Sabtu, 14 Desember 2013

Kecemasan Garda Depan JKN

Kecemasan Garda Depan JKN
Nyimas Rina Anggraini  ;   Dokter gigi di Puskesmas Kendit, Situbondo
JAWA POS,  13 Desember 2013
  


BEBERAPA hari lagi Indonesia memasuki era baru dalam dunia kesehatan. Pada 1 Januari 2014, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diberlakukan dengan penyelenggara Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Yang mencemaskan, banyak hal tentang implementasi JKN yang belum mendapat jawaban gamblang. Perlu diketahui, sembilan rancangan peraturan pemerintah (RPP) dan rancangan peraturan presiden (R-perpres) untuk mendukung pelaksanaan teknis Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) belum ditandatangani. 

Persoalan di tingkat pusat pelayanan kesehatan (PPK) primer seperti puskesmas haruslah mendapat perhatian ekstra. Sebab, di sinilah sebenarnya inti sistem JKN itu akan berjalan optimal atau tidak. Juga, masih banyak agenda yang belum terselesaikan di tingkat garda depan ini. Misalnya, fasilitas kesehatan yang belum terpenuhi, sistem rujukan yang tidak tertib, sistem akreditasi puskesmas yang belum berjalan, serta tenaga kesehatan yang tidak memadai, baik jumlah maupun skill. 

Padahal, puskesmas diharuskan mampu menangani 144 jenis penyakit. Memang, seharusnya 80 persen penyakit bisa ditangani di tingkat pelayanan dasar agar tidak sedikit-sedikit dirujuk sehingga rumah sakit menjadi puskesmas besar. 

Pemberlakuan Kartu Jakarta Sehat (KJS) oleh Jokowi sebenarnya memberikan banyak pelajaran. Betapa rumah sakit-rumah sakit akhirnya kewalahan menangani membanjirnya pasien. Padahal, penyakit mereka kebanyakan cenderung ringan seperti batuk dan pilek yang cukup ditangani puskesmas.

Diharapkan, dalam BPJS ke depan, masalah tersebut tidak terjadi. Kalau tidak mengikuti mekanisme, pasien tak akan ditanggung BPJS. Hanya, untuk menangani pelayanan yang memadai, puskesmas kadang terkendala belum tersedianya dokter umum, dokter gigi, analis kesehatan, peralatan kesehatan, dan kurangnya skill paramedis dalam menangani penyakit tertentu. 

Selain perbaikan atau kalibrasi alat kesehatan, pengadaan alat-alat laboratorium di puskesmas menjadi sangat penting. Sangat tidak efisien bila pemeriksaan laboratorium sederhana saja harus dilakukan di puskesmas lain atau rumah sakit. Lab puskesmas semestinya bisa memeriksa gula darah lengkap, pemeriksaan dahak, urine lengkap, HB Sahli, reduksi urine, serta albumin. 

Khusus di Kabupaten Situbondo, sampai saat ini hanya 10 di antara 17 puskesmas yang bisa melaksanakan kegiatan laboratorium oleh tenaga analis kesehatan. Puskesmas yang tidak memiliki analis hanya menggunakan laboratorium untuk tes kehamilan dan golongan darah. 

Persoalan Kapitasi 

Yang belum juga jelas adalah mapping hingga besaran kapitasi yang akan diterima PPK. UU SJSN tidak memberikan penjelasan mengenai ''wilayah''. Apakah sama dengan wilayah administratif pemerintahan atau wilayah kerja BPJS Kesehatan. Itu pun belum ada petunjuk teknisnya.

Soal tarif untuk puskesmas, hal itu disebutkan kepala Kantor Cabang Utama PT Askes Surabaya yang disampaikan dr Tanya Ayu dalam seminar implementasi BPJS (7/12) di Graha BIK FK Unair. Disebutkan, besarnya tarif untuk puskesmas berkisar Rp 3.000-Rp 6.000 per bulan per jumlah anggota yang di-cover puskesmas. Itu bergantung apakah puskesmas tersebut memiliki dokter umum dan dokter gigi atau tidak.

Taruhlah kita mengambil nilai kapitasi terendah dengan perhitungan jumlah tertanggung 10.000 orang, nilai kapitasinya menjadi Rp 3.000 x 10.000 = Rp 30.000.000 per bulan.

Apakah itu nilai kapitasi yang didapat puskesmas per bulan? Ternyata tidak sesederhana itu. Sebab, kapitasi tersebut ''all-in''. Termasuk untuk biaya operasi seperti biaya listrik, air, pembelian obat dan alkes, serta barang habis pakai. Bukan tidak mungkin mekanisme pembagian jasa sarana 40 persen dan jasa pelayanan 60 persen bagi faskes yang sejak awal disiapkan pemerintah tetap dipakai dalam penghitungan kapitasi tersebut. Perhitungan untuk jasa pelayanannya adalah 40 persen x Rp 30.000.000 per bulan = Rp 12.000.000 per bulan.

Jadi, Rp 12 juta tersebut dibagi lagi untuk dokter dan paramedis, staf tata usaha, petugas kebersihan, dan lainnya. Belum lagi pengurangan untuk dana taktis yang besarannya bervariasi. Belum lagi bila ada persoalan ketidaktransparanan.

Dari pengalaman selama di puskesmas, persentase dokter umum atau dokter gigi terkadang bahkan tidak mencapai 5 persen dari total jasa pelayanan tersebut. Khusus untuk dokter, ada tambahan bonus risiko tertular penyakit, risiko tuntutan malapraktik, dan kewajiban untuk memperbarui ilmu kedokteran untuk memperpanjang surat izin praktik.

Persoalan yang sudah terbayang di depan mata adalah dampak Indonesia sebagai negara dengan sanitasi terburuk ketiga di dunia setelah India dan Bangladesh. Belum lagi berbagai penyakit menular dan penyakit karena gaya hidup atau konsumsi rokok. Itu semua dikhawatirkan menimbulkan banyaknya penyakit diare, diabetes, jantung, maupun penyakit pernapasan.

Jangan sampai semua persoalan tersebut dibebankan hanya pada tingkat pemberi pelayanan kesehatan. Sebuah harapan yang tidak berlebihan, bukan?
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar