Kamis, 05 Desember 2013

Di Balik Larangan (Lagi) Jilbab Polwan

Di Balik Larangan (Lagi) Jilbab Polwan
Imam Syafi’i  ;   Jurnalis Bidang Kepolisian; Pemimpin Redaksi JTV
JAWA POS,  04 Desember 2013

  

KOMJEN Polisi Oegroseno sering dipuji sejak dilantik menjadi Wakapolri pada 2 Agustus 2013. Jenderal bintang tiga itu kerap membuat gebrakan. Misalnya sikap Oegroseno yang terbuka dengan KPK. Juga gagasannya agar para perwira polisi melaporkan harta kekayaan begitu lulus dari Akpol. Hingga pernyataan Oegroseno agar pimpinan polisi lebih banyak blusukan daripada duduk manis di belakang meja. 

Tiga hari lalu Oegroseno kembali membuat keputusan yang sangat tidak lazim di tubuh Polri. Sang Wakapolri "meralat" pernyataan Kapolri Jenderal Sutarman dua hari sebelumnya. Saat itu, ketika diwawancarai seusai menerima pimpinan media massa dan pengurus PWI, Kapolri mempersilakan polisi wanita mengenakan jilbab saat berdinas. Kapolri beralasan bahwa mengenakan jilbab bukan kewajiban polwan, melainkan hak asasi. 

Keputusan Oegroseno "menganulir" pernyataan bosnya itu tertuang dalam TR (telegram rahasia) Wakapolri kepada jajaran kepolisian. TR bersifat kilat itu berisi: Untuk mengatur keseragaman, baik mengenai warna dan model jilbab yang digunakan polwan pada saat tugas, akan diterbitkan keputusan Kapolri. Sambil menunggu keputusan Kapolri tersebut, pada saat menggunakan pakaian dinas polwan untuk sementara tidak mengenakan jilbab, kecuali polwan yang berdinas di Polda Aceh. Di poin terakhir juga ditegaskan bahwa TR itu bersifat perintah untuk dilaksanakan.

Kali ini banyak kritik dan cemoohan ditujukan kepada mantan Kapolresta Surabaya Timur itu. Bukan kali ini saja Oegroseno berseberangan dengan pimpinan Polri. Ketika menjabat Kapolda Sulteng pada 2006, dia pernah menolak untuk mengeksekusi Tibo cs yang terbukti bersalah melakukan pembunuhan. Oegroseno berdalih masih harus mendalami bukti baru (novum) yang ditemukan polisi. 

Oegroseno juga pernah mementahkan Kapolri Timur Pradopo yang menyebut komplotan perampok di CIMB Niaga Sumut sebagai gerombolan teroris. Oegro, yang ketika itu menjabat Kapolda Sumut, mengatakan bahwa motif perampokan tersebut kriminalitas biasa. Setelah tertangkap, para perampok itu memang terkait dengan terorisme. 

Untuk soal jilbab, baik Kapolri Sutarman maupun Wakapolri Oegroseno sudah mengatakan bahwa di antara mereka berdua tidak ada masalah. Kapolri mengungkapkan bahwa surat yang dibuat Wakapolri terkait dengan penangguhan pemakaian jilbab berdasar perintahnya. Tapi, publik yang makin cerdas bisa melihat adanya perselisihan di antara mereka. Pelarangan polwan memakai jilbab dengan alasan menunggu adanya perkap terkesan mengada-ada. Apalagi, kata Kapolri sendiri, sudah ada model jilbab Polda Aceh. 

Kepada wartawan, Kapolri juga membenarkan bahwa saat ini sudah ada keputusan Kapolri Nomor Pol: Skep/702/IX/2005 tentang Penggunaan Pakaian Dinas Seragam Polri dan PNS Polisi. Selama ini, aturan itu dijadikan dasar melarang polwan berjilbab. Kini Sutarman tidak melarang kalau ada polwan yang ingin mengenakan jilbab. Sebab, aturan tersebut memang tidak melarang polwan menutupi rambutnya dengan jilbab.

Ketidaksolidan itu bisa jadi disebabkan adanya senjang senioritas. Meski Sutarman secara jabatan lebih senior, secara angkatan di Akpol kalah senior jika dibandingkan dengan Oegroseno. Sutarman dari angkatan 1981 bisa rikuh dengan Oegroseno yang angkatan 1978. Oegroseno seangkatan dengan mantan Kapolri Timur Pradopo dan mantan Wakapolri Nanan Soekarna. 

Oegroseno yang kelahiran 17 Februari 1956 itu juga segera pensiun, maka terkesan nothing to lose. Contohnya, Oegroseno tetap melayani wawancara meski saat itu satu forum dengan Kapolri. Lazimnya, Wakapolri biasanya menolak diwawancarai wartawan jika ada Kapolri di dekatnya, kecuali Kapolri memerintahkan atau mengizinkan.

Tantangan perubahan di Polri memang tak mudah. Saat ini Sutarman tengah berusaha melakukan percepatan (akselerasi) dan terobosan. Mantan ajudan Gus Dur itu ingin segera mewujudkan sosok polisi santun, tidak arogan, tidak korup, dan selalu hadir di tengah-tengah masyarakat. Sehingga polisi dipercayai sebelum akhirnya dicintai masyarakat. 

Misalnya keputusan Kapolri menggunakan mobil dinas Toyota Innova. Sikap sederhana itu tentu patut diapresiasi. Namun, bagaimana Wakapolri yang mobil dinasnya masih Toyota Camry? Juga para pejabat polisi di bawahnya. Tentu mereka dianggap tidak tahu diri jika tidak menyesuaikan. 

Memang tak mudah untuk mengubah, Jenderal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar