oleh birokrasi pemerintahan yang sarat parasit. Oleh karena itu, dalam konteks tata kelola pemerintahan yang bersih, gambaran 2013 justru semakin buruk. Segala sesuatu yang buruk di tahun sebelumnya berlanjut dan bereskalasi di tahun 2013. 

Tahun ini tidak lebih baik dari tahun sebelumnya. Bahkan dari aspek moral, terjadi gejala set back, sehingga berkembang guyon publik tentang Indonesia sebagai negara autopilot. Selain cerita tentang sepak terjang Bunda Putri dan Sengman Tjahya, ada cerita baru tentang bunda-bunda lainnya. Tema ceritanya tak jauh dari korupsi dan manipulasi. Karena semua cerita tak sedap itu, Pemerintahan SBY-Boediono bahkan sudah tak punya lagi argumentasi untuk mengklaim pemerintahan mereka bersih. 

Alih-alih bersih dan berwibawa, beberapa kasus korupsi yang sudah terungkap justru menghadirkan gambar birokrasi yang menyimpang. Dari kasus suap impor daging sapi, muncul sosok dengan identitas Bunda Putri. Perempuan ini digambarkan sangat powerful, karena dia bisa urun rembuk dalam proses reshuffle kabinet. Sudah terkonfirmasi bahwa Bunda Putri itu ternyata hanya istri seorang Dirjen di Kementerian Pertanian. Kalau hanya seperti itu statusnya, bagaimana mungkin dia bisa langsung memengaruhi proses reshuffle kabinet? Kekuatan itu pasti didapatkan Bunda Putri dari orang lain yang pastinya sangat dekat pemegang hak prerogatif dalam penyusunan formasi kabinet. 

Ada juga sosok Sengman Tjahya yang mengaku sangat dekat dengan Istana. Beberapa tahun lalu dia masih dikenal sebagai pebisnis properti dari Palembang. Tahun-tahun belakangan ini, pengusaha lainnya mencatat bahwa Sengman mengalihkan fokus bisnisnya ke impor bahan pangan. Tak heran jika namanya kemudian muncul dalam kasus suap impor daging sapi sebagai pihak yang diduga menerima dan membawa uang suap Rp 40 miliar. 

Pada kasus Hambalang, muncul perempuan lain dengan identitas Bu Pur. Upayanya mendapatkan paket proyek, berdasarkan pengakuan Bu Pur dalam BAP, dilaporkannya kepada ibu negara. Dari kasus suap yang melibatkan mantan kepala SKK Migas Rudi Rubiandini, para saksi menyebut nama keluarga dan kerabat presiden seperti Widodo yang mengaku sepupu SBY. Beberapa nama lain dari kantor Presiden, termasuk nama Sekretaris Kabinet Dipo Alam dan Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi juga disebut-sebut.

Pada 2014 penuntasan kasus-kasus korupsi besar tersebut tentu sangat dinanti masyarakat. Bukan saja karena faktor dugaan keterlibatan para tokoh atau elite dalam kasus-kasus itu, tetapi juga karena proses hukum yang terjadi pada akhirnya, akan melahirkan dampak politik. Bisa dipastikan bahwa kelanjutan proses hukum kasus Bank Century, kasus Hambalang, dan SKK Migas akan menimbulkan kebisingan politik lagi. 

Bahkan, mungkin lebih bising dari sebelumnya karena akan mulai menyentuh namanama ‘kramat’ yang selama ini mendapat proteksi politik luar biasa dari kekuasaan, seiring dengan terjadinya peralihan kepemimpinan nasional pada Oktober 2014. Pada kasus Bank Century, KPK kian tajam menyelidiki penyimpangan yang dilakukan mantan Gubernur BI Boediono. Konstruksi pemahaman publik terhadap skandal Bank Century sedikit bergeser menyusul penegasan Boediono mengenai misteri gelembung dana talangan. 

Melaluipenjelasanpersusaimenjalani pemeriksaan KPK belum lama ini, mantan Gubernur BI itu menegaskan, dana talangan awal yang direkomendasikan BI untuk Bank Century hanya Rp632 miliar. Talangan membengkak jadi Rp2,7 triliun, kemudian menggelembung sampai Rp6,7 triliun saat berada ditangan LPS (sebuah lembaga yang bertanggungjawab langsung ke Presiden) dan pengawas Bank Century yang kemudian diubah menjadi Bank Mutiara. “Setelah itu, yang terjadi adalah antara LPS dan pengawas bank. Saya kira di situ jawabannya,” kata Boediono. 

Tak mau dikambinghitamkan begitu saja, Ketua Dewan Komisioner LPS Heru langsung membantah Boediono. Heru menegaskan, LPS, berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 harus melaksanakan mandat yang ditetapkan oleh KSSK maupun komite koordinasi. Tidak ada opsi lain dalam melaksanakan mandat itu karena diatur dalam undang-undang. Boediono juga menegaskan, Bank Century tidak di-bailout, melainkan diambil alih.
Sebelum masyarakat terkecoh, dibukalah dokumen 21 November 2008 yang memuat pernyataan Robert Tantular. Dia, dalam kapasitasnya sebagai Direktur Utama PT Century Mega Investindo, minta diikutsertakan dalam penanganan PT Bank Century Tbk oleh LPS. Dalam dokumen itu, Robert menyatakan siap menyetor tambahan modal minimal 20% dari perkiraan biaya penanganan yang ditetapkan LPS dalam jangka waktu 35 hari sejak surat pernyataannya ditandatangani. Maka, sangat jelas Bank Century sejatinya di-bailout karena pemegang saham lama dilibatkan dalam proses itu, bukan diambil alih. 

Keterlibatan Boediono kembali dipertegas oleh curahan hati Ketua KSSK/ Menteri Keuangan Sri Mulyani kepada Yusuf Kalla bahwa dia merasa telah dibohongi oleh orang-orang BI. Keluh kesah Sri Mulyani ini saja sudah menjadi persoalan besar tersendiri. Ketua KSSK tahu dia telah dibohongi BI. Karenanya, KPK harus terus menagih pertanggungjawaban Kasus Century. Berapa pun harganya, mega-skandal Bank Century harus dituntaskan agar tidak menjadi preseden bagi setiap pejabat tinggi negara menyalahgunakan. 

Konflik Sosial 

Masalah lain yang terjadi di tahun 2013 dan harus menjadi perhatian di tahun 2014 adalah konflik sosial. Kementerian Dalam Negeri mencatat, sejak 2010 sampai hingga menjelang akhir 2013, konflik sosial di sejumlah daerah memperlihatkan kecenderungan yang meningkat. Pada 2010 terdata 93 konflik dan per 2011 sebanyak 77 konflik. Pada 2012 sebanyak 128 konflik dan di tahun 2013 hingga akhir September terjadi 53 konflik. Ada beberapa penyebab terjadinya konflik sosial. 

Mulai dari faktor ekonomi, sosial budaya, agama hingga politik. Khusus mengenai konflik yang berlatar belakang sengketa agraria, kecenderungannya pun cukup mengkhawatirkan. Pada tahun 2012-2013, misalnya, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat terjadi 618 kasus konflik pertanahan di seluruh Indonesia. Kalau mengacu pada catatan 2010 dan 2011, kasus konflik agraria memang terus meningkat. 

Hingga tahun ini luas areal yang disengketakan sudah mencapai 2.399.314,49 hektare lebih, melibatkan kepentingan 731.342 kepala keluarga (KK). Oleh Kemendagri, aparatur pemerintah daerah memang telah didorong untuk mendata, menyiapkan tindakan antisipatif dan membangun dialog dengan warga di daerah rawan konflik. Tetapi, pengalaman membuktikan bahwa peran aparatur pemerintah daerah saja tidak cukup kuat untuk mencegah letusan konflik. Karena alasan seperti itulah diperlukan kehadiran Polri dan aparat penegak hukum lainnya. 

Bahkan, jika kondisinya sangat gawat seperti di Posi, kehadiran prajurit TNI sah-sah saja. Target utama atau prioritasnya adalah mencegah letusan konflik. Harus ada upaya maksimal dari negara untuk mencegah konflik berdarah antarwarga. Ini yang utama. Sebab, manakala konflik berdarah sudah terjadi, korban tewas biasanya sulit dihindari. Akhirnya, menuju akhir tahun 2013 ini, segenap komponen rakyat perlu melakukan introspeksi; mengapa tata kelola pemeritahan masih begitu amburadul di era modern seperti sekarang? 

Apakah semua kebobrokan itu terjadi karena kesalahan bersama dalam memilih pemimpin? Apakah sejarah akan berulang? Begitu sebuah rezim turun prabon, semua kasus besar korupsi akan terbongkar dan orang-orang yang selama ini tidak tersentuh oleh hukum akan diadili? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini perlu dikemukakan, direnungkan dan dicari jawabannya.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar