BEBERAPA hari lagi Indonesia memasuki era baru dalam dunia kesehatan.
Pada 1 Januari 2014, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diberlakukan dengan
penyelenggara Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Yang mencemaskan,
banyak hal tentang implementasi JKN yang belum mendapat jawaban gamblang.
Perlu diketahui, sembilan rancangan peraturan pemerintah (RPP) dan
rancangan peraturan presiden (R-perpres) untuk mendukung pelaksanaan teknis
Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) belum ditandatangani.
Persoalan di tingkat pusat pelayanan kesehatan
(PPK) primer seperti puskesmas haruslah mendapat perhatian ekstra. Sebab,
di sinilah sebenarnya inti sistem JKN itu akan berjalan optimal atau tidak.
Juga, masih banyak agenda yang belum terselesaikan di tingkat garda depan
ini. Misalnya, fasilitas kesehatan yang belum terpenuhi, sistem rujukan
yang tidak tertib, sistem akreditasi puskesmas yang belum berjalan, serta
tenaga kesehatan yang tidak memadai, baik jumlah maupun skill.
Padahal, puskesmas diharuskan mampu menangani 144 jenis
penyakit. Memang, seharusnya 80 persen penyakit bisa ditangani di tingkat
pelayanan dasar agar tidak sedikit-sedikit dirujuk sehingga rumah sakit
menjadi puskesmas besar.
Pemberlakuan Kartu Jakarta Sehat (KJS) oleh
Jokowi sebenarnya memberikan banyak pelajaran. Betapa rumah sakit-rumah
sakit akhirnya kewalahan menangani membanjirnya pasien. Padahal, penyakit mereka kebanyakan cenderung ringan
seperti batuk dan pilek yang cukup ditangani puskesmas.
Diharapkan, dalam BPJS ke depan, masalah tersebut tidak
terjadi. Kalau tidak mengikuti mekanisme, pasien tak akan ditanggung BPJS.
Hanya, untuk menangani pelayanan yang memadai, puskesmas kadang terkendala
belum tersedianya dokter umum, dokter gigi, analis kesehatan, peralatan
kesehatan, dan kurangnya skill paramedis dalam menangani penyakit tertentu.
Selain perbaikan atau kalibrasi alat
kesehatan, pengadaan alat-alat laboratorium di puskesmas menjadi sangat
penting. Sangat tidak efisien bila pemeriksaan laboratorium sederhana saja
harus dilakukan di puskesmas lain atau rumah sakit. Lab puskesmas semestinya
bisa memeriksa gula darah lengkap, pemeriksaan dahak, urine lengkap, HB Sahli, reduksi urine, serta albumin.
Khusus di Kabupaten Situbondo, sampai saat ini hanya 10
di antara 17 puskesmas yang bisa melaksanakan kegiatan laboratorium oleh
tenaga analis kesehatan. Puskesmas yang tidak memiliki analis hanya
menggunakan laboratorium untuk tes kehamilan dan golongan darah.
Persoalan Kapitasi
Yang belum juga jelas adalah mapping hingga
besaran kapitasi yang akan diterima PPK. UU SJSN tidak memberikan penjelasan
mengenai ''wilayah''. Apakah sama dengan wilayah administratif pemerintahan
atau wilayah kerja BPJS Kesehatan. Itu pun belum ada petunjuk teknisnya.
Soal tarif untuk puskesmas, hal itu disebutkan
kepala Kantor Cabang Utama PT Askes Surabaya yang disampaikan dr Tanya Ayu
dalam seminar implementasi BPJS (7/12) di Graha BIK FK Unair. Disebutkan,
besarnya tarif untuk puskesmas berkisar Rp 3.000-Rp 6.000 per bulan per
jumlah anggota yang di-cover puskesmas. Itu bergantung apakah puskesmas
tersebut memiliki dokter umum dan dokter gigi atau tidak.
Taruhlah kita mengambil nilai kapitasi
terendah dengan perhitungan jumlah tertanggung 10.000 orang, nilai
kapitasinya menjadi Rp 3.000 x 10.000 = Rp 30.000.000 per bulan.
Apakah itu nilai kapitasi yang didapat
puskesmas per bulan? Ternyata tidak sesederhana itu. Sebab, kapitasi
tersebut ''all-in''. Termasuk untuk biaya operasi seperti biaya listrik,
air, pembelian obat dan alkes, serta barang habis pakai. Bukan tidak
mungkin mekanisme pembagian jasa sarana 40 persen dan jasa pelayanan 60
persen bagi faskes yang sejak awal disiapkan pemerintah tetap dipakai dalam
penghitungan kapitasi tersebut. Perhitungan untuk jasa pelayanannya adalah
40 persen x Rp 30.000.000 per bulan = Rp 12.000.000 per bulan.
Jadi, Rp 12 juta tersebut dibagi lagi untuk
dokter dan paramedis, staf tata usaha, petugas kebersihan, dan lainnya.
Belum lagi pengurangan untuk dana taktis yang besarannya bervariasi. Belum
lagi bila ada persoalan ketidaktransparanan.
Dari pengalaman selama di puskesmas,
persentase dokter umum atau dokter gigi terkadang bahkan tidak mencapai 5
persen dari total jasa pelayanan tersebut. Khusus untuk dokter, ada
tambahan bonus risiko tertular penyakit, risiko tuntutan malapraktik, dan
kewajiban untuk memperbarui ilmu kedokteran untuk memperpanjang surat izin
praktik.
Persoalan yang sudah terbayang di depan mata
adalah dampak Indonesia sebagai negara dengan sanitasi terburuk ketiga di
dunia setelah India dan Bangladesh. Belum lagi berbagai penyakit menular
dan penyakit karena gaya hidup atau konsumsi rokok. Itu semua dikhawatirkan
menimbulkan banyaknya penyakit diare, diabetes, jantung, maupun penyakit
pernapasan.
Jangan sampai semua persoalan tersebut
dibebankan hanya pada tingkat pemberi pelayanan kesehatan. Sebuah harapan
yang tidak berlebihan, bukan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar