Jika
dihitung sejak pendeklarasian Hari Anti-Korupsi Internasional pada 9
Desember 2003 lalu, maka bangsa ini tercatat telah merayakan hari
anti-rasuah sebelas kali.
Dari kesebelas peringatan itu, sepuluh di
antaranya terjadi pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY). Perayaan Hari Anti-Korupsi di tahun 2013 ini juga berarti sebagai
perayaan terakhir di era pemeritahan SBY, sebagaikonsekuensi atas pembatasan
konstitusional terhadap masa jabatan kepala negara yang maksimal hanya dua
periode pemerintahan.
Di ujung perjalanan sepuluh tahun pemerintahan
ini, seharusnya sudah ada capaian gemilang yang dapat dijadikan indikator
keberhasilan dan bukti keseriusan pemerintah dalam mengamputasi kanker
korupsi secara sistematis di negeri ini. Tapi yang terjadi, pemerintah
lebih gemar mengedepankan retorika kuantitatif yang secara metodologis
sering dipertanyakan validitasnya untuk menutupi kekurangan dan kelemahan
yang terjadi selama pemerintahan berjalan.
Pemerintah dan para pendukungnya seringkali
menggunakan dalih peningkatan Corruption
Perception Index (CPI) sebesar 1 poin sejak 2004 hingga 2011, yakni
dari level 2 menjadi 3 dalam skala nilai 1 untuk kategori terkorup dan
nilai 10 untuk kategori terbersih, sebagai sebuah capaian gemilang. Capaian
itu dianggap signifikan mengingat peningkatan CPI Indonesia merupakan yang
tertinggi di antara negara-negara ASEAN.
Tak hanya itu, sebelum terjadi perubahan metodologi
dalam pengukuran CPI di tahun 2012 yang telah memberikan nilai 32 untuk
Indonesia dengan perubahan skala nilai dari 0 untuk kategori terkorup dan 100
untuk terbersih, Transparency
International pada tahun 2011 juga sempat menempatkan Indonesia pada peringkat
delapan besar dalam kategori the most
progressive change dalam pemberantasan korupsi dibandingkan sekitar 177
negara yang disurvei.
Jika ditelisik lebih mendalam, citra positif
penegakan hukum di Indonesia sejatinya lebih banyak disumbang oleh kerja
keras Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah mendapatkan pengakuan
dunia internasional serta dukungan masyarakat luas karena keberhasilannya
menjangkau titik-titik episentrum korupsi yang selama ini bersarang di
jantung kekuasaan, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
Selama ini wilayah itu masih dianggap angker,
tabu, dan tidak tersentuh oleh pedang para penegak hukum konvensional
laiknya Kepolisian dan Kejaksaan. Karena itu, amat kurang sopan rasanya
jika pemerintah lagi berusaha ‘mendompleng’ citra positif pemberantasan
korupsi pada hasil kerja keras sebuah lembaga independen KPK.
Padahal berkali-kali oleh pemerintah lembaga
ini dibiarkan tersungkur menghadapi sakarotul maut akibat serangan balik
para koruptor dan kelompok- kelompok kepentingan (predatory interests) yang menghendaki pelemahan efektivitas
gerakan anti-korupsi. Lagi pula, jika mengaca pada grand design
pemberantasan korupsi, terlalu absurd kita jika menumpukan harapan
pemberantasan korupsi sematamata kepada lembaga anti-korupsi itu sendiri.
KPK di Indonesia, CPIB di Singapura atau ICIC
di Hongkong, merupakan lembaga yang didesain khusus untuk menghadirkan efek
jera (deterrent effect) terutama
pelaku korupsi kelas kakap. Adapun beragam riset dan pendekatan terkait pemetaan
aktor, modus operandi, dan rumusan strategi pencegahan korupsi semata-mata
hanya akan menjadi saran kebijakan yang baru akan berlaku menjadi aturan
dan regulasi ketika pemerintah mengeksekusi dan parlemen menyetujui
upaya-upaya perbaikan sistemik di tingkat birokrasi pemerintahan maupun
sistem politik di negeri ini.
Karena itu, salah satu poin dalam laporan Global Integrity (2011) menyimpulkan
bahwa pembentukan lembaga spesial anti-korupsi bukanlah solusi utama bagi
pemberantasan korupsi yang sistemik, efektif, dan komprehensif. Komitmen
dan keseriusan politik pemerintah masih dianggap sebagai faktor terpenting
dalam menentukan keberhasilan pemberantasan korupsi dalam suatu negara (Klittgard, 2005). Without political will of the top
political leader, anti-corruption is nothing ( Quah, 2007, 2009).
Jika pemerintah setengah hati, artinya
akar-akar korupsi tetap dibiarkan terus menjalar. Akibatnya lembaga
anti-korupsi tak ubahnya seperti lembaga pemadam kebakaran yang tenaga,
sumber daya, dan konsentrasinya hanya difokuskan pada percikan-percikan api
kecil yang bermunculan, sementara potensi kebakaran yang jauh lebih dahsyat
dibiarkan begitu saja menyebar dan berurat akar dalam sistem politik dan
pemerintahan yang pada saatnya mampu menenggelamkan negara dan mesin
anti-korupsi itu sendiri.
Fenomena itulah yang dimaksud oleh Zainal
Arifin Mochtar (2011) sebagai ‘efek
treadmill’ pemberantasan korupsi yang masih berlanjut hingga saat ini.
Di mana setumpuk upaya mulai dari pembentukan lembaga, perumusan produk
hukum, kebijakan reformasi birokrasi dengan penggelontoran dana yang tak
terhitung jumlahnya, dan juga sinkronisasi aturan hukum telah dilakukan
semua. Seolah bangsa ini telah berlari begitu kencang melawan korupsi, tapi
sejatinya kita masih berdiri di posisi yang sama, berlari di atas pijakan
semula, yang artinya kita mandeg dan juga stagnan.
Dengan segala keterbatasan yang dimiliki, KPK
berlari kencang sembari dipaksa harus tergopoh-gopoh menangkis berbagai
serangan dan gempuran dari berbagai kekuatan korup di negeri ini. Sementara
penegak hukum lain yang notabene berada di bawah kendali eksekutif laiknya
Kepolisian dan Kejaksaan dibiarkan saja menikmati penyakitnya yang semakin
parah dan kian jauh dari harapan sembuh dan sehat secara institusi.
Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Percepatan Pemberantasan Korupsi yang dari awal hingga kini selalu menjadi
kebanggaan para pembantu presiden seolah tidak berarti apapun dalam upaya
perbaikan di internal Kepolisian dan Kejaksaan. Bahkan presiden sendiri
seolah terkesan legawa alias tidak keberatan melihat kedua lembaga penegak
hukum di bawahnya itu ‘melecehkan’ instruksi-instruksi yang selama ini
diberikan. Pemerintah tidak lagi bisa berkelit.
Fakta tingginya intensitas benturan antar lembaga
pemberantasan korupsi hingga sering membuat KPK terseokseok, seolah
mengkonfirmasi sedemikian lemahnya dukungan politik pemimpin bangsa ini
terhadap agenda pemberantasan korupsi. Padahal, tanpa dukungan kepemimpinan
politik yang kuat, gerakan anti-korupsi akan mudah dilemahkan secara
sistematis melalui serangan balik pihak-pihak yang seharusnya menjadi
target sasaran mesin anti-korupsi itu sendiri.
Ibarat perang tanpa panglima, arah kebijakan
dan strategi perang yang dilancarkan lembaga-lembaga anti-korupsi di negeri
ini terus mengalami diaspora, tidak fokus, sporadis, berjalan
sendiri-sendiri, tanpa komando yang jelas, hingga melahirkan relasi
konfliktual antara lembaga penegak hukum yang satu dengan yang lain. Tidak
tampak kerja sama kolektif yang benar-benar mengakar dan menjadikan
pemberantasan korupsi sebagai agenda utama yang sistematis dan
berkelanjutan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar