Selasa, 10 Desember 2013

Narasi Mandela

Narasi Mandela
Husein Ja’far Al Hadar  ;   Peminat Filsafat
TEMPO.CO,  09 Desember 2013

  

Wafatnya Mandela bukan hanya duka bagi Afrika Selatan, tapi juga dunia. Selain nasionalismenya mustahil diragukan, Mandela memang tak pernah terjebak atau menjebak hidupnya dalam sekat, termasuk sekat kebangsaan. Ia hidup untuk kebersamaan di tengah keragaman, di atas nilai-nilai demokrasi yang diperjuangkannya: kemerdekaan, kesetaraan, keadilan, dan kebebasan. Karena itu, misalnya, ia pernah berkata bahwa kemerdekaan negaranya tak pernah lengkap tanpa kemerdekaan bangsa Palestina. Sebab, seperti Afrika Selatan dulu, ia melihat Israel sedang bergerak ke arah sebuah bangunan keji: etnokrasi. Karena itu, ia terus menghayati dirinya sebagai pejuang, meski ia bersama kaumnya telah merdeka. 

Dalam konteks nasionalisme, prinsip Mandela bukan berorientasi pada penafian atas yang lain seperti visi nasionalisme ala Marcus Garvey dengan slogannya, "Afrika untuk bangsa Afrika", dengan teriakan "Lemparkan orang kulit putih ke laut", yang cenderung bersifat ekstrem dan ultra-revolusioner. Namun visi aliran nasionalisme ala Mandela (Afrikanisme yang dianut Liga Pemuda Kongres) adalah kebersamaan dengan yang lain dalam kesetaraan, perdamaian, kerukunan dan kehangatan di tengah keragaman ras serta perbedaan lainnya. 

Mengutip apa yang ditulis Nehru dalam makalahnya yang berjudul "From Lucknow to Tripoli", yang kemudian dicetak dalam buku The Unity of India, Mandela mengatakan sangat menyadari bahwa jalan menuju kemerdekaan tak pernah mudah. Seperti juga dikumandangkannya kemerdekaan beberapa saat setelah ia bebas dari penjara di Cape Town (1990): "Aku bukan malaikat. Tapi aku adalah pemimpin yang datang saat kondisi memburuk." Sehingga, seperti Gandhi, ia kemudian justru hadir, bangkit, dan menjadi pemenang karena tekanan dan penindasan yang dirasakannya. Ia seperti sebuah bola yang ditekan ke dalam air, yang makin ditekan justru makin berhasrat serta bertenaga untuk bangkit dan merdeka.

Dipenjara selama 27 tahun (1964-1990), Mandela sebenarnya menerima tawaran berkali-kali untuk dibebaskan dari hukuman seumur hidupnya. Namun ia justru menolaknya. Mandela lebih memilih penjara jika kebebasan itu berarti dia harus menghentikan perjuangannya. Melalui sikapnya tersebut, ia sedang memperlihatkan ontologi kebebasan yang otentik, seperti dikatakannya, "Andai tak kutinggalkan kepahitan dan kebencianku, sejatinya aku akan tetap di penjara.” Seperti pada lakon Socrates dan Al-Hallaj, yang bisa saja kabur dari penjara dan tiang gantungan, tapi tak melakukannya. Ia memilih menghentikan napasnya daripada menghentikan perjuangan (spiritualitas) yang dijalaninya. Dan, tentu saja, semua itu bukan bentuk kematian konyol, melainkan kematian mulia dan agung (syahid). Sebuah capaian ontologis tertinggi ketika kematian ditaklukkannya melalui posisi sebagai subyek, bukan justru kematian yang menaklukkannya dengan berposisi sebagai obyek. 

Akhirnya, walau Mandela telah wafat, seperti dikatakannya dalam wawancara saat pembuatan film dokumenternya (1994), "Aku yakin segala perjuanganku akan terus berlanjut, meski suatu saat aku akan tidur terlelap dalam keabadian."  ●

a�qap�P�rn yang dramatis pada net benefits. Setelah 2070, pemanasan global akan menjadi net cost, sehingga memerlukan tindakan yang cost-effective sekarang dan pada dekade-dekade yang akan datang.

Untuk meletakkan persoalan pada perspektifnya,kartu skor ini juga menunjukkan bahwa persoalan lingkungan yang besar adalah polisi udara di dalam ruangan. Saat ini, polusi udara dalam ruangan dari dapur dan penghangat ruangan yang menggunakan bahan bakar yang buruk menyebabkan kematian lebih dari 3 juta orang setiap tahun, atau setara dengan ongkos yang harus dibayar sebesar 3 persen dari PDB global. Namun, pada 1900, ongkos yang harus dibayar mencapai19 persen dari PDB, dan diharapkan turun menjadi 1 persen dari PDB menjelang 2050.

Dalam arti ekonomi, ongkos yang harus dibayar karena buruknya kesehatan pada awal abad ke-20 tercatatmencapai 32 persen dari PDB global.Sekarang, angka itu sudah menurun sampai 11 persen, dan menjelang 2050 bakal turun separuh dari angka tersebut.

Walaupun mereka yang optimistis itu tidak sepenuhnya benar, gambaran keseluruhannya jelas. Sebagian besar dari topik dalam kartu skor menunjukkan perbaikan sebesar 5-20 persen dari PDB. Dan, secara keseluruhan, kecenderungannya bahkan lebih jelas. Secara global, masalah yang ada telah berkurang drastis, sebanding dengan sumber daya yang ada untuk menanganinya.

Sudah tentu, ini tidak berarti persoalan sudah selesai. Walaupun dianggap kecil, masalah yang muncul di bidang kesehatan, pendidikan malnutrisi, polusi udara, kesetaraan gender, dan perdagangan tetap menonjol.

Namun mereka yang realistis sekarang harus merangkul pandangan bahwa dunia bertambah baik. Lagi pula, kartu skor menunjukkan kepada kita di bidang mana tantangan-tantangan yang cukup besar harus dihadapi guna tercapainya dunia yang lebih baik pada 2050. Kita harus membimbing masa depan kita bukan berdasarkan cerita-cerita yang menakutkan, atau bahkan suara lantang kelompok penekan, yang paling lantang bersuara,melainkan berdasarkan penilaian yang obyektif di mana kita bisa berbuat yang terbaik.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar