Di Balik
Larangan (Lagi) Jilbab Polwan
Imam Syafi’i ;
Jurnalis Bidang
Kepolisian; Pemimpin Redaksi JTV
|
JAWA
POS, 04 Desember 2013
KOMJEN Polisi Oegroseno sering dipuji sejak dilantik
menjadi Wakapolri pada 2 Agustus 2013. Jenderal bintang tiga itu kerap
membuat gebrakan. Misalnya sikap Oegroseno yang terbuka dengan KPK. Juga
gagasannya agar para perwira polisi melaporkan harta kekayaan begitu lulus
dari Akpol. Hingga pernyataan Oegroseno agar pimpinan polisi lebih banyak
blusukan daripada duduk manis di belakang meja.
Tiga hari lalu
Oegroseno kembali membuat keputusan yang sangat tidak lazim di tubuh Polri.
Sang Wakapolri "meralat" pernyataan Kapolri Jenderal Sutarman dua
hari sebelumnya. Saat itu, ketika diwawancarai seusai menerima pimpinan
media massa dan pengurus PWI, Kapolri mempersilakan polisi wanita
mengenakan jilbab saat berdinas. Kapolri beralasan bahwa mengenakan jilbab
bukan kewajiban polwan, melainkan hak asasi.
Keputusan
Oegroseno "menganulir" pernyataan bosnya itu tertuang dalam TR
(telegram rahasia) Wakapolri kepada jajaran kepolisian. TR bersifat kilat
itu berisi: Untuk mengatur keseragaman, baik mengenai warna dan model
jilbab yang digunakan polwan pada saat tugas, akan diterbitkan keputusan
Kapolri. Sambil menunggu keputusan Kapolri tersebut, pada saat menggunakan
pakaian dinas polwan untuk sementara tidak mengenakan jilbab, kecuali
polwan yang berdinas di Polda Aceh. Di poin terakhir juga ditegaskan bahwa
TR itu bersifat perintah untuk dilaksanakan.
Kali ini banyak
kritik dan cemoohan ditujukan kepada mantan Kapolresta Surabaya Timur itu.
Bukan kali ini saja Oegroseno berseberangan dengan pimpinan Polri. Ketika
menjabat Kapolda Sulteng pada 2006, dia pernah menolak untuk mengeksekusi
Tibo cs yang terbukti bersalah melakukan pembunuhan. Oegroseno berdalih
masih harus mendalami bukti baru (novum) yang ditemukan polisi.
Oegroseno juga
pernah mementahkan Kapolri Timur Pradopo yang menyebut komplotan perampok
di CIMB Niaga Sumut sebagai gerombolan teroris. Oegro, yang ketika itu
menjabat Kapolda Sumut, mengatakan bahwa motif perampokan tersebut
kriminalitas biasa. Setelah tertangkap, para perampok itu memang terkait
dengan terorisme.
Untuk soal
jilbab, baik Kapolri Sutarman maupun Wakapolri Oegroseno sudah mengatakan
bahwa di antara mereka berdua tidak ada masalah. Kapolri mengungkapkan
bahwa surat yang dibuat Wakapolri terkait dengan penangguhan pemakaian
jilbab berdasar perintahnya. Tapi, publik yang makin cerdas bisa melihat
adanya perselisihan di antara mereka. Pelarangan polwan memakai jilbab
dengan alasan menunggu adanya perkap terkesan mengada-ada. Apalagi, kata
Kapolri sendiri, sudah ada model jilbab Polda Aceh.
Kepada
wartawan, Kapolri juga membenarkan bahwa saat ini sudah ada keputusan
Kapolri Nomor Pol: Skep/702/IX/2005 tentang Penggunaan Pakaian Dinas
Seragam Polri dan PNS Polisi. Selama ini, aturan itu dijadikan dasar
melarang polwan berjilbab. Kini Sutarman tidak melarang kalau ada polwan
yang ingin mengenakan jilbab. Sebab, aturan tersebut memang tidak melarang
polwan menutupi rambutnya dengan jilbab.
Ketidaksolidan
itu bisa jadi disebabkan adanya senjang senioritas. Meski Sutarman secara
jabatan lebih senior, secara angkatan di Akpol kalah senior jika
dibandingkan dengan Oegroseno. Sutarman dari angkatan 1981 bisa rikuh
dengan Oegroseno yang angkatan 1978. Oegroseno seangkatan dengan mantan
Kapolri Timur Pradopo dan mantan Wakapolri Nanan Soekarna.
Oegroseno yang
kelahiran 17 Februari 1956 itu juga segera pensiun, maka terkesan nothing
to lose. Contohnya, Oegroseno tetap melayani wawancara meski saat itu satu
forum dengan Kapolri. Lazimnya, Wakapolri biasanya menolak diwawancarai
wartawan jika ada Kapolri di dekatnya, kecuali Kapolri memerintahkan atau
mengizinkan.
Tantangan
perubahan di Polri memang tak mudah. Saat ini Sutarman tengah berusaha
melakukan percepatan (akselerasi) dan terobosan. Mantan ajudan Gus Dur itu
ingin segera mewujudkan sosok polisi santun, tidak arogan, tidak korup, dan
selalu hadir di tengah-tengah masyarakat. Sehingga polisi dipercayai
sebelum akhirnya dicintai masyarakat.
Misalnya
keputusan Kapolri menggunakan mobil dinas Toyota Innova. Sikap sederhana
itu tentu patut diapresiasi. Namun, bagaimana Wakapolri yang mobil dinasnya
masih Toyota Camry? Juga para pejabat polisi di bawahnya. Tentu mereka
dianggap tidak tahu diri jika tidak menyesuaikan.
Memang tak
mudah untuk mengubah, Jenderal. ●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar