Sabtu, 14 Desember 2013

Momentum Mengembalikan Kejayaan Negara Maritim

Momentum Mengembalikan Kejayaan
Negara Maritim
Rokhmin Dahuri  ;   Ketua DPP PDI-Perjuangan Bidang Maritim dan Perikanan
KORAN SINDO,  13 Desember 2013
  


Kendati Deklarasi Djoeanda 13 Desember 1957 secara geopolitik dan geoekonomi sangat penting bagi kejayaan dan kedaulatan bangsa Indonesia, namun kita baru memperingatinya sejak Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid tepatnya 13 Desember 2000. 

Kemudian melalui Keppres No.126/2001 Presiden Megawati Soekarnoputri mengukuhkan Hari Nusantara, 13 Desember sebagai Hari Nasional, yang kemudian diperingati setiap tahun. Tanpa Deklarasi Djoeanda, potensi kekayaan laut Indonesia hanya sekitar 1/3 dari potensi yang kita miliki sekarang. Pasalnya, wilayah laut Indonesia saat itu hanya meliputi laut sejauh 3 mil dari garis pantai yang mengelilingi pulaupulau kita. 

Sehingga, di antara pulau-pulau Indonesia terdapat laut bebas (internasional), yang memisahkan satu pulau dengan lainnya, memisahkan kita, dan ini berarti ancaman bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Kita patut bersyukur bahwa Ir. H. Djoeanda, Perdana Manteri pada waktu itu dengan berani pada tanggal 13 Desember 1957 mendeklarasikan kepada dunia, bahwa wilayah laut Indonesia tidaklah sebatas itu, seperti diatur dalam Territoriale Zee Maritiem Kringen Ordonantie 1939. 

Wilayah laut Indonesia adalah termasuk laut di sekitar, di antara, dan di dalam Kepulauan Indonesia. Deklarasi Djoeanda tidak langsung diterima oleh masyarakat dunia, bahkan Amerika Serikat dan Australia menentangnya. 

Namun, berkat kegigihan perjuangan diplomasi oleh para penerusnya seperti Prof. Dr Mochtar Kusumaatmadja dan Dr. Hasyim Djalal, maka deklarasi yang berisikan konsepsi Negara Kepulauan (Archipelagic State) tersebut diterima oleh masyarakat dunia, dan akhirnya ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB (United Nation Convention on Law of the Sea, UNCLOS) 1982. 

Peran Strategis Laut 

Kini kita memiliki wilayah laut, termasuk ZEEI, sangat luas 5,8 juta km2yang merupakan tiga per empat dari total wilayah Indonesia. Di dalamnya terdapat 13.466 pulau dan dikelilingi garis pantai sepanjang 95.200 km, terpanjang kedua setelah Kanada. Fakta fisik inilah yang membuat Indonesia dikenal sebagai negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia. 

Di sinilah Deklarasi Djoeanda mendapatkan peran geopolitik yang sangat mendasar bagi kesatuan, persatuan, dan kedaulatan Indonesia. Oleh karena itu, Deklarasi Djoeanda sejatinya merupakan salah satu dari tiga pilar utama bangunan kesatuan dan persatuan NKRI, yaitu: Kesatuan Kejiwaan yang dinyatakan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928; Kesatuan Kenegaraan dalam NKRI yang diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945; dan Kesatuan Kewilayahan (darat, laut, dan udara) yang diumumkan oleh Perdana Menteri Djoeanda 13 Desember 1957. 

Selain geopolitik, laut juga memiliki peran geokonomi yang sangat strategis bagi kemajuan dan kemakmuran Indonesia. Laut kita mengandung kekayaan alam yang sangat besar dan beragam, baik berupa SDA terbarukan (seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut, dan produk-produk bioteknologi); SDA tak terbarukan (seperti minyak dan gasbumi, timah, bijih besi, bauksit, dan mineral lainnya); energi kelautan (seperti pasang-surut, gelombang, angin, dan OTEC atau Ocean Thermal Energy Conversion); maupun jasa-jasa lingkungan kelautan seperti untuk pariwisata bahari, transportasi laut, dan sumber keragaman hayati serta plasma nutfah. 

Lebih dari itu, laut juga berperan sebagai pengendalian dinamika iklim global, siklus hidrologi, siklus biogeokimia, penetralisir limbah, dan sistem penunjang kehidupan (life-supoorting systems) lainnya yang membuat sebagian besar permukaan bumi layak dan nyaman untuk dihuni umat manusia. 

Kekayaan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan tersebut dapat kita dayagunakan untuk kemajuan dan kemakmuran bangsa melalui sedikitnya 11 sektor ekonomi kelautan: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budidaya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan, (5) pertambangan dan energi, (6) pariwisata bahari, (7) hutan mangrove, (8) perhubungan laut, (9) sumberdaya wilayah pulau-pulau kecil, (10) industri dan jasa maritim, dan (11) SDA non-konvensional. 

Total nilai ekonomi dari kesebelas sektor ekonomi kelautan itu diperkirakan mencapai USD1,2 triliun/ tahun, sekitar 1,2 kali PDB dan 9 kali APBN tahun 2013, dan dapat menyediakan lapangan kerja untuk 40 juta orang. Bila kita mampu mendayagunakan potensi ekonomi kelautan ini secara produktif dan optimal, kita bisa menjadi bangsa besar yang maju dan makmur dalam waktu dekat. 

Kitapun tidak perlu lagi mengirim tenaga kerja wanita ke luar negeri yang selama ini sering dianiaya, tidak mendapatkan gaji seusai perjanjian, diperkosa, dan perlakuan sadis lainnya. Ekonomi kelautan bakal semakin strategis, seiring dengan pergeseran pusat ekonomi dunia dari Poros Atlantik ke Asia-Pasifik. Hampir 70% total perdagangan dunia berlangsung diantara negara-negara di Asia-Pasifik. 

Lebih dari 75% barang dan komoditas yang diperdagangkan ditransportasikan melalui laut, dan 45% nya (US$ 1500 trilyun/tahun) diantaranya melalui ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia). Karena letak Indonesia yang sangat strategis (diapit oleh Samudera Pasifik dan Samudera Hindia serta oleh Benua Asia dan Australia), mestinya Indonesia yang mendapat keuntungan paling besar dari posisi kelautan global tersebut. 

Potret Kelautan Masa Lalu 

Sayangnya, sejak zaman penjajahan sampai sebelum berdirinya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), kita bangsa Indonesia melupakan jati diri kita sebagai bangsa maritim terbesar di dunia, dan pernah menjadi bangsa besar yang makmur berbasis ekonomi kelautan dari abad-7 sampai. abad-13, pada masa Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, dan kesultanan Islam. 

Sumberdaya kelautan hanya dipandang dengan “sebelah mata”. Kalaupun ada kegiatan pemanfaatan, dilakukan secara kurang profesional dan ekstraktif, kurang mengindahkan aspek kelestariannya. Laut dipersepsikan sebagai tempat buangan berbagai macam jenis limbah baik yang berasal dari kegiatan manusia di darat maupun di laut. 

Dukungan infrastruktur, permodalan, IPTEK, SDM, dan kelembagaan terhadap bidang kelautan di masa lalu sangat rendah. Contohnya, Jepang dengan panjang pantai 34.000 km memiliki 3.000 pelabuhan perikanan (satu pelabuhan setiap 11 km garis pantai). Thailand dengan 2600 km panjang pantai mempunyai 52 pelabuhan perikanan, satu pelabuhan perikanan setiap 50 km garis pantai. 

Sedangkan Indonesia hanya punya 18 pelabuhan perikanan yang setingkat Jepang, atau satu pelabuhan perikanan setiap 4.500 km garis pantai. Sejak 1970 sampai 1996 kredit usaha yang dicurahkan untuk usaha perikanan hanya sekitar 0,02% dari total kredit. 

Kekuatan hankam laut kita pun masih lemah. Betapa tidak, untuk menjaga wilayah laut seluas ini sedikitnya kita harus memiliki 10 kapal selam, namun kita hanya punya 2 kapal selam tua, berumur 40 tahun. Jumlah kapal perang dan patroli minimal 130 unit, sekarang kita hanya memiliki 40 unit. 

Secercah Harapan 

Sejak berdirinya KKP pada akhir 1999, geliat pembangunan kelautan mulai menunjukkan hasilnya. Berkat kerjasama sinergis antar instansi terkait, antara lain KKP, Badan Informasi Geospasial, Dishidros TNI-AL, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Luar Negeri, kita pun telah berhasil mempublikasikan Peta Wilayah NKRI sejak 2 Mei 2003. 

Dari perspektif geoekonomi, pembangunan ekonomi kelautan di sektor perikanan, perhubungan laut, pariwisata bahari, pertambangan, dan industri maritim pun terus mengalami perbaikan. Namun demikian, perbaikan pembangunan ekonomi di berbagai sektor kelautan tersebut masih jauh lebih kecil ketimbang potensinya. 

Oleh sebab itu, kita harus mencari berbagai terobosan (breakthrough) untuk mendayagunakan sumberdaya kelautan secara optimal dan lestari sebagai keunggulan kompetitif (competitive advantage) bangsa. Keunggulan kompetitif suatu bangsa yang sejati adalah keunggulan kompetitif yang dibangun atas dasar keunggulan kompartaif (comparative advantages) yang dimiliki bangsa tersebut melalui penerapan inovasi IPTEK dan manajamen profesional (Porter, 1998). 

Untuk mewujudkan citacita luhur tersebut dalam waktu dekat, tahun 2025, kita harus membangun ekonomi kelautan berbasis inovasi dan kreatifitas yang inklusif dan ramah lingkungan. Selain itu, kita mesti melalukan perubahan paradigma (paradigm shift) pembangunan nasional, dari landbased development menjadi ocean-based development. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar