Hakim
tak sejajar dengan jaksa. Apalagi dengan pengacara, para lawyer.
Karena itu, posisinya istimewa di ruang sidang: tempat ia duduk lebih
tinggi daripada tempat jaksa dan pengacara. Ia tak berada di kiri atau
kanan, melainkan di tengah karena dia pengadil. Dia tak memihak atau
bersimpati kepada jaksa atau pengacara. Dia memilih kebenaran.
Hakim
adalah kaum terhormat. Mereka, dibanding para pemilik pengetahuan
hukum lain, telah mendapat sebutan "paling mengetahui hukum" (ius curia novit). Karena itu,
saat mereka masuk atau keluar ruang sidang, semua yang berada di
ruangan-tak terkecuali siapa pun dan sedang apa pun-wajib berdiri,
menghormati.
Pertanggungjawaban
hakim adalah kepada Tuhannya. Tak seperti jaksa, yang memiliki atasan, atau
pengacara, yang punya "pertanggungjawaban" kepada klien atau
mereka yang telah membayar besar. Itu sebabnya, setiap putusan hakim selalu
dibuka dengan kalimat, "Demi
keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa." Tak ada putusan
hakim tanpa mencantumkan kata-kata dengan konsekuensi, yang secara
sosial-religius sangat berat.
Hakim
tak membuat putusan dengan sekadar ilmu yang dimiliki. Dia bukan
corong berbagai undang-undang. Hakim adalah mereka yang berani menemukan
hukum (rechtvinding). Mereka yang
dengan keyakinannya berani menerobos aturan yang ia pandang tak adil.
Aturan atau undang-undang yang buruk, yang bisa jadi sengaja diciptakan
oleh mereka yang dibayar agar membuat undang-undang itu buruk.
Hakim mengatasi keburukan dan bolong-bolong itu. "Berikan aku hakim
yang baik, meski di tanganku ada hukum yang buruk," demikian
sebuah tulisan terpampang di pengadilan Inggris.
Dengan
tanggung jawab dan posisi itulah hakim sesungguhnya sebuah pilihan
masuk dunia sepi. Dunia yang membuat ia terus-menerus mendengar nuraninya,
dunia yang membuat ia mengasah rasa keadilan, sebuah "nilai" yang
lebih daripada sekadar "kebenaran." Karena itu, semua kode
etik hakim di dunia, termasuk kode etik hakim Indonesia, menempatkan
"berperilaku adil" sebagai hal paling utama. Jika seseorang tak
memiliki perilaku ini, ia tak layak jadi hakim.
Dengan
tuntutan dan tanggung jawab itulah seorang hakim membatasi diri dalam
pergaulan. Ia tak akan menerima sembarang tamu di rumah dan di kantornya.
Ia menutup diri rapat-rapat dari segala hal yang bisa membuat siapa
pun-para tersangka, pengacara, mafia hukum-datang mendekati, merayu,
dan mengiming-iminginya dengan segala hal yang akan membelokkan
kebenaran dan keadilan yang ia genggam.
Ia
tak akan bermain golf, pelesir ke luar negeri, apalagi dibiayai
mereka yang berkasus atau kasusnya menang. Ia tak tergiur hal-hal demikian.
Sebab, ia sadar keinginan semacam itu bisa "membunuh" nuraninya.
Karena
itu, jelas ada yang salah jika ada hakim yang mengejar kekayaan, mengoleksi
puluhan mobil, puluhan berlian, juga selingkuh. Bukan pada hakim itu,
melainkan, terutama, pada sistem perekrutannya, saat pemilihan
"benih-benih" hakim itu dulu.
Saat
pada benih itu sudah tertanam sifat tamak, korupsi, culas, dan pendendam,
sesungguhnya kita tengah memeram sebuah malapetaka pada gedung-gedung
pemutus keadilan. Dan itulah kini yang kita lihat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar